Harry sama sekali tak menyangka, bahwa pacarnya yang selama ini sangat ia sayangi, ternyata justru menjalin hubungan dengan ayah kandungnya sendiri di belakangnya! Dan parahnya lagi, pacarnya itu adalah simpanan ayahnya sekaligus selingkuhan ibunya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon patrickgansuwu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Calvin benar-benar serius
Raline menghela napas panjang, berusaha menyembunyikan kegugupan di balik senyum manis yang ia bentangkan. Calvin berdiri di ambang pintu dengan tatapan tajam dan penuh curiga, jelas sekali amarahnya belum surut. Raline tahu, jika ia tidak pandai memainkan perannya, maka semuanya bisa berantakan dalam sekejap.
Ia melangkah pelan menghampiri pria itu, lalu meraih lengan Calvin dengan lembut. "Daddy," bisiknya manja, "Kamu sudah makan?"
Calvin tak menjawab. Sorot matanya hanya menatap wajah Raline, lalu perlahan-lahan turun ke arah lehernya. Ada semburat merah di sana—jejak-jejak gairah semalam yang masih tertinggal. Jejak yang jelas bukan miliknya.
"Mau sarapan bersamaku?" Raline melanjutkan dengan nada lembut. "Aku belum makan apa pun sejak tadi pagi. Perutku sudah mulai bernyanyi sekarang."
Calvin menghela napas pelan, masih berusaha menahan bara api di dadanya yang terbakar oleh kecemburuan dan rasa tak rela. "Tentu," jawabnya akhirnya, meski masih terdengar dingin. "Aku akan temani kamu sarapan. Tapi, jangan pikir aku lupa siapa yang kamu sebut saat membuka pintu untukku tadi."
Raline tersenyum, seolah tak terganggu oleh sindiran itu. "Itu hanya refleks, Daddy. Aku kira kamu adalah Harry. Lagipula, dia baru saja pergi. Tapi sekarang... hanya ada kita berdua di sini." Ia mengedip pelan, lalu berbalik menuju dapur dengan langkah ringan.
Calvin diam sejenak di tempatnya, matanya mengikuti setiap gerakan tubuh Raline. Gadis itu masih mengenakan bathrobe putih tipis yang hanya diikat simpul di pinggangnya. Kainnya melekat lembut pada kulit, memperlihatkan siluet tubuh sempurna yang membuat siapa pun tergoda.
Ia tahu, tubuh itu telah disentuh oleh putranya sendiri. Ia tahu bahwa Raline adalah tunangan Harry. Namun entah mengapa, semua kenyataan itu tidak cukup kuat untuk memadamkan hasrat yang sejak lama ia pendam terhadap gadis muda itu. Bahkan, dalam benaknya, ada sensasi aneh saat membayangkan bahwa tubuh yang sama pernah dinikmati oleh anaknya. Bukan jijik—tapi semacam kebanggaan kelam.
Calvin akhirnya melangkah masuk ke ruang tengah dan duduk di salah satu kursi tinggi dekat meja dapur terbuka, memandangi Raline yang mulai membuka lemari mencari bahan masakan. Gerakan tubuh Raline begitu luwes, dan bathrobe itu bergerak seiring geraknya, terkadang menyingkap bagian paha jenjangnya yang mulus, membuat dada Calvin bergemuruh.
"Kamu mau masak apa?" tanya Calvin perlahan, suaranya agak berat.
"Telur dadar dan sosis saja, Daddy. Bahannya cuma itu yang tersisa di kulkas," jawab Raline sambil tersenyum tanpa menoleh. Ia mulai memecahkan telur ke dalam mangkuk, mengocoknya pelan-pelan.
"Kamu tahu?" lanjut Calvin, nadanya terdengar tenang tapi tajam. "Setiap kali aku memandangmu, aku selalu bertanya-tanya... apa kamu benar-benar mencintaiku, atau kamu hanya mempermainkanku."
Raline terdiam beberapa detik. Ia berhenti mengocok telur, lalu menoleh pelan ke arah pria paruh baya itu. "Aku tidak pernah mempermainkan Daddy," katanya tegas tapi lembut. "Aku mungkin tunangan Harry... tapi Daddy itu berbeda."
"Berbeda bagaimana?" tanya Calvin tak mengerti.
"Daddy membuatku merasa... aman. Di dekat Daddy, aku bisa menjadi diriku sendiri. Bukan sekedar tunangan pewaris perusahaan besar. Bukan boneka cantik untuk dipamerkan," jawab Raline dengan sorot mata teduh.
Calvin menatap gadis itu dengan mata menyipit. Jawaban Raline memang cerdas. Dan seperti biasanya, ia berhasil membalikkan suasana. Membuat Calvin melunak sedikit.
Sementara Raline kembali ke pekerjaannya, menuang telur ke atas wajan panas dan menambahkan potongan sosis ke dalamnya, Calvin terus menatapnya. Meskipun seharusnya ia menjauh—meskipun logikanya memaksa untuk mundur—tetapi ada bagian dalam dirinya yang sudah terlalu dalam terperosok.
