Blurb :
Seseorang yang pernah hancur cenderung menyebabkan kehancuran pada orang lain.
Aku pernah mendengar kalimat itu, akan tetapi aku lupa pernah mendengarnya dari siapa. Yang jelas, aku tahu bahwa pepatah itu memang benar adanya. Aku yang pernah dihancurkan oleh rasa terhadap seseorang, kini telah menghancurkan rasa yang orang lain berikan terhadapku.
Aku sungguh menyesal karena telah membuat dia terluka. Oleh karena itu, aku menulis semua ini. Dengan harapan suatu saat dia akan membacanya dan mengetahui bahwa aku pun mempunyai perasaan yang sama.
Meskipun mungkin sudah sangat terlambat.
Hai, Lelaki yang Telah Kupatahkan Hatinya, tulisan ini untukmu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sri Ghina Fithri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Move On? Let's See
Ceritaku selesai. Untuk waktu yang cukup lama Bang Rian hanya bisa terdiam. “Kok Abang diam aja, sih?” sindirku. Biasanya abang nomor duaku ini adalah orang yang paling aktif memberikan komentar.
Dia memonyongkan bibirnya, lalu menarik bibir monyong itu ke samping sambil terus melancarkan aksi bungkam. setelah beberapa saat, dia menggeleng. Di kalakian pun dia mendecak. “Aku gak tahu harus ngomong apa, Dek,” akunya setelah mengembuskan napas panjang.
Aku tertawa. Ya, tertawa. Karena, menurutku, sikap si Rianza Salim itu agak lucu. Bagaimana tidak? Dia pasti sedang kehilangan akal sehatnya sebab tidak ada yang bisa dilakukannya dalam situasi ini. Jelas, karena tidak ada yang bisa disalahkan selain aku.
“Kamu kok ketawa sih, hah?”
Dia menyenggol lenganku menggunakan sikunya dengan lembut.
Aku mengangkat sebelah bahu. “Kayaknya Abang kesal, ya? Abang kesal kan karena gak bisa salahin Alex? Secara akunya yang salah.” Rasa nyeri yang telah menjadi sahabat sejatiku selama tiga hari ini sekonyong-konyongnya hadir lagi. Senyumku kini terasa begitu pahit, seperti setelah menggigit pare segar mentah-mentah. “Ini semua karma buat Kayra, Bang.” Aku ikut-ikutan mengembuskan napas panjang. Ramainya perasaan membuat dada ini menjadi sesak hingga rasanya sulit sekali menghirup oksigen.
Kurasakan sebuah telapak tangan mengusap rambutku. “Menurut Abang, kalian berdua salah, Dek. Dia gak memberikan kesempatan buat kamu untuk menjelaskan semuanya dari awal. Kamu salah karena gak nepatin janji. Sekarang kalian sedang dihukum Tuhan karena kesalahan masing-masing.”
“But I did the worst, Bang.” Aku bersikukuh dan memotong kalimat Bang Rian.
“nyalahin diri sendiri gak bakal ada gunanya, Dek. Gak akan mengubah keadaan. Udahlah. Let it go. Ikhlasin. Kamu udah pernah berhasil move on sebelumnya, kan? Yang harus kamu lakukan sekarang adalah mengulangi apa yang kamu lakukan saat itu. Maafkan diri kamu. Let it go. Get a move on.”
“Abang ingat kan kalau Alex yang ngebantu aku melewati semua yang Abang sebutkan tadi?” Sekali lagi aku menyalip perkataan abangku itu, kelakuan yang pasti sudah benar-benar dihafalnya di luar kepala.
Dia terdiam sejenak sebelum kembali melanjutkan usahanya untuk ... entahlah, menyemangatiku, mungkin.
“Dek, sekarang Abang mau tanya satu hal sama kamu. Kamu ... sebenarnya belum mau move on aja dari Alex, kan?”
