Bianca Aurelia, gadis semester akhir yang masih pusing-pusingnya mengerjakan skripsi, terpaksa menjadi pengantin pengganti dari kakak sepupunya yang malah kecelakaan dan berakhir koma di hari pernikahannya. Awalnya Bianca menolak keras untuk menjadi pengantin pengganti, tapi begitu paman dan bibinya menunjukkan foto dari calon pengantin prianya, Bianca langsung menyetujui untuk menikah dengan pria yang harusnya menjadi suami dari kakak sepupunya.
Tapi begitu ia melihat langsung calon suaminya, ia terkejut bukan main, ternyata calon suaminya itu buta, terlihat dari dia berjalan dengan bantuan dua pria berpakaian kantor. Bianca mematung, ia jadi bimbang dengan pernikahan yang ia setujui itu, ia ingin membatalkan semuanya, tidak ada yang menginginkan pasangan buta dihidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aure Vale, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencoba mengurus Kaivan
Hari ini Kaivan tidak jadi pulang ke rumah orang tuanya, Nancy juga sudah pergi dari dua jam yang lalu, Kaivan sengaja membatalkan kepulangan ke rumahnya karena ada yang aneh dengan Bianca, ia tidak ingin jika dirinya memaksakan pulang, hubungannya dengan Bianca malah semakin renggang, jadilah ia memutuskan untuk tetap di apartemen.
Walaupun Kaivan tetap berada di apartemen, Bianca tetap mengacuhkan keberadaan Kaivan di sekitarnya, hatinya masih terlalu panas jika harus berhadapan dengan Kaivan.
"Bisakah kamu membantuku membuat kopi?" tanya Kaivan yang hanya duduk diam di sofa sedangkan Bianca berbaring di atas ranjang.
"Biasanya juga kau bisa membuatnya sendiri, atau malah memanggil Nancy untuk membantumu," balas Bianca jutek.
"Kali ini aku ingin kau yang membuatkannya untukku," balas Kaivan lagi.
Bianca menoleh, merasa ada yang beda dari cara Kaivan menyebut dirinya sendiri, Bianca tidak salah dengar, kan? Tadi Kaivan baru saja menyebut diri dengan kata 'saya' lalu sekarang berubah menjadi 'aku'.
"Maaf, jika telah membuatmu merasa seperti sampah, aku sudah pernah berjanji untuk me. perbaiki hubungan kita agar kedepannya semakin baik, jadi aku sudah memikirkannya, jika mulai hari ini aku akan berhenti menjadikan Nancy asisten pribadiku," beritahu Kaivan yang sukses membuat Bianca bangun dari posisi berbaringnya dan menatap Kaivan dengan lekat.
"Kau yakin?" tanya Bianca tidak percaya dengan ucapan Kaivan.
kaivan mengangguk, "Kau bisa memegang kata-kataku, walaupun kita belum bisa saling mencintai, tapi aku ingin kehidupan rumah tangga ini tetap rukun dan damai, tidak ada pertengkaran lagi,"
Bianca menunduk, Tiba-tiba saja ia kepikiran dengan Alden, otaknya kembali berputar mengingatkan dirinya yang begitu santainya menerima Alden sebagai kekasihnya, dan berniat untuk menyelingkuhi Kaivan yang cacat.
Ia merasa bersalah, perasaan itu baru muncul ketika ia ternyata menjadi selingkuhan dari entah istri atau pacar Alden yang sedang hamil, ia juga baru dapat berpikir logis ketika hatinya berdenyut sakit mengetahui jika Alden hanya menjadikannya mainan.
Bianca juga berusaha menerima kecacatan yang dimiliki suaminya, walau terkadang masih ada rasa ingin bercerai dengan Kaivan, tapi Kaivan selalu menolak keras keinginannya.
Ia sadar jika dirinya mulai bisa menerima Kaivan di dalam kehidupannya, dan itu semua berawal dari rasa sakit hati kepada Alden, ditambah keberadaan Nancy di sekitar suaminya yang seperti seorang istri, dan itu membuatnya marah dan sedikit cemburu.
"Bianca,"
Bianca mendongak, ia terkejut mendapati Kaivan yang sudah berdiri di hadapannya, lengkap dengan tongkat yang ada di tangannya.
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Kaivan menjatuhkan tongkatnya dan berlutut di hadapan Bianca.
Bianca diam, ia malah menatap lekat kedua mata Kaivan, warnanya sangat cantik, coklat terang, dan itu menjadi hal yang membuat seseorang tertarik kepada Kaivan.
"Ini sudah siang, kamu sudah mandi?" tanya Bianca mengganti topik awal.
"Awalnya aku berniat mandi setelah aku sampai di rumah orang tuaku," balas Kaivan.
Bianca mengangguk, ia mengerti, intinya Kaivan belum mandi dan ini kesempatan baik untuknya agar dapat menjadi seperti Nancy.
"Ingin mandi sekarang?" tanya Bianca lembut, ia bahkan mencoba menyentuh pipi Kaivan walaupun dengan tangan yang sedikit bergetar, karena untuk pertama kalinya Bianca menyentuh kulit Kaivan.
"Aku bisa mandi nanti sore, sekarang biar kita luruskan permasalahan kita pagi ini," balas Kaivan.
