Arjuna Hartono tiba-tiba mendapat ultimatum bahwa dirinya harus menikahi putri teman papanya yang baru berusia 16 tahun.
“Mana bisa aku menikah sama bocah, Pa. Lagipula Juna sudah punya Luna, wanita yang akan menjadi calon istri Juna.”
“Kalau kamu menolak, berarti kamu sudah siap menerima konsekuensinya. Semua fasilitasmu papa tarik kembali termasuk jabatan CEO di Perusahaan.”
Arjuna, pria berusia 25 tahun itu terdiam. Berpikir matang-matang apakah dia siap menjalani kondisi dari titik nol lagi kalau papa menarik semuanya. Apakah Luna yang sudah menjadi kekasihnya selama 2 tahun sudi menerimanya?
Karena rasa gengsi menerima paksaan papa yang tetap akan menikahkannya dengan atau tanpa persetujuan Arjuna, pria itu memilih melepaskan semua dan meninggalkan kemewahannya.
Dari CEO, Arjuna pun turun pangkat jadi guru matematika sebuah SMA Swasta yang cukup ternama, itupun atas bantuan koneksi temannya.
Ternyata Luna memilih meninggalkannya, membuat hati Arjuna merasa kecewa dan sakit. Belum pulih dari sakit hatinya, Arjuna dipusingkan dengan hubungan menyebalkan dengan salah satu siswi bermasalah di tempatnya mengajar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 Kenaikan Kelas
Sejak kejadian malam itu, terlihat Cilla menghindari Arjuna secara terang-terangan di sekolah. Febi dan Lili sempat merasa aneh dengan kelakuan Cilla.
Biasanya gadis itu dengan seringai liciknya akan bersiap-siap memulai debatnya dengan Arjuna saat mereka berpapasan. Belakangan ini, justru Cilla memutar arah menghindar bertemu guru ganteng itu.
Beberapa kali juga tanpa sengaja mereka bertemu di taman seperti biasanya, tapi lagi-lagi Cilla langsung melarikan diri begitu melihat Arjuna meski dari kejauhan. Arjuna sendiri tidak terlalu peduli, baginya Cilla cuma seorang anak labil dari keluarga kaya yang haus akan perhatian.
Hingga tanpa terasa 3 bulan sudah Arjuna bekerja sebagai calon guru di SMA Guna Bangsa.
Hari ini, untuk pertama kalinya Arjuna merasakan suasana penerimaan raport kenaikan kelas dengan posisi sebagai guru, meski belum guru tetap. Ia merasakan dan akhirnya mengetahui apa saja yang dilakukan para guru untuk menentukan hasil belajar para muridnya.
Arjuna menyusuri lorong melewati kelas demi kelas menuju ruangan Pak Slamet. Ia baru saja berada di lantai 3 tempat kelas 12 berada. Sempat melihat-lihat dan belajar pada beberapa walikelas kelas 12, karena sudah bisa dipastikan kalau di tahun ajaran baru nanti Arjuna akan mengajar matematika kelas 12 khusus kelas IPS, sementara untuk kelas IPA akan dipegang oleh Pak Husni, guru yang lebih senior dan sebelumnya mengajar di kelas 10.
Arjuna membuka perlahan pintu ruangan kepala sekolah setelah mengetuk dan dipersilakan masuk.
Seorang pria baya dengan setelan jas warna abu-abu tua terlihat sangat berwibawa.
“Nah ini dia guru baru yang saya maksud, Pak,” Pak Slamet menunjuk Arjuna yang baru saja masuk.
Pria baya itu mengangguk sambil tersenyum.
“Pak Juna, perkenalkan ini Pak Darmawan, ketua yayasan sekaligus pemilik sekolah.” Pak Slamet ganti menunjuk pria yang duduk di dekatnya dengan posisi telapak tangan yang terbuka.
Arjuna pun mengulurkan tangan, berjabatan dengan Pak Darmawan, yang sudah bisa dipastikan sebagai papi Cilla juga.
