Wu Lan Cho, adalah sebuah Negeri yang sangat penuh dengan misteri, pertumpahan darah, perebutan kekuasaan. salah satu kekaisaran yang bernama Negeri Naga yang di pimpin oleh seorang Kaisar yang sangat kejam dan bengis, yang ingin menguasai Negeri tersebut.
Pada saat ini dia sedang mencari penerusnya untuk melanjutkan tekadnya, dia pun menikahi 6 wanita berbeda dari klan yang mendukung kekaisarannya. dan menikahi satu wanita yang dia selamatkan pada saat perang di suatu wilayah, dan memiliki masing-masing satu anak dari setiap istrinya.
Cerita ini akan berfokus kepada anak ketujuh, yang mereka sebut anak dengan darah kotor, karena ibunya yang bukan seorang bangsawan. Namanya Wēi Qiao, seorang putri dengan darah gabungan yang akan menaklukan seluruh negeri dengan kekuatannya dan menjadi seorang Empress yang Hebat dan tidak ada tandingannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gelombang Di balik Kemenangan
Bau daging panggang bercampur harum arak herbal memenuhi ruangan. Lampion-lampion kecil bergoyang di langit-langit, memantulkan cahaya kekuningan di wajah para murid Kelompok 8. Meja panjang penuh sesak—sup panas mengepul, tumpukan roti panggang, dan kendi-kendi besar arak yang tak berhenti berpindah tangan.
“Untuk kemenangan Kelompok 8!”
“Untuk Wēi Qiao!”
Suara sorakan menggelegar sampai ke lorong luar. Gelas-gelas kayu beradu, meja bergetar karena hantaman tangan yang terlalu bersemangat.
Wēi Qiao duduk di ujung meja, mencoba terlihat tenang. Di kepalanya, suara dingin namun sarkastis terdengar jelas—hanya dia yang bisa mendengarnya.
Micro Bot: “Volume suara di ruangan ini setara dengan kerumunan 20 orang di pasar kuda. Overstimulating.”
Wēi Qiao: (mendesis dalam hati) Kau pikir aku nggak tahu? Aku yang kupingnya mau pecah, bukan kau.
Micro Bot: “Kau memiliki opsi untuk keluar. Namun, statistik sosial menunjukkan—”
Wēi Qiao: Diam. Malam ini untuk merayakan kemenangan, bukan untuk mendengar statistik darimu.
Micro Bot: “Catatan: nada bicaramu mengindikasikan peningkatan tekanan emosional sebesar—”
Wēi Qiao: Kalau kau sebut angka lagi, aku sumpal kau ke dalam kendi arak.
Entah kenapa, meski itu cuma percakapan di kepalanya, Wēi Qiao seperti bisa merasakan botnya menghela napas sarkastis.
Seorang murid menepuk bahu Wēi Qiao.
“Hei! Minum lagi! Malam ini kita juara!”
Wēi Qiao mengangkat gelasnya, tersenyum tipis.
Micro Bot: “Alkohol akan menurunkan performa refleks sebesar—”
Wēi Qiao: Tutup mulut, atau aku minta tukang besi buat nyopot chip bicaramu.
Ia meneguk arak itu sampai habis, sementara di dalam kepalanya, bot itu bergumam seperti sedang mencatat dosa-dosa majikannya.
Tawa, musik, dan aroma makanan memenuhi udara—malam itu mereka seperti keluarga yang baru saja menaklukkan dunia kecil mereka sendiri.
Namun, jauh dari sana… dunia yang lebih besar sedang merencanakan badai.
Di jantung kota, sebuah bangunan kuno berdiri sunyi. Di dalamnya, aula bundar tertutup tirai hitam berat. Obor besar di dinding membuat bayangan para pemimpin klan memanjang, tampak seperti raksasa yang mengintai.
Enam kursi besar mengelilingi meja bundar dari giok hitam.
Zhào Jianhong – Pemimpin Klan Peluit Perang, tubuhnya kekar, sorot mata seperti ujung tombak yang siap menembus dada lawan.
Lu Shan – Pemimpin Klan Tombak Panjang, berperawakan jangkung, senyumnya selalu seperti mengejek.
Madame Xu Lian – Pemimpin Klan Rapier Racun, wajah cantiknya seperti bunga, tapi tatapan matanya penuh racun.
Guo Feng – Pemimpin Klan Kipas Besi, berjanggut panjang, gerakannya selalu penuh perhitungan.
