Aramina Dwi Fasya, gadis yang menyandang gelar lulusan S1 Pendidikan Ekonomi namun masih mempertinggi angka pengangguran, beban keluarga. Menjadi seorang EXE-L di usia 20 tahun membuat kehidupan gadis itu diwarnai dengan drama serta kehaluan bakal bersanding dengan sang bias favorit, Kay. Berawal dari sebuah konser dan Fanmeeting di ibukota menyadarkannya pada kenyataan bahwa menyentuh sang idol adalah nyata!
Belum lagi sebenarnya banyak kejadian tak terduga yang terasa bagai mimpi melengkapi imajinasinya soal hal paling tidak memungkinkan di dunia ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Trii_e, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Kumenangis
“Hiks!”
Alamak!
Terkaget daku mendengar suara tak asing di telinga saat baru saja menutup pintu. Mana waktunya maghrib-maghrib lagi. Arin dan Juna kelewatan sampe gak tahu waktu dengan alasan masih pasangan baru katanya, masih bucin-bucinnya. Tidak tahu eomma sudah menelfon lebih dari 15 kali, appa 3 kali, dan tak ketinggalan si Abang super sibuk 23 kali. Total 30 lebih!
Jangan-jangan eomma mengira aku dan Arin kawin lari?
Bergegas memasuki pelataran ruang tamu dengan jalan terengah, keringat mengucur deras, dengan backsound yang familiar bagi setiap insan (adzan Maghrib), terdengar suara-suara aneh tidak cukup jelas karena beradu dengan suara malam.
“Kamu tega mas!”
Suara perempuan terdengar pilu, mendadak kaki berhenti kemudian menajamkan pendengaran.
“Kamu tega menduakan aku dengan sahabatku sendiri? Hiks ...”
Astaghfirullah!
Apa ibu dan ayah berantam?
Apa benar ayah selingkuh dengan teman eomma?
“Apa kurangnya aku mas??? Katakan apa??”
Semakin keras bunyinya, semakin gemetar badan ini menopang diri sendiri di atas lantai yang dingin. Tak salah dengarkah aku appa? Appa selingkuh di belakang ibu tanpa memikirkan kami, anak-anakmu?
“Hiks!” tak sadar diri mulai terhanyut akan kesedihan eomma.
“Tidak ada sih! Kau salah paham, ngerti?!”
“Ta-tapi mas ... Kau juga harus memikirkan masa depan anak-anak.”
“Oke! Aku pacaran dengan Ayu karena ia jauh lebih cantik dan enak diliat gak kayak kamu!! Puas?”
Ya Allah appa ...
Hiks!
Tidak pernah selama ini secuil saja kata-kata kasar keluar dari dirimu untuk ibu. Apalagi kalian mengaku saling mencintai satu sama lain dan kebanyakan bucin ketimbang berdiam diri. Bagaimana nasib kami kelak kalau appa pergi?
“Hiks! Hiks!”
Walaupun aku termasuk pribadi datar, yang kalau ada apa-apa bodo amat, tidak suka mencampuri urusan orang lain dan cukup membenci orang yang tak mensyukuri hidup, namun bagiku keluarga adalah segalanya. Meskipun bang Satria orang paling menyebalkan di dunia, tetap saja aku akan sedih kalau kami hidup berpisah. Keluarga itu satu kesatuan, jika bercerai berai namanya kesakitan. Sumpah aku tak pernah meminta apa pun kecuali satu, utuhnya keluarga Hermansyah selamanya.
Brakkk!
Aku terkejut bukan main. Rupanya bang Satria baru saja pulang dari luar mendapatiku menangis terdiam. Ia pun kaget, menghampiri dengan ekspresi heran. Baru ini jugalah bisa terlihat aura-aura seorang Kakak laki-laki mengkhawatirkan adik perempuannya karena sangat menyedihkan. Berasa punya kakak sungguhan.
“Kenapa kau menangis dek?? Ada yang menyakitimu kah?”
Aku menggeleng.
“Trus kenapa kau menangis?”
“Maaass!! Mass jangan pergi masss!!!! Aku mohon jangan tinggalkan aku ...”
Aku menunjuk asal suara dari ruang tamu dan memandang bang Satria masih dengan air mata mengalir. Awalnya ia tertegun, tapi lama-lama ekspresinya menjadi aneh.
“Kumenangiiiissssss ...”
“Wkwkwkwkwkwkkw ...”tawa bang Satria langsung memenuhi rumahku. Sedangkan aku??? Setengah mati menahan malu karena ternyata ... Ternyata eomma dan appa sedang menonton Drakor (Drama pelakor) di siaran ikan ngesott!!!