Raline mungkin milik Harry di mata dunia.
Tapi di balik pintu apartemen ini, di antara tatapan rahasia dan sentuhan tersembunyi—ia adalah milik Calvin.
÷÷÷
Suasana di ruang makan terasa begitu sunyi meski aroma lezat dari sarapan yang baru saja selesai dimasak memenuhi udara. Raline dengan telaten menyusun dua piring berisi telur dadar dan sosis ke atas meja kecil di dekat jendela, kemudian menuangkan dua gelas jus jeruk yang tadi ia sempat buat. Sinar matahari pagi menyorot hangat melalui tirai tipis, menambah kesan damai pagi itu—meskipun kenyataannya jauh dari kata tenang.
Calvin duduk di seberang, masih dalam balutan kemeja santainya yang belum sepenuhnya dikancingkan. Tatapannya terus mengamati Raline, memperhatikan bagaimana perempuan muda itu tetap bisa bersikap tenang setelah apa yang terjadi semalam... dan setelah ketegangan yang hampir meledak pagi tadi.
Raline duduk dan tersenyum kecil. Ia mulai menyuapkan potongan telur ke mulutnya. "Aku masih ingat, waktu pertama kali Daddy mengajakku sarapan pagi seperti ini," katanya pelan. "Waktu itu aku gugup setengah mati. Sampai-sampai aku menjatuhkan garpu dua kali."
Calvin terkekeh singkat, lalu ikut menyuapkan makanannya. "Dan aku malah menganggap hal itu manis," sahutnya, suaranya sudah tidak semenegangkan tadi. "Waktu itu, kamu hanya seorang pacar Harry yang sopan dan pendiam."
"Tapi, Daddy yang pertama kali bilang kalau aku terlalu manis hanya untuk Harry," balas Raline sambil tersenyum nakal.
Ucapan itu berhasil membuat Calvin sedikit tersenyum, walau sorot matanya tetap mengandung emosi yang belum reda sepenuhnya. Raline tahu betul—luka dalam hati pria itu belum sembuh. Ia harus lebih hati-hati.
"Kamu ingat waktu kita pergi ke Puncak?" Raline melanjutkan. "Kita berdua pura-pura ada urusan kerja, tapi akhirnya malah menginap dua malam dan menikmati udara dingin sambil pelukan di dekat perapian..."
"Kamu sangat cantik malam itu," potong Calvin. "Dan sangat nakal."
Raline tertawa pelan, mencoba membawa suasana kembali pada kenangan manis mereka. Ia terus mengarahkan percakapan pada hal-hal menyenangkan, berharap Calvin benar-benar melupakan ancamannya tadi pagi—yang sempat membuat dadanya nyaris copot: menyebarkan hubungan mereka ke Harry.
Namun, suasana itu tak bertahan lama.
Setelah mereka selesai makan dan hanya tersisa gelas jus yang belum disentuh sepenuhnya, Calvin bersandar di kursinya. Tatapannya kini serius, jauh lebih dalam dari sebelumnya.
"Kalau kamu memang benar-benar lebih memilih aku daripada Harry," katanya pelan, "Ikutlah denganku! Kita pergi ke luar negeri beberapa hari. Berlibur. Hanya kamu dan aku."
Raline tersentak, tubuhnya menegang. Sisa senyum yang tadi ia paksakan memudar perlahan.
"Ke… ke luar negeri?" gumamnya, mencoba tetap tenang.
Calvin mengangguk. "Kita ke Prancis. Atau mungkin Jepang. Aku akan siapkan semuanya. Kamu tak perlu khawatir soal biaya atau apapun. Yang aku ingin tahu cuma satu hal... apakah kamu benar-benar milikku?"
Jantung Raline berdegup semakin kencang. Ini bukan sekedar ajakan liburan. Ini ujian. Ini semacam ultimatum terselubung.
Tapi masalahnya…
"Aku—aku sebenarnya sudah berencana pergi ke Bali," ucapnya hati-hati. "Dengan Harry. Beberapa hari lagi."
Wajah Calvin berubah. Rahangnya mengeras. Matanya menyipit. "Jadi kamu masih lebih memilih dia?"
"Bukan begitu, Daddy… ini sudah direncanakan sejak lama. Harry bahkan sudah booking vila dan—"
"Aku bisa siapkan vila yang lebih mewah. Jet pribadi. Makanan terbaik. Semua yang dia bisa tawarkan, aku bisa kalikan sepuluh lipat," potong Calvin dingin. "Tapi kalau kamu tetap memilih liburan dengan Harry… jangan salahkan aku kalau setelah ini semua orang akan tahu siapa kamu sebenarnya."
Raline terdiam. Hatinya tercekat. Ia tahu, ini bukan hanya tentang liburan. Ini tentang siapa yang akan ia jaga hatinya… dan siapa yang akan ia khianati. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Raline benar-benar merasa terjebak di persimpangan tanpa tahu harus melangkah ke arah mana.