Qín Zhaoxu – Pemimpin Klan Pedang Kembar Petir, rambut peraknya memantulkan cahaya obor, wajahnya dingin tanpa emosi.
Báo Tiansheng – Pemimpin Klan Pedang Besar, klan nomor satu, tubuhnya bagai tembok batu, tatapannya mengandung wibawa yang menekan.
Zhào Jianhong membuka rapat dengan suara berat yang menggelegar di dinding batu.
“Hari ini… kehormatan Klan Peluit Perang dihancurkan oleh satu anak bernama Wēi Qiao. Dia memotong lengan cucuku—di depan ribuan saksi. Ini… adalah penghinaan yang tak akan aku biarkan.”
Madame Xu Lian mengangkat cangkir tehnya dengan gerakan anggun. Senyum tipisnya bagaikan belati terselubung.
“Penghinaan? Atau penghakiman? Kalau cucumu tumbang seperti itu… artinya dia terlalu lemah. Dunia tidak memberi tempat pada yang lamban.”
DUAK!
Telapak tangan Zhào Jianhong menghantam meja hingga giok bergetar.
“Xu Lian! Mulutmu selalu beracun. Kau akan tertawa jika Cucumu dipermalukan begitu?”
Lu Shan menyandarkan tubuhnya di kursi.
“Jianhong, Jianhong… justru aku sepakat dengan Xu Lian. Anak itu cepat, berani, dan mengatur formasi yang bahkan kapten perang kita pun kesulitan menirunya. Daripada takut, aku ingin merekrutnya.”
Zhào Jianhong menggeram.
“Kau ingin merekrut pemotong lengan Cucuku?!”
Qín Zhaoxu yang sedari tadi diam, akhirnya bersuara. Suaranya dingin, setiap kata terasa seperti bilah pedang yang baru diasah.
“Cukup. Kita semua melihatnya. Anak itu berbahaya. Jika dibiarkan tumbuh, ia akan menjadi kekuatan yang bahkan enam klan tidak bisa kendalikan.”
Guo Feng menutup kipas besinya perlahan, matanya tajam menatap satu per satu.
“Dan jika kita bertindak terburu-buru, kita melanggar perjanjian ujian. Itu akan memicu perang saudara di antara kita sendiri. Siapkah kalian membayar harga itu?”
Zhào Jianhong menunduk sedikit, suaranya kini lebih licin.
“Jadi kita biarkan dia menusukkan pisau ke tenggorokan kita nanti?”
Báo Tiansheng akhirnya bicara, suaranya dalam dan berat.
“Bukan membiarkan. Kita amati. Kita ukur sejauh mana dia bisa melangkah. Jika dia melewati batas… kita semua akan bergerak. Bersama.”
Lu Shan terkekeh.
“Kalian ini takut pada satu bocah? Enam klan punya ribuan pendekar.”
Qín Zhaoxu menatapnya lurus, matanya berkilat.
“Sejarah negeri ini… sudah berkali-kali diubah oleh satu orang.”
Keheningan menghantam ruangan. Hanya suara api obor yang memercik di dinding batu.
Zhào Jianhong memecah hening dengan senyum tipis penuh intrik.
“Baiklah… kalau begitu, aku akan mengirim bayangan. Tidak ada yang tahu siapa pembunuhnya, tidak ada yang tahu siapa dalangnya. Wēi Qiao akan mati… sebelum sempat menjadi legenda.”
Madame Xu Lian menatapnya tajam, suaranya penuh peringatan.
“Hati-hati, Jianhong. Api yang kau nyalakan… sering kali membakar tuannya sendiri.”
Zhào Jianhong hanya tertawa pelan.
“Kalau begitu… kita lihat siapa yang terbakar lebih dulu.”
Cahaya obor bergetar, memantulkan bayangan para pemimpin itu di dinding—bayangan raksasa yang perlahan menyatu, membentuk siluet badai yang siap menerkam.
Malam itu, di luar balairung…
Angin berdesir, membawa aroma hujan yang belum turun. Di atap-atap rumah, bayangan hitam bergerak lincah, nyaris tak bersuara.
Sepasang mata merah redup berkilat di bawah tudung hitam. Tangan yang terbungkus sarung kulit memegang belati melengkung, bilahnya menelan cahaya malam.
Di pinggangnya tergantung kain dengan lambang kepala naga terbelah—tanda para algojo bayaran yang hanya bergerak bila enam klan setuju.