"Tidak, kamu harus mandi sekarang," keukeuh Bianca.
"Aku akan mandi setelah kamu berbicara,"
Bianca diam, tapi ia berdiri dan membantu Kaivan agar berdiri juga, lalu membawa Kaivan agar duduk di pinggir ranjang, dengan sedikit ragu, Bianca menyentuh ujung baju Kaivan, jantungnya berdebar sangat kencang, ia tak menyangka mulai hari ini, ia akan mengurusi Kaivan layaknya seorang istri yang mencintai suaminya.
Dengan lembut, Bianca melepaskan baju Kaivan, awalnya Kaivan terkejut jika Bianca akan melepaskan pakaiannya, tapi kemudian dia tersenyum, Bianca sudah bisa menerimanya bahkan sampai mau mengurusi dirinya.
"Ikut aku!" ucap Bianca.
Kaivan diam, tapi ia melakukan seperti yang Bianca perintahkan, Bianca membantunya berdiri dan membawanya ke dalam kamar mandi.
"Aku ingin belajar menjadi yang terbaik untukmu," ucap Bianca dengan suara pelan.
"Mulai hari, biar aku yang membantu dirimu dalam hal apapun, sekali pun harus membantumu mandi,"
***
Bianca merebahkan dirinya di samping Kaivan, ia sengaja tidur berdekatan dengan Kaivan, tidak peduli apapun yang sedang Kaivan pikirkan sekarang, ia hanya ingin berada di dekat Kaivan.
"Kamu benar-benar tidak masalah aku tidur di sini?" tanya Kaivan memastikan jika Bianca benar-benar mengizinkannya untuk tidur di ranjang yang sama dengannya bahkan tangan Bianca yang sudah memeluk pinggangnya.
"Jika aku memintamu untuk tidak pergi ke rumah larang tuamu, apakah kamu akan mengabaikanku?" tanya Bianca mendongakan kepalanya, karena Bianca tidur dengan wajah yang menghadap langsung ke dada bidang suaminya.
"Aku bisa meminta mereka agar menundanya," balas Kaivan yang malah membuat Bianca kebingungan. Menunda? Menunda apa? Bianca bertanya-tanya di dalam hati.
"Menunda apa?" tanya Bianca penasaran.
Kaivan tidak menjawab hanya menanggapinya dengan senyum tipis.
"Sebenarnya berapa umurmu?" tanya Bianca penasaran, karena selama ini ia tidak pernah tahu umur Kaivan, dia saja memanggilnya tanpa ada embel-embel lain, hanya memanggil namanya saja.
"Kamu yakin ingin tau umurku?" tanya Kaivan.
"Jangan bersikap seolah umur itu rahasia ya," ujar Bianca sebal dengan pertanyaan balik dari Kaivan.
"Akan terlihat sangat tua jika aku memberitahu kamu umurku," balas Kaivan membuat Bianca mengerutkan dahinya.
"Tua? Memangnya umur berapa? empat puluh tahun? atau empat puluh lima tahun?"
Mendengar itu Kaivan tertawa, memangnya wajah dia terlihat setua itu sampai Bianca mengira dia berumur di atas empat puluh tahun.
"Aku tidak setua itu, memangnya wajahku kelihatan tua?"
"Wajahmu terlihat seperti kakek-kakek," balas Bianca semakin membuat Kaivan terkekeh geli dengan ucapan Bianca.
Dan untuk pertama kalinya, Bianca melihat Kaivan tertawa, bahkan suaranya sangat indah masuk ke dalam pendengaran Bianca.
"Jadi, berapa?" tanya Bianca lagi.
"tiga puluh tahun,"
"Jadi selama ini aku menikah dengan kakek-kakek?" ujar Bianca sedikit tidak menyangka jika wajah Kaivan terlihat seperti berusia dua puluh tujuh tahun tapi ternyata berumur tiga puluh tahun, tapi kemudian ia merasa ada yang aneh dengan pengakuan Kaivan.
"Tunggu, kamu tidak mungkin berumur tiga puluh tahun, kau kuliah bersama dengan kak Della, itu artinya umurmu tidak beda jauh dengannya," ucap Bianca yang otaknya mendadak bisa mencerna ucapan Kaivan yang membohongimu dirinya.
"Aku lebih tua satu tahun darinya," balas Kaivan.
"Jadi kau membohongiku?"
Kaivan tertawa, ternyata tidak sulit untuk membohongi Bianca, ia juga tidak menyangka jika ia akan berada di moment ketika Bianca mau menerima dirinya walaupun belum sepenuhnya, setidaknya ini sudah lebih dari cukup.
"Kaivan," bisik Bianca karena ia melihat Kaivan sudah menutup kedua matanya.
"Kamu sudah tidur?" tanya Bianca lagi.
Tidak ada jawaban dari Kaivan, yang kemungkinan pria itu sudah tertidur, perlahan Bianca bangkit dari berbaringnya dan telungkup dengan wajah menghadap wajah Kaivan.
Ia hanya diam memperhatikan setiap lekuk pada wajah Kaivan, jika diperhatikan lebih lekat lagi, Kaivan memiliki tahi lalat di atas bibirnya, dan itu terlihat menambah kadar ketampanan di wajahnya.
"Aku akan mencobanya,"