Kisah perjuangan seorang anak ningrat yang dibuang bersama ibunya, tumbuh miskin, dihina, dan bangkit menjadi legenda dunia bisnis—menaklukkan pasar saham, membangun kerajaan korporasi, dan akhirnya mengguncang fondasi keluarga bangsawan yang dulu mengusirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAYANGAN MENGINTAI
Hari-hari di Bekasi kini berjalan dengan rasa canggung yang tak bisa Retno jelaskan. Ia tetap berusaha tersenyum setiap kali berbicara dengan Arif lewat panggilan video, tetap mengirim pesan “jaga kesehatan, Mas” di pagi hari, tapi di balik layar ponsel, hatinya diliputi rasa resah yang semakin pekat.
Sudah beberapa minggu Arif di Surabaya. Awalnya, Retno yakin ia bisa melewati masa ini dengan tenang. Tapi entah sejak kapan, setiap langkahnya terasa diawasi. Setiap kali ia keluar apartemen untuk membeli bahan makanan, ia merasa ada pandangan yang mengikutinya. Kadang di parkiran bawah, kadang di kafe depan apartemen. Orang-orang itu tidak berbuat apa pun, hanya berdiri atau duduk, tapi selalu ada — seperti bayangan.
Suatu sore, ia duduk di balkon sambil memandangi jalan raya yang sibuk. Matanya menangkap seorang pria berbadan tegap berdiri di seberang jalan, mengenakan jaket hitam dan topi. Pria itu berpura-pura menelepon, tapi sesekali pandangannya mengarah padanya. Ketika Retno berdiri dan menutup tirai, jantungnya berdetak keras.
“Bukan kebetulan,” gumamnya pelan. “Aku tahu ini bukan kebetulan.”
Malamnya, ia menghubungi Arif. Suaranya terdengar bergetar meski ia berusaha menahan.
“Mas, aku merasa… ada orang-orang yang memperhatikan aku. Aku nggak tahu siapa mereka, tapi ini nggak biasa.”
Suara Arif di ujung sana terdengar pelan tapi tegas. “Kamu di rumah sekarang?”
“Iya. Pintu sudah aku kunci semua. Tapi aku nggak tenang.”
Arif menarik napas panjang. “Mungkin cuma perasaanmu, Sayang. Aku tahu kamu capek, stres juga bisa bikin semua terasa berlebihan.”
Retno menahan diri untuk tidak membantah. Ia tahu Arif tidak bermaksud menyalahkannya, hanya mencoba menenangkan. Tapi kalimat itu terasa menekan — seolah ketakutannya hanyalah halusinasi.
“Mas, aku serius. Ini bukan cuma perasaan,” katanya lirih.
Hening di ujung telepon cukup lama. Lalu Arif berkata, “Baik, Sayang. Kalau kamu merasa nggak aman, pulang aja dulu ke Semarang. Di sana ada Bapak sama Ibu. Aku juga sebentar lagi selesai di sini. Begitu aku pulang dari Surabaya, aku jemput kamu ke rumah.”
Retno menghela napas lega, tapi juga sedih. “Aku nggak mau ninggalin rumah ini, Mas. Tapi aku juga takut sendirian.”
“Aku ngerti. Pulang aja dulu. Aku yang minta,” ucap Arif lembut.
Esok paginya, langit Bekasi kelabu. Retno menyiapkan koper kecil, memasukkan beberapa pakaian dan buku catatan kehamilannya. Ia menatap apartemen itu lama — tempat yang dulu penuh tawa kini terasa seperti ruang asing. Di meja, ada foto kecil mereka berdua di Lembang, Bandung, saat bulan-bulan awal pernikahan. Ia mengusap bingkai itu dengan jari gemetar.
“Sebentar aja, Mas,” bisiknya. “Nanti aku balik lagi.”
Sebelum berangkat, ia menelpon Arif. Suara Arif terdengar lelah tapi hangat.
“Hati-hati di jalan ya, Sayang. Kalau udah sampai rumah, kabarin aku.”
“Iya, Mas. Jangan khawatir.”
“Mobilnya udah disiapin?”
“Sudah, katanya sopir dari kantor bantu antar. Aku juga bingung, tapi katanya permintaan Bapak Hartono langsung.”
Arif terdiam. “Dari Ayah?”
“Iya.” Retno menelan ludah. “Aku sempat kaget juga.”
“Ya sudah, kalau memang itu dari kantor, nggak apa-apa. Tapi kamu tetap waspada, ya? Jangan tidur di jalan. Simpan ponselmu di dekatmu terus.”