Bayangan itu berhenti di ujung atap, memandang ke arah asrama kelompok 8 yang penuh cahaya dan tawa.
Bibirnya bergerak pelan, membisikkan satu nama.
"Wēi Qiao."
Lalu, tanpa suara, ia menghilang ke dalam kegelapan.
Malam menggantung sunyi di langit akademi. Asrama kelompok 8 tenggelam dalam lelap setelah perayaan kecil tadi, hanya meninggalkan aroma arak dan sisa tawa yang samar di udara.
Tapi ranjang Wēi Qiao kosong.
Ia melangkah ringan ke luar, menyusuri jalan setapak yang diselimuti kabut tipis. Begitu mencapai hutan kecil di belakang akademi, tubuhnya melesat — kaki menjejak batang, melompat dari dahan ke dahan, bergerak seperti hembusan angin yang tak bisa ditangkap mata.
[Micro Bots: “Data menunjukkan Anda mengalami defisit istirahat 62%. Tubuh Anda sudah bekerja di luar batas optimal. Saran: hentikan aktivitas dan kembali tidur.”]
("Aku belum mati kan?")
[Micro Bots: “Belum. Tapi dengan pola ini, kemungkinan Anda tewas sebelum umur tiga puluh naik menjadi 14% setiap pekan.”]
("Nyenyenye… Kau ini robot atau perawat cerewet?")
[Micro Bots: “Sistem pendukung tempur. Mengomel demi keselamatan Anda adalah bagian dari protokol.”]
Wēi Qiao baru saja mendarat di dahan besar ketika suaranya merendah, “Terlalu hening…”
[Micro Bots: “Koreksi: tidak sepenuhnya hening. Ada objek bergerak cepat di arah kiri bawah, jarak 18 meter, kecepatan 4,6 meter per detik.”]
Wēi Qiao menyipitkan mata ke arah gelap. “Keluar.”
Tidak ada jawaban. Hanya… WUSS!
Bilah hitam melesat memotong udara, menghantam batang pohon tempatnya berdiri. Kayu retak keras. Wēi Qiao melompat ke belakang, tapi serangan kedua sudah datang — menyapu horizontal, memaksa dia berjongkok di detik terakhir.
Bayangan itu bergerak seperti air, mengalir di antara ranting, tubuhnya nyaris tak terlihat.
[Micro Bots: “Serangan berikutnya: sudut kanan atas. Lompatan vertikal 1,8 meter, sekarang!”]
Wēi Qiao mematuhi, tubuhnya melesat ke atas, nyaris bersamaan dengan suara CRASH ketika bilah menebas dahan di bawahnya.
[Micro Bots: “Putaran kiri! Hindari tusukan di ketinggian dada!”]
Ia memutar tubuh di udara, membiarkan tusukan itu hanya menembus kosong. Tapi begitu kakinya menyentuh dahan lain, tiga serangan sekaligus datang dari arah berbeda.
("TIGA sekaligus?!")
[Micro Bots: “Dua di antaranya tipuan. Fokus pada serangan diagonal dari kiri!”]
Wēi Qiao menangkis dengan pedang pendeknya, percikan logam memercik di udara. Tapi getaran benturan membuat tangannya kebas.
Bayangan itu tak memberi napas — bilahnya menari, menusuk, menebas, membelah udara. Setiap gerakan diarahkan untuk membunuh. Wēi Qiao hanya bisa mengikuti instruksi kilat dari micro bots, melompat, menunduk, memutar, bergelantungan di cabang, bahkan membiarkan satu tebasan hanya nyaris menggores pipinya demi menghindari serangan yang lebih mematikan.
Peluh dingin mulai membasahi pelipisnya. Nafasnya terengah.
[Micro Bots: “Tuan, rute mundur terbuka di belakang Anda. Lompat mundur tiga meter dan jatuhkan diri ke cabang bawah!”]
Wēi Qiao memanfaatkan celah itu, menjatuhkan diri, lalu berguling di batang yang lebih rendah. Saat ia kembali menatap ke atas, bayangan itu sudah menghilang… hanya menyisakan dedaunan yang masih bergoyang.
Ia berdiri, napas berat, pedang masih terangkat. “Kau… akan kembali.”
[Micro Bots: “Prediksi: 93% kemungkinan benar. Dan saya ulangi… Anda butuh istirahat.”]
("Nyenyenye…")
Di kejauhan, di antara kabut malam, sepasang mata merah menyala pelan… mengamati, menunggu.
Lanjuuuuutttt