Olivia Xera Hilson, gadis cantik dan berwibawa yang tumbuh dalam bayang-bayang kekuasaan, terpaksa menerima tawaran pernikahan dari Vincent Lucashe Verhaag seorang pria karismatik sekaligus pewaris tunggal keluarga bisnis paling berpengaruh di Amerika.
Namun di balik cincin dan janji suci itu, tersembunyi dua rahasia kelam yang sama-sama mereka lindungi.
Olivia bukan wanita biasa ia menyimpan identitas berbahaya yang dia simpan sendiri, sementara Vincent pun menutupi sisi gelap nya yang sangat berpengaruh di dunia bawah.
Ketika cinta dan tipu daya mulai saling bertabrakan, keduanya harus memutuskan. apakah pernikahan ini akan menjadi awal kebahagiaan, atau perang paling mematikan yang pernah mereka hadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Handayani Sr., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Seolah tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Olivia, Vincent pun dengan cepat berkata kepada wanita yang kini resmi menjadi istrinya itu.
“Aku akan ambil bajuku. Bersiaplah, kita akan makan malam bersama.”
Nada suaranya tenang, namun dingin seperti udara malam di lereng pegunungan tempat villa itu berdiri. Tanpa menunggu jawaban, Vincent berbalik pergi setelah mengambil pakaian dari lemari, meninggalkan aroma maskulinnya yang samar di ruangan.
Olivia hanya menatap punggung pria itu sebentar sebelum menarik napas dalam. Dia turun dari ranjang, melepas perhiasan satu per satu, dan membersihkan riasan di wajahnya. Gerakannya anggun namun tegas seperti seseorang yang terbiasa menyembunyikan badai di balik ketenangan.
Setelah bersiap, Olivia melangkah keluar mengenakan dress putih selutut bertabur permata halus. Gaun itu memantulkan cahaya lampu dengan lembut, membuat kulitnya tampak berpendar. Rambut cokelatnya dibiarkan tergerai alami, menambah pesona klasik yang sulit diabaikan.
Malam itu, mereka mengadakan makan malam di luar villa, di bawah langit penuh bintang. Pemandangan itu seharusnya romantis namun suasana antara Olivia dan Vincent tetap membeku. Dua jiwa kuat yang sama-sama memilih diam dalam kebisuan masing-masing.
“Kemarilah, Nak. Ayo makan malam bersama,” ujar Tuan William dengan wajah bahagia.
Di meja, sudah duduk ketiga sahabat Vincent, juga Zoe sahabat dekat Olivia serta Bibi Elli dan Tuan William. Hanya Vincent yang belum tampak.
Olivia duduk di samping Zoe. Sahabatnya itu tersenyum lembut, mencoba mencairkan suasana.
“Dimana suamimu, Olivia? Kenapa kalian tak datang bersama?” tanya sang Grandpa penasaran.
“Ah, itu..”
Belum sempat Olivia menjawab, Vincent muncul dari arah dalam, mengenakan kaos polo dan jeans gelap. Terlihat santai namun tetap berwibawa.
“Maaf, membuat kalian menunggu,” katanya datar tanpa ekspresi.
Tuan William hanya tersenyum maklum. Ia bisa merasakan ada jarak di antara dua insan yang baru disatukan itu. Namun ia percaya, waktu akan melembutkan keduanya.
Mereka pun makan malam dengan tenang. Sesekali tawa kecil terdengar dari sahabat-sahabat Vincent, namun Olivia tetap menjaga sikap sopan, tenang, namun berjarak.
* * *
Pagi harinya.
Sinar matahari menembus tirai kamar, menimpa wajah cantik Olivia yang masih terlelap. Tapi ia merasa sesuatu menekan perutnya. Begitu membuka mata
“Ahhh!”
Teriakannya membuat Vincent terbangun seketika. Pandangan mereka bertemu, dan dalam sepersekian detik, keduanya sama-sama membeku.