Genggaman tangan Pak Darmawan cukup kuat dan tangan lainnya menepuk-nepuk pungung tangan Arjuna yang sedang berjabatan.
“Siapkan fisik dan mental untuk mengatasi jiwa muda anak-anak kelas 12, Pak Arjuna,” ucap Pak Darmawan sambil tertawa.
“Iya Pak, saya siap ditempatkan di kelas mana pun,” jawab Arjuna sedikit merendah sambil tertawa pelan.
Bukan kebiasaannya berprilaku seperti ini kalau sedang berhadapan dengan calon investor atau rekan kerja. Tapi saat ini posisinya hanya guru yang bertemu dengan pemilik sekolahnya.
“Sebelumnya Pak Juna bekerja di mana ?”
Saat ini Arjuna sudah duduk di sofa dengan posisi berhadapan dengan Pak Darmawan, sementara Pak Slamet di bagian ujung sofa, di antara keduanya.
“Divisi Marketing PT Indopangan Makmur, Pak.”
Dahi Pak Darmawan berkerut mendengar Arjuna menyebutkan nama perusahaan besar itu.
“Jadi belum pernah punya pengalaman sebagai guru ?”
“Belum, Pak,” Arjuna tersenyum tipis. Agak deg deg kan juga, jangan sampai Pak Darmawan berubah pikiran dan memintanya keluar, mumpung belum jadi guru tetap.
“Yakin bisa belajar menjadi guru matematika di sini ? Target yang harus dicapai cukup tinggi loh.” Pak Darmawan mengangkat alisnya sebelah.
Arjuna hanya tertawa dengan sedikit canggung. Kalau boleh jujur, ia sendiri tidak terlalu yakin bisa menjadi guru yang baik, apalagi langsung melejit pegang kelas 12. Tanggungjawab persiapan ujian kelulusan terasa cukup membebani.
“Yakin, Pak !” jawab Arjuna mantap.
“Dan semoga Tuhan merestui niat saya, Pak,” ucap Arjuna dalam hati.
“Oh ya Pak …”
“Juna, Pak. Panggil saya Juna saja.” sahut Arjuna.
“Pak Juna ya,” Pak Darmawan manggut-manggut. “Mungkin Pak Juna sudah tahu dari Pak Slamet kalau putri tunggal saya bersekolah di sini dan akan diajar oleh Pak Juna.”
Arjuna mengangguk mengiyakan.
“Saya tahu kalau dia cukup bermasalah di sekolah ini karena sering keluar masuk ruang BK. Memang sedikit agak susah diatur. Mohon dimaklumi karena selain anak tunggal, Cilla sudah tidak punya ibu lagi. Saya sendiri cukup sibuk mengurus beberapa perusahaan. Saya harap Pak Arjuna bisa lebih sabar menghadapinya.”
Arjuna sedikit kaget mendengar kalau Cilla adalah seorang anak piatu. Pantas saja, gumam Arjuna dalam hati.--
“Akan saya usahakan, Pak.”
“Saya tidak minta Cilla diperlakukan istimewa. Bukannya bertambah baik, Cilla pasti akan semakin sulit didekati. Mungkin sebagai guru yang masih muda, Pak Arjuna akan lebih mudah mengerti Cilla bahkan mungkin bisa menjadi teman untuknya.”
“Saya akan mencoba menjalankan pesan Bapak.”
“Saya tahu kalau dia membutuhkan figur orang dewasa dan saya sering kurang waktu untuk memperhatikannya,” suara Pak Darrmawan berubah sendu.
”Saya malah berharap juga dia bisa cepat punya pacar supaya ada yang memperhatikannya. Tetapi tentu saja pria yang sopan dan menghargai Cilla sebagai perempuan, bukan asal pacar saja,” Pak Darmawan tertawa pelan.
Arjuna hanya tersenyum sambil mendengarkan, begitu juga dengan Pak Slamet.
“Eh maaf saya jadi curhat masalah pribadi,” ujar Pak Darmawan sambil tertawa.
”Tidak apa-apa, Pak. Saya malah senang kalau bisa lebih banyak tahu soal Cilla.”
