NovelToon NovelToon
Queen Of Melody

Queen Of Melody

Status: tamat
Genre:Tamat / Mengubah Takdir
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Fiore

Luna selalu tidak percaya diri jika tampil di depan banyak orang, padahal ia memiliki suara indah. Cita-cita Luna sebenarnya ingin menjadi seorang penyanyi tetapi ditentang oleh orang tuanya. Suatu hari Luna mendapatkan tawaran kerja menjadi seorang penyanyi oleh temannya, Mona. Namun, tempat kerja itu merupakan tempat terlarang. Hingga akhirnya ia kabur dari tempat kerja itu, dan bertemu dengan sahabatnya, Adi. Rasa jatuh cinta Luna kepada Adi itu semakin nyata, namun ia tak bisa mengungkapkannya. Adi dan Hani yang merupakan sahabat Luna menyarankan untuk mendaftar audisi menyanyi. Luna pun diterima di audisi itu, dengan perjuangan dan pengorbanannya selama di karantina, Luna berhasil menjadi juara 1 di audisi menyanyi itu, hingga akhirnya kedua orang tua Luna menyadari kalau mereka telah mementingkan egonya bukan masa depan Luna. Cita-cita Luna menjadi seorang penyanyi terkenal akhirnya tercapai dan ternyata Adi juga memiliki rasa terhadapnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fiore, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kecelakaan di depan mata

Hari demi hari telah aku lewati dengan terus belajar dan belajar. Hingga akhirnya namaku berhasil masuk dalam 10 besar di audisi Queen of Melody ini.

Selesai acara, seorang desainer yang telah bekerja sama dengan acara audisi ini datang menghampiriku. Desainer itu bernama Clara.

“Bisa bicara sebentar”, kata Clara, desainer yang cantik itu.

“Eh, iya kak. Ada apa?”, aku menjadi terkejut dihampiri oleh seorang desainer ternama.

“Dress yang kamu kenakan itu selalu bagus. Siapa nama desainernya? Aku kagum melihat bentuk-bentuk desain bajunya walau sederhana tapi terlihat cantik dan mewah”, kata Clara.

“Oh.. ini semua gaun rancangan dari temanku kak, dia memang ahli kalo menggambar desain baju. Itu sudah menjadi hobinya sejak kecil, dan saat ini ia lagi menambah keahliannya dengan kursus menjahit”, jawabku.

“Saat ini aku juga sedang membutuhkan seorang pegawai yang bisa menjahit di butikku. Apa dia mau bekerja di butikku?”, Clara menawarkan pekerjaan untuk Hani.

“Aku tanyakan dulu ke orangnya ya, kak”, jawabku, aku pikir kerja di sebuah butik milik desainer ternama itu sangat membanggakan.

“Kalau dia mau, nanti kabari aku atau temanmu saja yang suruh langsung menelepon ku”, kata Clara, ia memberikan sebuah kartu nama kecil yang berisi alamat butik miliknya dan nomor ponselnya.

“Iya, kak”, aku menerima kartu nama itu.

Aku saja mendengar berita ini menjadi senang, aku rasa Hani juga akan senang apalagi bekerja bersama seorang desainer ternama.

Hari sudah malam saat para peserta audisi tiba di hotel tempat karantina.

Sesampai di kamar, aku regangkan sisa-sisa otot dan syaraf ku yang tegang saat tampil di audisi tadi. Aku ingin segera memberitahukan berita bahagia tadi kepada Hani. Karena hari sudah malam, maka aku coba mengirimkan pesan untuk menanyakan apakah ia sudah tidur atau belum.

Dan ternyata ia belum tidur, aku pun langsung menghubunginya.

“Hai, Na. Kamu sudah sampai di hotel? Aku juga baru sampai nih”, kata Hani mengangkat teleponku.

“Iya, ini baru sampai di hotel. Han, kamu dapat pesan dari desainer Clara”, kataku.

“Apa? Pesan apa?”, kata Hani penasaran.

“Kamu ditawarkan kerja di butiknya”, jawabku.