“Eommmaaa!!!!” teriakku tak tahan lagi, bisa-bisanya mereka malah nonton di jam sholat Maghrib. Lihat kan? Bang Sat tak bisa berhenti tertawa merasa ini semua sangat konyol. Cepat-cepat aku, disusul bang Satria meneruskan langkah ke ruang tamu. Eh, dua orangtuaku itu malah celingak-celinguk melihat kami hampir sampai berbarengan.
“Mina, kenapa teriak-teriak?”
“Appa!!! Kalian tidak ada kerjaan lain kah? Tidak sholat?”
“Hahahhaha ....” (tawa bang Sat)
“Kalian kenapa? Eomma sedang libur dan appa akan segera beranjak. Memangnya kenapa?”
“Eomma ... Hahahaha! Anak curut ini mengiranya kalian bertengkar hebat.”
“Diam bang!”
“Tidak ada. Appa sholat dahulu.” Satu orang melarikan diri dari drama.
“Itu tadi film Mina, judulnya Azab suami tukang selingkuh ditimpa keranda mayat meninggal di tempat! Keren gak?”
“Arghhhhhhh!!!”
Aku pusing! Aku stres!! Aku mau tenggelam sampai ke dasar laut pantai selatan rasanya! Kenapa ada keluarga se-absurd ini sihh?
“Dan kau ...??”
“Kenapa Bu?”
“Kenapa kau bilang hah???” suara ibu meninggi ditambah wajah marah membuatku bergidik. “Janji pulang jam berapa tadi?”
“Ah anuu ... Anu ma, Arin bilang ...”
“Arin bilang apa? Selalu alasan menggunakan nama Arin padahal belum tentu itu perbuatannya kan? Ini sudah Maghrib Mina, kau anak perawan! Tak baik pulang larut dan berkeliaran di luar sana. Jangan-jangan kau pacaran yah?”
Bussyet!
Arin yang pacaran kok aku yang dituduh, tapi kesalahan ini juga memang berasal dari kami. Eomma marah-marah sudah sepatutnya. Tapi makhluk jadi-jadian suka kayang di rumah sebelah itu pasti sedang bahagia karena aman sentosa. Tidak akan dimarahi mama dan papanya, kenapa? Karena setiap kali mau kena omel, namaku jugalah alasan paling mujarab. Nah, yang jadi perbedaan itu terletak di sikap mama Arin dan eomma. Mama Arin bisa menerima, langsung he’eh saja tanpa bertanya panjang lebar. Sedangkan Nyonya Lusi Hermansyah tidak akan pernah mau percaya, mau main sumpah-sumpahan juga kagak bakal percaya dah. Dari sumpah disambar gledek sampe disambar tukang cilok kagak mempan juga.
“Berani kau coba pacaran, Abang ajak pacarmu ke ring tinju.” Ancam bang Sat tiba-tiba, sinis amat.
“Kenapa rupanya? Aku kan sudah dewasa, kenapa tak boleh mencari pasangan?” akhirnya perasaan di dada yang terpendam sejak lama bisa dikeluarkan hari ini. Mungkin aku memang tidak, atau lebih tepatnya belum niat mencari pacar selain Kay Oppa, tapi suatu saat ada keinginan juga dalam diriku untuk mengisi kekosongan hati disaat ekspektasi tak seindah realita kejadian.
“Dewasa apanya? Kau masih anak kecil!”
“Jangan panggil aku anak kecil Abang! Aku Mina! Namaku Mina!” tragis betul jadi anak gadis sendirian. Jangan bilang mereka berencana membuatku menjadi perawan tua, kalau iya ...
“Sana sholat kalian! Jangan ganggu eomma! Sedang seru-serunya juga ...”
Bersamaan dengan itu soundtrack yang sangat familiar kembali di layar kaca. Benar saja, Drakor eomma dimulai lagi dengan lanjutan yang sudah tertebak jalan ceritanya seperti apa. Eomma tidak bosan melihat suami orang ketabrak mobil terus mati. Malah diketawain karena azabnya sangat tepat dan bikin puas. Eh ... Kok mendadak jadi sutradara gaib?
“Ah sudahlah! Mina mau ke kamar!”
“Eh dek! Ingat yah?” bantal sofa dalam genggaman eomma di rebut, ditonjok-tonjok sampe bonyok, lepek, tak berbentuk, but memang modelnya saja sudah aneh. Kerucut-kerucut bulat, ada seginya dan panjang. Entahlah, pilihan eomma tahun kemaren saat beli di toko. Belum puas ditonjok, giliran diinjak sampai bantal tuh gak ada harga diri sama sekali.
“Bang Sat! Bantal ibu!” teriak eomma histeris. Pisang raja dalam baskom seketika melayang mengenai jidat si Abang hingga membuat ia meringis kesakitan.
Rasaiinnn!!! Emangnya enak!?
Tak kuhiraukan. Enak saja dia boleh pacaran, udah gonta-ganti pula selama lebih satu dekade. Malah dalam hatiku terbesit rencana aneh, apa aku coba saja?