Well ... kalau Bang Rian mengatakannya dengan cara seperti itu .... Aku pikir-pikir memang benar. Aku masih ingin berada di dalam lingkaran Alex. Bukan hanya karena rasa bersalah dan penyesalan yang masih mengungkung, akan tetapi juga karena perasaanku masih belum selesai. Entah kapan akan selesainya. Aku menggeleng, menanggapi pertanyaan Bang Rian yang terlontar beberapa saat yang lalu. Belum. Aku baru saja menyadari perasaanku kepadanya. Aku baru saja memulai. Aku tidak bisa langsung mematikan rasa ini. Ini perasaan, bukan lampu kamar yang bisa dihidup-matikan seenaknya.
Jawabanku membikin Bang Rian mengangguk pelan. “Oke, Abang ngerti. Kalau gitu, silakan kamu nikmati dulu apa yang kamu rasakan. But, one thing you should know, di sini masih ada Abang, Juni, Papa dan Mama juga teman-teman kamu. You’re not alone. Kami siap menjadi apa pun yang kamu butuhkan selama menjalani proses ... proses ... proses whatever the name is.”
****
Dua minggu kemudian
Lulu : Kayra udah di rumah lagi ya? Kapan ke sini lihatin Rindu?
Aku benar-benar lupa. Aku bahkan tidak ingat di mana kado kelahiran Rindu yang aku beli bersama Mimi dan Wide waktu itu. Aku langsung mengirim pesan ada mereka berdua.
Me : Kado buat Rindu yang waktu itu kita beli ada di mana ya?
Thanks to Lulu, ini adalah pertama kalinya perhatianku teralihkan dari hal yang bukan Alex dan patah hati ini dalam dua minggu terakhir. Kini aku disibukkan dengan rasa gugup saat menunggu balasan dari mereka. Jangan sampai Lulu ngambek gara-gara ini. Di mana aku taruh barang-barang itu, ya?
Tak lama kemudian, ponselku berdering menandakan sebuah telepon masuk. Wajah konyol Wide memenuhi layar.
“Kay, kadonya udah kita titip ke Mimi kan? Biar bisa sekalian dikasih ke Lulu waktu itu,” beri tahu Wide dengan suara latar belakang yang lumayan riuh. Dia sepertinya sedang berada di tengah keramaian.
“Lagi di mana sih, Wi?” Aku penasaran. Jangan-jangan kali ini dia sudah berada di Palestina untuk misi perdamaian.
Kentang, weee. Bleh.
“Aku lagi di dapur restoran, Kay. Di luar lagi rame banget. Makanya aku ke sini biar bisa telepon kamu. Udah ya, beb. Bye!”
Klik. Sambungan sekonyong-konyongnya langsung terputus.
Aku menatap ponsel dengan bingung. Kalau Wide benar-benar sedang sibuk, kenapa dia harus meneleponku? Dia kan bisa membalas pesanku dengan pesan juga? Ajaib memang. Setelah itu aku langsung masuk ke ruang obrolan grup Teletubbies lagi.
Me : Luluuuuu
Me : Kan waktu itu kadonya udah dibawain Mimi?
Me : bikin kaget orang aja pake nanyain kado segala
Me : ih!
Me : Nanti deh aku mampir ke sana yaaa
Kuakhiri rentetan pesanku dengan emoticon kissy face.
Dalam sekejap muncul balasan dari si Lulu.
Lulu : kan itu Tante Mimi yang bawain kadonya, Tante Kakaaay
Lulu : Tante Kayra sendiri beluuum
Lulu : wkwk
Aku memutar bola mataku. Dasar. Ih!
Me : iya, iyaa. Maminya Rindu resek banget deh
Me : nanti kalau ada duit beli lagi yaaa
Me : maminya Rindu mau apa?
Sengaja aku bertanya seperti itu karena ... selama ini setiap ada yang lahiran, kita terbiasa untuk menyambut kedatangan si bayi dengan kado dan perayaan meriah. Hal itu terkadang tanpa disadari membuat si ibu menjadi terlupakan. Padahal perjuangan yang para ibu itu lakukan sangat sangat sangatlah berat. Masa mengandung dan melahirkan adalah masa paling berat yang akan pernah dijalani oleh manusia dan hal ini sudah dibuktikan oleh ilmu science. Menurutku, sudah saatnya kita juga mulai untuk menormalisasikan memberi hadiah apresiasi bagi ibu-ibu yang sudah berjuang tersebut.