“Apa? Kamu bohong ya, Na?”, Hani seperti tidak percaya dengan perkataanku.

“Ini benar, Han. Nanti aku kirimkan nomor ponselnya. Kamu saja yang langsung meneleponnya ya”, jelasku.

“Ini... Ini benar-benar seperti mimpi, Na. Bisa bekerja di butik milik Desainer Clara”, kata Hani dengan nada haru.

“Berarti perjuanganmu selama ini tidak sia-sia, Han”, kata ku.

“Ini semua juga karena kamu, Na. Coba kalau kamu tidak ikut audisi ini, aku juga tidak bisa menampilkan gaun-gaun rancanganku untuk bisa dilihat semua orang. Terimakasih ya, Na”, kata Hani.

“Besok aku dapat libur 2 hari , Han”, kataku.

“Gimana kalau kita jalan-jalan saja sambil kulineran?”, saran Hani.

“Iya, Han. Aku setuju, kita kan sudah lama tidak pergi bersama lagi”, kataku.

“Nanti biar aku yang suruh Adi pinjam mobil bapaknya lagi”, kata Hani tertawa.

“Ya, sudah. Sampai ketemu besok”, aku dan Hani memutus telepon kami masing-masing. Aku pun sudah tidak sabar menunggu hari esok.

Esok harinya aku sudah bersiap-siap untuk jalan-jalan bersama kedua sahabatku. Kami peserta audisi diberikan libur 2 hari. Kami pun bebas mau menggunakan waktu libur itu untuk pergi kemana saja.

Sudah lama aku tak bertemu langsung dengan Adi, walaupun setiap minggu ia selalu hadir di kursi penonton, tapi rasa kangen itu seperti belum terobati.

Adi dan Hani datang menjemputku dengan mobilnya di depan hotel. Rencananya kami akan jalan-jalan keliling kota.

“Semakin hari kamu semakin cantik Luna”, kata Hani memujiku.

“Kamu juga cantik, Han. Oh iya, kapan kamu mulai bekerja di butik Clara”, kataku.

“Mulai minggu depan, Na”, kata Hani merasa senang.

Aku melihat Adi yang sedang menyetir mobil serius di depan.

“Kalau kuliahmu gimana, Di?”, aku mencoba membuka pembicaraan dengannya.

“Huh... Kalau perjalanan kuliahku masih panjang, ini saja baru akan menyelesaikan semester 1”, kata Adi.

“Kemarin itu aku merasa senang banget, karena Mona bisa berada di bawahmu. Besok dan seterusnya begitu ya, Na”, kata Hani yang masih sebal dengan Mona.

“Iya, aku akan berusaha mempertahankan posisi 3 besar itu, apalagi ini tinggal 10 orang peserta”, jawabku.

Kami merencanakan untuk makan siang bersama terlebih dahulu. Adi memarkirkan mobilnya di seberang restoran yang akan kami kunjungi itu. Saat menyebrang jalan Hani berjalan paling depan dan Adi berada di belakang ku, sehingga aku berada di tengah mereka.

Tiba-tiba saja ada sebuah mobil yang melaju kencang dari arah kiriku.

“Awaaassss..... Lunaaaaaa.....”, terdengar suara Adi meneriaki namaku dari belakang.

Tubuhku seperti didorong dari arah belakang sehingga aku terlempar di dekat trotoar. Namun, aku menyaksikan secara jelas di depan kedua mataku saat mobil itu menabrak tubuh Adi, sehingga tubuh Adi terpental jauh.

“Adiiiiiiiiiiiiiiiiii”, aku hanya bisa berteriak.

Mobil yang menabrak Adi itu terus melaju kencang sepertinya ia tidak mau bertanggung jawab dengan kecelakaan ini.

Karena menyaksikan kejadian itu membuat kaki ini terasa lemas seperti tidak ada tulang sehingga tidak sanggup untuk berdiri menopang badan ini. Sikut tangan dan lutut kaki ku terasa seperti ada yang luka karena bersentuhan dengan trotoar dan aspal jalanan.

“Kamu tidak apa-apa, Na?!”, Hani menghampiriku dan membantuku bangun untuk berjalan melihat kondisi Adi.