Vincent menatap sekeliling dan mendapati dirinya berada di kamar yang salah.
“Sial… ternyata aku salah kamar,” gumamnya kesal, berusaha menutupi rasa malu yang muncul.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Olivia tajam. “Kenapa bisa di kamarku?”
Vincent menyisir rambutnya kasar.
“Kau lupa, semua kamar di villa ini milikku,” ujarnya datar.
“Aku tahu itu,” balas Olivia dengan nada sinis, “tapi tak berarti kau boleh tidur di kamar orang lain.”
Vincent memilih diam. Dengan wajah setengah malas dan mata yang masih berat, ia bangkit dan keluar begitu saja tanpa menoleh.
Olivia hanya menghela napas panjang.
“Dasar pria aneh,” gumamnya sambil memijat pelipis.
* * * *
Setelah mandi dan berdandan, Olivia tampil memukau dalam balutan kemeja putih dan rok lembut. Wajahnya segar tanpa berlebihan sederhana tapi mematikan dalam keanggunannya.
Begitu keluar, ia melihat tiga sahabat Vincent duduk di meja makan, masing-masing dengan mata merah dan wajah lelah.
“Selamat pagi, Nona Muda,” sapa mereka serempak.
“Selamat pagi,” jawab Olivia sopan namun datar, sekilas senyum menghiasi bibirnya.
Tak lama kemudian, Vincent muncul dari kamarnya. Ia mengenakan kemeja hitam dengan lengan tergulung, celana panjang senada, tampak kharismatik dalam kesederhanaan.
“Aku menunggu di mobil,” ucapnya dingin, lalu berlalu tanpa ekspresi.
Olivia mendecak pelan.
“Ck… dasar pria menyebalkan,” bisiknya lirih.
Sayangnya, ketiga sahabat Vincent mendengarnya dan tertawa kecil di balik tangan mereka.
“Hahaha, baru kali ini aku melihat ada wanita yang berani bicara begitu pada Vincent,” ujar Max sambil terkekeh.
“Kau benar. Sepertinya Nona Muda kita bukan wanita biasa,” sahut Domanic.
“Mungkin itu sebabnya kakek menjodohkan mereka,” tambah Louis sambil tersenyum.
Namun kemudian Max menatap kosong, seolah mengingat sesuatu.
“Tapi… aku seperti pernah melihatnya. Wajahnya… tidak asing.”
“Jangan bilang kau pernah mengencaninya,” goda Domanic sambil menyipitkan mata.
“Apa kau gila? Wanita secantik itu takkan mau denganku. Tapi aku yakin pernah melihatnya… di Austria, bertahun-tahun lalu. Di daerah yang dikuasai mafia.”
Suasana meja makan langsung berubah tegang sesaat.
“Mungkin kau salah lihat,” ujar Louis cepat. “Daerah itu berbahaya, mana mungkin turis sepertinya ada di sana.”
“Sudah lah, kau jangan mengada ngada dan jangan kau katakan omong kosong mu itu didepan tuan muda,” tambah Domanic ringan.
Namun Max hanya terdiam, menatap kosong ke arah pintu tempat Olivia tadi berlalu.
Ia tahu matanya tak salah.
Tatapan dingin wanita itu... adalah tatapan seseorang yang pernah hidup di tengah kegelapan.
* * * *
Satu jam perjalanan terasa sunyi, hanya diisi suara mesin mobil dan detak waktu yang mengalir lambat di antara mereka. Vincent menatap jalan dengan ekspresi datar, sementara Olivia memilih menikmati pemandangan dari balik kaca, menyembunyikan pikiran yang berlapis di balik senyum samar.
Ketika mobil akhirnya berhenti, Olivia mendongak matanya melebar sedikit.