“Iya, Mas,” jawab Retno pelan.
Pagi itu, sebuah sedan hitam berhenti di depan apartemen. Seorang sopir berusia sekitar lima puluh tahun keluar, mengenakan kemeja putih dan celana kain rapi. “Selamat pagi, Bu Retno. Saya Pak Danu, disuruh keluarga Dirgantara untuk mengantar ke Semarang,” katanya sopan sambil menunduk.
Retno menatapnya sekilas. Wajahnya tampak tenang, tapi entah kenapa matanya tidak memancarkan kehangatan. Ada sesuatu di sana yang dingin, terlalu profesional.
“Terima kasih, Pak,” jawabnya singkat.
Perjalanan dimulai. Bekasi mulai menjauh di belakang, berganti dengan jalan tol yang panjang dan lengang. Retno menatap keluar jendela, mencoba mengusir rasa gelisah. Hujan tipis turun perlahan, memantulkan bayangan dirinya di kaca mobil.
Dalam diam, pikirannya berputar. Tentang Arif, tentang tatapan-tatapan asing di sekitar apartemen, tentang pesan-pesan singkat yang seolah tahu jadwalnya. Semuanya terasa terlalu rapi, terlalu kebetulan.
Ia menatap kaca depan, lalu bertanya pelan, “Pak Danu, Bapak sudah lama kerja di keluarga Dirgantara?”
Sopir itu tersenyum kecil. “Sudah lama, Bu. Sejak Mas Arif kecil.”
“Oh begitu…” Retno mengangguk. “Berarti Bapak sudah seperti keluarga sendiri, ya.”
Sopir itu hanya tertawa pendek, tapi tidak menjawab.
Hening kembali mengisi mobil. Suara wiper yang menyapu air hujan menjadi satu-satunya irama yang memecah sunyi. Retno mulai menggenggam perutnya, menatap ke luar jendela, mencoba mengalihkan pikiran.
“Sebentar lagi, Sayang…” bisiknya pada bayi di dalam kandungan. “Kita pulang dulu ke rumah.”
Di waktu yang sama, Arif di Surabaya baru saja keluar dari ruang rapat. Ia memeriksa ponselnya dan melihat pesan dari Retno:
“Aku udah di jalan, Mas. Jangan khawatir, sopirnya baik kok.”
Arif mengetik balasan cepat:
“Oke, hati-hati di jalan. Aku nyusul secepatnya begitu rapat selesai.”
Namun, di sela pekerjaannya yang menumpuk, perasaan ganjil mulai merayap. Ia ingat kata Retno semalam: sopir dari keluarga Dirgantara.
Ia menatap layar ponselnya lama, sebelum akhirnya menelepon Rendra, asisten kepercayaannya.
“Ren, tolong cek siapa yang ditugaskan nganter Retno ke Semarang.”
Rendra di seberang terdengar ragu. “Saya nggak tahu, Mas. Setahu saya, nggak ada instruksi dari kantor pusat soal itu.”
Arif menegang. “Apa?”
“Kalau itu inisiatif keluarga besar, mungkin langsung dari Ibu Diah atau Pak Hartono. Saya nggak terlibat, Mas.”
Darah Arif terasa dingin. Ia segera menutup telepon dan mencoba menghubungi Retno, tapi panggilannya hanya berdering lama. Tidak dijawab.
“Retno…” gumamnya, matanya menatap kosong ke luar jendela. “Jangan sampai terjadi apa-apa.”
Sementara itu, di dalam mobil yang melaju di tengah hujan, Retno memejamkan mata sejenak. Ia kelelahan, tapi berusaha tetap terjaga. Jalan tol membentang panjang, lampu-lampu kendaraan dari arah berlawanan menciptakan pantulan cahaya seperti garis-garis kilat.
Pak Danu menatap kaca spion sebentar, memperhatikan Retno yang mulai terlelap.
Senyum tipis muncul di sudut bibirnya.
Mobil terus melaju, menembus gelap dan hujan, menuju arah yang Retno pikir adalah rumah —
padahal takdir sedang menyiapkan jalan yang sama sekali berbeda.
Di layar ponsel Arif, sinyal Retno tiba-tiba hilang. Titik lokasi terakhir menunjukkan arah keluar tol menuju utara Jawa Tengah.
Arif menatapnya lama, lalu berbisik:
“Jangan bilang aku terlambat lagi, Tuhan…”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, ia merasa cinta dan ketakutannya berjalan berdampingan —
menuju sesuatu yang belum bisa ia pahami, tapi hatinya tahu: bahaya sedang menjemput.
menarik