Ada banyak darah yang berceceran di jalan. Lumuran darah yang membasahi kepala dan tubuh Adi itu terlihat jelas. Ada banyak orang yang berdatangan untuk melihat kejadian kecelakaan ini.

Ku hampiri Adi dan ku peluk erat-erat tubuh nya. Aku merasakan seperti separuh jiwaku telah hilang, itu membuat air mata ini menjadi semakin tidak bisa dibendung.

“Adiiii bangunnn!! Adiiii bangunnn!!”, aku terus berusaha membangunkan Adi agar membuka matanya.

Hani yang berada di dekat ku mengatakan kalau ia telah menelepon ambulance dan memfoto plat nomor mobil yang telah menabrak Adi tadi.

Tak lama kemudian ambulance pun datang dan membawa Adi ke rumah sakit, kami berdua juga ikut mengantarkannya ke rumah sakit. Bajuku telah dilumuri darah Adi, rasa sakit yang di sikut kanan dan lutut kaki pun sampai tak terasa.

Aku minta Hani yang menelepon orang tua Adi untuk mengabarkan berita buruk ini, aku merasa seperti tidak sanggup lagi untuk berkata-kata.

Sesampai di rumah sakit, Adi langsung dibawa ke ruang operasi untuk dijahit kepalanya yang robekknya cukup parah tadi agar darahnya tidak mengalir terus-menerus sehingga bisa menghabiskan banyak darah.

Orang tua Adi sudah tiba di rumah sakit, sementara operasi Adi juga belum selesai.

“Bagaimana keadaannya?”, tanya Ibunya Adi dengan suara sedih.

“Belum selesai operasinya, Tante”, jawabku dan masih terus mengalir air mata.

Ibu Adi memeluk tubuhku walaupun bajuku sudah dipenuhi oleh banyak lumuran darah.

“Ini tanganmu juga berdarah”, kata Ibunya Adi yang melihat sikut tanganku terluka.

“Iya, Tante. Kalau soal ini mah gampang”, jawabku.

“Lukamu ini harus segera diobati kalau tidak nanti bisa jadi infeksi”, ibunya Adi menyuruhku untuk segera mengobati luka itu.

Seorang dokter keluar dari dalam ruang operasi. Aku, Hani, dan kedua orang tua Adi langsung menghampiri dokter itu.

“Bagaimana keadaan anak saya?”, tanya bapaknya Adi.

“Operasi nya berjalan lancar. Namun, keadaan anak bapak masih koma sehingga harus dimasukkan ke dalam ruang ICU”, jawab dokter itu.

Apa? Koma? Adi tolong bertahanlah, jangan pergi, itu kata-kata harapan ku yang ada di dalam hati.

Karena hari sudah menjelang malam, aku dan Hani diminta orang tua Adi untuk segera pulang, mereka yang akan menjaga Adi di rumah sakit.

Kejadian kecelakaan tadi masih teringat jelas di dalam otakku, apalagi kejadiannya di depan kedua mataku. Setelah aku pikir-pikir, terlihat jelas mobil itu melaju kencang ke arahku dan tidak ugal-ugalan. Hanya karena ada Adi saja yang membuat diriku jadi selamat.

“Han, sepertinya mobil itu ingin menabrak ku deh”, kataku di halte depan rumah sakit menunggu kendaraan umum yang lewat, karena Hani tidak membawa motor.

“Ahhh... Apa iya sih, Na. Kayaknya pengendara mobil itu saja yang tidak bisa mengendarakan mobil atau dia lagi mabok juga bisa”, jelas Hani.

Aku merasa seperti pernah melihat mobil itu, tapi aku lupa dimana waktu itu melihatnya. Aku dan Hani pun berpisah karena tujuan kami berbeda, sehingga kendaraan umum yang kami naiki juga berbeda.

1
♥\†JOCY†/♥
Kaya gak kerasa udah lama banget aku terkena dampaknya. Sukses terus, thor!
Inari
Author jago bener bikin cerita, sukses terus! 🙌
Beerus
Wah seru banget!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!