“Maksud kamu ?” Pak Darmawan menautkan alisnya membuat Arjuna yang senyum-senyum sejak tadi menjadi kikuk.
“Maksud saya , akan lebih mudah mendekati Cilla kalau saya tahu sedikit soal latar belakangnya,” jawab Arjuna tidak enak hati karena takut Pak Darmawan salah mengartikan perkataannya.
Pak Darmawan tertawa melihat kegugupan Arjuna. Ia pun menepuk kedua pahanya dan beranjak bangun.
“Baiklah kalau begitu. Pak Slamet, Pak Arjuna,” Pak Darmawan bergantian menyalami kedua pria di depannya sambil menyebutkan nama masing-masing.
“Saya pamit dulu karena harus kembali ke kantor.”
Pak Slamet memberi kode pada Arjuna supaya berjalan duluan untuk membukakan pintu. Arjuna mengangguk dan segera menuju pintu ruangan.
“Terima kasih atas waktunya, Pak,” Arjuna membungkukan badan saat Pak Darmawan sudah di depan pintu. Pria itu tertawa sambil menepuk-nepuk bahu Arjuna.
“Terima kasih juga atas kesempatan yang diberikan pada saya untuk menjadi guru di sini.”
Pak Darmawan mengangguk-anggukan kepalanya.
Pak Slamet sendiri mengikuti Pak Darmawan sampai keluar ruangan. Arjuna sempat bingung harus bagaimana, tapi dengan isyarat dari Pak Slamer, akhirnya mereka berdua mengantar Pak Darmawan sampai ke parkiran mobil.
“Cilla !” Pak Darmawan tersenyum saat mendapati putrinya sedang berdiri di samping pintu mobil.
“Papi,” sapa Cilla sambil tersenyum terpaksa.
“Kamu sudah kenal kan dengan Pak Arjuna ?” Pak Darmawan memutar badannya berdiri sejajar dengan Cilla dan berhadadapan dengan Arjuna dan Pak Slamet.
Terlihat kalau Cilla hanya mengangguk tanpa mau menatap Arjuna, namun sempat menyapa Pak Slamet dengan menundukan kepalanya sekilas.
“Pak Arjuna akan mengajar kamu di kelas 12,” Pak
Darmawan merangkul bahu Cilla dari samping.
”Jangan menyusahkan Pak Arjuna selama di kelas 12.”
Cilla hanya tersenyum getir.
“Apa papi sengaja meminta Pak Slamet untuk menempatkan Pak Juna di kelas 12 ? Supaya bisa mengawasi Cilla dengan pura-pura sebagai guru ?” Pertanyaan mengandung nada sinis itu membuat Arjuna tercengang.
Wajahnya tidak bisa menutupi rasa terkejutnya. Betapa jujurnya pertanyaan Cilla, membuat hati Arjuna jadi merasa tidak enak.
Pak Darmawan mengernyit sambil menatap putrinya kemudian tergelak.
“Kamu kira Pak Arjuna bekerja sebagai bodyguard sebelum jadi guru di sini ? Seperti di film yang pernah kamu tonton ?” Pak Darmawan menoel ujung hidung putrinya.
Cilla menatap Arjuna dengan tajam dan ekspresi yang tidak bersahabat. Kalau tidak ingat sedang berhadapan dengan pemilik sekolah dan Pak Slamet, rasanya Arjuna ingin membalas tatapan Cilla.
“Semoga Bapak masih hidup dalam kondisi baik-baik saja di akhir tahun pelajaran nanti,” sindir Cilla dengan nada ketus dan sinis.
Arjun membelalak mendengar ucapan mahluk aneh di depannya ini. Apa maksudnya dengan masih hidup sampai tahun depan ? Apa Cilla bermaksud melenyapkan Arjuna atau menyiksanya seperti di film-film mafia ?
Tanpa sadar Arjuna menggedikan kedua bahunya, membuat senyuman sinis Cilla semakin melebar, sementara Pak Slamet dan Pak Darmawan tertawa setelah keduanya melihat interaksi Arjuna dan Cilla.