para mahasiswa dari Institut Seni Indonesia tengah melakukan projek pembuatan filem dokumenter ke sebuah desa terpencil. Namun hal tak terduga terjadi saat salah satu dari mereka hilang di bawa mahluk ghoib.
Demi menyelamatkan teman mereka, mereka harus melintasi batas antara dunia nyata dan alam ghoib. Mereka harus menghadapi rintangan yang tidak terduga, teror yang menakutkan, dan bahaya yang mengancam jiwa. Nyawa mereka menjadi taruhan dalam misi penyelamatan ini.
Tapi, apakah mereka sanggup membawa kembali teman mereka dari cengkeraman kekuatan ghoib? Atau apakah mereka akan terjebak selamanya di alam ghoib yang menakutkan? Misi penyelamatan ini menjadi sebuah perjalanan yang penuh dengan misteri, dan bahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16
Sebuah sentuhan lembut di lengan Daffa dari Queen menjadi pertanda. Ada yang aneh dengan nenek di warung remang itu. Dengan hati berdebar, mereka melangkah masuk.
"Permisi, Nek. Kami mencari obat penurun panas," pinta Daffa.
Jawaban nenek itu terdengar seperti mantra, " Atine putih, resik. Ojo ngganggu! "
(Hatinya putih, bersih. Jangan ganggu!)
Nenek itu bergumam, bibirnya bergerak-gerak dalam bahasa yang tak mereka mengerti. Tatapannya menembus mereka, seakan fokus pada sesuatu di belakang. Queen beberapa kali menoleh, namun di sana hanya ada kegelapan.
"Nek, kami ingin membeli obat," tegas Queen.
Dengan gerakan tangan yang cepat, nenek itu menyodorkan sekotak obat penurun panas. "Cepat pulang! Jaga temanmu. Wes mulih, O!" Tangannya melambai, seperti menyapu mereka pergi.
Daffa menyodorkan uang, namun nenek itu menolaknya dengan tatapan tajam. "Wes ndang mulih, O!" Usirnya kembali, mendesak mereka untuk segera pergi.
Udara di warung terasa semakin dingin, mencengkeram jantung mereka. Mereka buru-buru keluar, langkah kaki berdebar-debar, Apa yang sebenarnya dilihat nenek itu? Dan apa arti dari kata-kata yang tak mereka mengerti?
Sesekali Queen menoleh, namun nenek tua itu tetap menatap tajam, tangannya melambai-lambaikan sapu lidi seolah menyuruh mereka pergi.
"Aneh banget, nenek-nenek itu! Kita mau beli obat, malah diusir!" gerutu Queen, suaranya bercampur heran. "Lo ngerti arti ucapannya nggak, Daf?"
Daffa, yang tengah mengamati bungkus obat, mengangkat wajah. "Nggak ngerti, Queen. Gue kan bukan orang Jawa. Mungkin Baskoro tahu."
Ia kembali menatap jalanan, keraguan memenuhi matanya.
Queen mengedarkan pandangan, mengamati rumah-rumah yang tampak sunyi.
"Gue merasa ada yang aneh sama desa ini, Daf. Warga sini tertutup banget, nggak ramah. Biasanya orang desa lebih welcome, kan?"
Daffa mengangguk, setuju. "Gue juga ngerasain. Dari tadi kita nggak ketemu siapa-siapa. Kalau ada, cuma natap kita dengan tatapan… aneh."
Tanpa terasa, mereka sampai di rumah. Mata Queen tertuju pada Arin dan Valo yang tengah beradu argumen sengit. Ia segera menghampiri mereka.
"Anjing! Ini yang gue takutin! Dari awal gue udah ragu bawa Wati, dia itu terlalu menye-menye banget! Sekarang terbukti, dia cuma nyusahin kita! Kalian kan yang maksa milih dia!"
Valo, wajahnya tegang, membalas, "Jangan nyalahin kita, Rin! Ini kesepakatan kita semua. Kita harus nunggu dia sembuh baru bisa antar dia pulang. Masa iya kita biarin dia pulang dalam keadaan lemah begini?"
Queen, yang tak sengaja mendengar pertengkaran itu, langsung menyela, suaranya bergetar, "Maksud lo apa, Rin? Mau kirim Wati pulang?!"
"Demi nilai kita, Queen! Kalau kita sibuk ngurusin dia, tugas kita nggak kelar! Dia nggak ngaruh sama nilai kita. Kita bisa gagal dan harus ulangan tahun depan!"
"Jangan gitu, Rin! Gak punya hati banget loh, mau kirim dia pulang pas lagi sakit gini? Dia udah ngorbanin waktu dan tenaganya buat kita! Gue nggak tega biarin dia pergi dalam keadaan kayak gini!" Queen , matanya berkaca-kaca.
Daffa mendekat, tangannya menempel lembut di pundak Queen. "Gue setuju sama Queen. Kita nggak bisa biarin Wati pulang dalam keadaan kayak gini. Kita bukan teman sejati kalau ninggalin dia pas susah. Lagian, Wati juga pasti nggak mau semua ini terjadi."
"Kalian keras kepala! Terserah! Kalau ada apa-apa, jangan salahkan gue! Ini semua salah kalian!"
Air mata Queen jatuh membasahi pipinya, perih. Ia tak menyangka Arin sekejam itu. Usahanya menghapus air mata sia-sia, bendungan air mata itu seakan tak pernah berhenti.
Valo mendekat, "Sabar, Queen. Lo tahu sendiri kan watak Arin? Dari dulu emang keras kepala."
"Tapi… tega banget dia sama Wati. Wati nggak pernah nyusahin kita, kok," suara Queen masih bergetar, menahan isak.
Daffa menggenggam erat pundak Queen, "Sabar, Queen. Nanti kita omongin lagi sama Arin kalau semuanya udah tenang, ya?"
Sentuhan Daffa memberi sedikit kekuatan. Queen mengangguk lemah.
"Yuk, kita lihat Wati. Dia harus minum obat biar panasnya turun," ajak Daffa.
BERSAMBUNG.....