Di hadapannya berdiri sebuah mansion megah tiga lantai, berarsitektur Amerika modern dengan sentuhan putih dan abu lembut. Pilar-pilarnya menjulang kokoh, kaca besar memantulkan langit biru, dan halaman luas yang tertata rapi dihiasi taman serta kolam air mancur. Di belakang bangunan, sebuah helikopter pribadi tampak beristirahat anggun di atas landasan.
“Selamat datang, Tuan Muda dan Nona Muda,” seru para pelayan dan pengawal yang sudah berbaris rapi di pintu masuk.
Olivia menatap mereka dengan senyum lembut yang memancarkan keanggunan alami.
“Terima kasih semuanya,” jawabnya tulus, membuat beberapa pelayan menunduk lebih hormat.
Di sisi lain, Vincent hanya memberi anggukan kecil. Tatapannya lurus, tegas, tanpa banyak bicara.
Olivia mengamati sekeliling dengan mata berbinar, tak bisa menyembunyikan rasa takjub.
‘Wah… benar-benar luar biasa. Keturunan Verhaag memang bukan orang biasa,’ batinnya.
Mereka melangkah masuk ke dalam mansion. Lantai marmer putih mengilap memantulkan langkah mereka. Lampu kristal besar bergantung di langit-langit tinggi, sementara aroma lembut mawar putih memenuhi udara.
Vincent berhenti di depan sebuah pintu besar di lantai dua, lalu menoleh sekilas.
“Ini kamarmu,” katanya datar.
Olivia membuka pintu dan terdiam sejenak. Kamar itu luas mungkin dua kali lipat dari kamar di rumah orang tuanya. Tirai panjang berwarna champagne, ranjang besar berhias linen putih, dan balkon yang menghadap taman belakang dengan pemandangan kota dari kejauhan.
“Indah sekali,” gumamnya pelan.
Vincent kemudian menyerahkan sebuah black card padanya kartu hitam eksklusif yang hanya dimiliki segelintir orang di dunia.
“Ini untukmu,” ucapnya pendek. “Gunakan sesukamu. Semua kebutuhanmu, aku yang tanggung. dan hadiah yang ku janjikan sudah ada di kamar mu pulau pribadi dengan semua fasilitas nya”
Olivia tidak menyangka akan hal ini, lalu Gadis itu mengangkat alisnya, menatap kartu itu sebelum menerimanya dengan senyum samar.
“Apa kau yakin memberiku ini? Bagaimana kalau aku menghabiskan semuanya?” tanyanya menggoda, tapi sorot matanya tajam.
Vincent menatap balik tanpa ekspresi, lalu menjawab dengan nada datar namun penuh percaya diri.
“Tidak masalah. Aku sangat kaya, jika kau mampu kau bisa menghabiskan nya.”
Olivia menyilangkan tangan di dada, senyum kecilnya berubah menjadi sinis lembut.
“Ck… baiklah, Tuan Kaya Raya. Semoga aku tak membuatmu bangkrut,” balasnya ringan tapi beracun halus.
“Tentu saja tidak,” jawab Vincent datar namun di sudut bibirnya, ada sedikit senyum nyaris tak terlihat.
Keduanya saling menatap sejenak, udara di antara mereka terasa berat tapi misterius.
Lalu Olivia melangkah ke dalam kamar, dan sebelum Vincent sempat menambahkan sesuatu, dia menutup pintu perlahan namun tegas.
Klek.
Keheningan pun jatuh.
Vincent menatap pintu yang kini tertutup, menghela napas pelan, lalu tersenyum samar.
‘Menarik. Sangat menarik…’
Sementara di dalam kamar, Olivia berdiri di depan cermin, memandangi pantulan dirinya yang tampak elegan dalam balutan gaun sederhana. di tangan nya Sebuah dokumen kepemilikan Pulau pribadi atas nama Olivia.
“Kau berbahaya, Vincent Verhaag,” bisiknya pelan. “Tapi jangan kira aku tak bisa menandingimu.”