Ini pertama kalinya aku merencanakan sesuatu yang akan aku kerjakan di luar rumah dalam dua minggu. Thanks to Lulu again I guess. Selain membelikan barsng untuk Rindu, aku juga akan mencari sesuatu untuk Lulu juga nanti.
Aku kemudian ke luar dari kamar dan mencari Bang Rian yang ternyata sedang duduk di depan televisi. “Bang, mobil aku masih bisa nyala kan?” Aku menghempaskan diri ke sofa di samping Bang Rian sambil melemparkan pertanyaan itu.
"Ya masih lah! Kamu tahu Abang sama Papa rutin ngerawat mobil kamu itu." Cowok yang tengah memakai kaus kutang dan celana jogger abu-abu itu mendecak. "Kadang-kadang minta digeprek juga ini bocah," selorohnya lagi.
"Idih, main geprek-geprek anak gadis orang aja." Aku mencibir. "Aku serius, Bang. Kan aku udah lama gak pakai mobilnya."
"Iya, iyaaa. Sehat kok. Kenapa emang?" tanya Bang Rian sembari menoleh padaku sebentar sebelum kembali ke siaran olahraga di depannya. Dia terus saja mengunyah kacang almond yang ada di dalam toples. Duh, laki-laki manaaa yang jadiin almond sebagai camilannya coba?
"Aku mau ke luar," jawabku singkat.
Bang Rian lantas menegakkan duduknya. "Serius kamu?!” Matanya melebar penuh antusias. "Ke mana?"
“Iyaa. Rencananya aku mau ke tempatnya Lulu. Aku kan belum ketemu dia semenjak dia lahiran.” Aku ikut mengambil kacang dari toples yang dipeluk Bang Rian.
“Biar aku temenin ya, Kay.”
Tiba-tiba sebuah suara yang tidak asing terdengar dari arah belakangku. Mimi seketika saja muncul dari balik pintu samping memakai sarung tangan penuh dengan noda tanah dan terus berjalan ke arah dapur. Untuk beberapa saat dia menghilang ke balik pintu kulkas yang tengah terbuka. “Sekalian bantuin kamu nyari gaun kelulusan,” tambahnya di kalakian sambil memegang sebuah botol kecil berisi air mineral dingin. Dia tersenyum dan menghilang kembali ke kebun kecil yang dibuat Mama di samping rumah.
Bang Rian menangkap keherananku. Dia pun langsung tertawa. “Mimi udah di sini dari tadi, Dek. Dia larang aku buat ngasih tahu kamu, katanya takut semedi kamu terganggu.”
Aku menatap Bang Rian lekat-lekat, menuntut penjelasan lebih lanjut melalui kontak mata kami. Kenapa Mimi tahu aku sedang bersemedi? Kupancarkan pertanyaan itu menggunakan bola mataku. Kupastikan Bang Rian menangkap sinyal kuat, sangat kuat, yang kuberikan.
“Iya, iya, Abang juga udah cerita ke Mimi. Enggak apa-apa ya, Dek? Abang pikir sebaiknya ada teman cewek kamu yang tahu. Jadi setidaknya kalian bisa saling dukung. Sesama cewek kan kalian pasti bisa lebih saling ngerti.”
Tidak dipungkiri, rasa kesal menjadi reaksi pertama dariku. Namun, setelah ak memberikan beberapa waktu agar diriku bisa mencerna informasi itu dengan benar dan me-manage emosi yanb tepat, aku pun mengangguk pelan. Perlahan-lahan menerima kebenaran yang ada dalam pernyataan Bang Rian, si jagoan kaus kutang. Aku di kalakian mengembuskan napas. “Makasih ya, Bang.” Aku lantas memeluk badan kekar Bang Rian sambil lalu. Mungkin memang lebih baik begitu. Mimi mungkin bisa memberiku alasan untuk ke luar dari rumah lebih sering nantinya, mencoba menikmati hari-hari, dan move on. Move on? Iya, move on. Maybe.
Let's see.
To be continued ....
terimakasih ya kak ❤️❤️❤️❤️