Anisa gadis yatim piatu bekerja sebagai pelayan. Demi keselamatan Sang Majikan dan di tengah rasa putus asa dengan hidupnya, dia terpaksa menikah dengan Pangeran Jin, yang tampan namun menyerupai monyet.
Akan tetapi siapa sangka setelah menikah dengan Pangeran Jin Monyet, dia justru bisa balas dendam pada orang orang yang telah menyengsarakan dirinya di masa lalu.
Bagaimana kisah Anisa yang menjadi istri jin dan ada misteri apa di masa lalu Anisa? Yukkk guys ikuti kisahnya...
ini lanjutan novel Digondol Jin ya guys ♥️♥️♥️♥️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 15.
“Kasihan sekali keluarga Pak Hasto,” gumam gadis itu dalam hati, matanya sayu menatap ke arah sudut ruang pertemuan. “Mereka semua orang baik, tapi mengapa cobaan tak henti hentinya datang?”
Anisa, gadis muda berwajah lembut itu, menarik napas panjang. Di tempat itu, semua pelayan yang masih usia sekolah diwajibkan melanjutkan pendidikan, walaupun hanya lewat program kejar paket. Bahkan, mereka diberi kesempatan untuk melamar pekerjaan di perusahaan milik keluarga Hasto. Itu sebabnya ia begitu menghormati keluarga itu, mereka bukan hanya majikan, tapi juga penolong.
Anisa sendiri dulu juga mengalami hal serupa. Ia diharuskan menyelesaikan sekolah hingga SMA. Setelah lulus, ia memberanikan diri melamar kerja di perusahaan Pak Hasto. Namun, tak disangka, justru Hananto, sekretaris kepercayaan Pak Hasto, menyatakan cinta padanya.
“Kasihan juga... kalau tidak ada yang mau menjadi tumbal, perusahaan Pak Hasto bisa bangkrut. Banyak orang akan kehilangan pekerjaan,” gumamnya lagi, wajahnya menegang oleh tekad dan rasa iba yang bercampur.
Semua karyawan dan pelayan mulai meninggalkan ruang pertemuan. Hanya tinggal Ibu Kepala Pelayan dan Syahrul yang masih duduk di kursi warna merah maroon. Anisa menatap mereka sejenak, lalu perlahan bangkit dari tempatnya. Suasana ruang itu hening; hanya suara langkah kakinya yang terdengar menapaki lantai marmer.
“Nis, kamu masih jam istirahat, ya?” tanya Ibu Kepala Pelayan sambil menatapnya dengan mata lembut namun penuh tanya.
“Iya, Bu,” jawab Anisa pelan. Ia terus berjalan hingga berdiri tepat di depan wanita paruh baya yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri.
“Bu... jika tidak ada yang mau dijadikan tumbal... biar saya saja,” ucapnya lirih, menundukkan kepala.
Ucapan itu membuat Ibu Kepala Pelayan dan Syahrul sontak terdiam. Wajah mereka seketika tegang, saling bertukar pandang, antara terkejut dan tidak percaya.
“Nis, sudah kamu pikirkan matang-matang? Jangan karena kamu sedang patah hati lalu mengucapkan hal seperti ini. Kamu bisa menyesal nanti,” ujar Bu Lastri, suara dan matanya gemetar menahan haru. “Ingat, di dunia ini masih banyak laki-laki baik, Nak.”
Anisa tersenyum tipis, namun matanya basah. “Sudah, Bu. Sudah saya pikirkan sungguh-sungguh. Saya lakukan ini untuk keluarga Pak Hasto... untuk teman-teman, dan semua karyawan yang bekerja di rumah ini maupun di perusahaan Pak Hasto. Saya tidak mau mereka kehilangan pekerjaan karena masalah ini.”
Suasana menjadi hening. Syahrul menatap gadis itu dengan tatapan tak percaya, sementara Bu Lastri perlahan berdiri dan memeluk tubuh Anisa erat-erat.
“Nis... aku sangat menyayangi kamu. Kamu sudah seperti anakku sendiri,” bisiknya di sela tangis. “Maafkan aku kalau tanpa sadar sudah menyeretmu ke dalam masalah sebesar ini.”
“Tidak apa-apa, Bu,” jawab Anisa, suaranya serak. “Saya ikhlas. Kalau hidup saya bisa menyelamatkan banyak orang, terutama keluarga Hasto yang sudah begitu baik pada saya... itu sudah cukup.” Air matanya mulai menetes deras. “Dan juga... agar Ibu tidak kehilangan pekerjaan.”
Tangis mereka pun pecah. Ibu Kepala Pelayan menepuk nepuk punggung Anisa, mencoba menenangkan, meski hatinya sendiri terasa remuk.
“Baiklah, kalau itu keputusanmu,” ucap Bu Lastri akhirnya, setelah lama terdiam. “Tapi kita tunggu dulu. Siapa tahu masih ada gadis lain yang bersedia. Lagi pula, seperti kata Mas Syahrul, tumbal juga harus memenuhi syarat tertentu.”
“Iya, Bu. Tapi mohon... rahasiakan ini dari teman teman, ya,” pinta Anisa lirih. Ia tahu ada beberapa pelayan yang iri padanya, apalagi setelah kedekatannya dengan Hananto sebelum keburukannya terungkap.
“Baik, Nak. Sekarang pergilah ke kamar, istirahat dulu. Nanti sore kembali bekerja seperti biasa,” kata Bu Lastri lembut, berusaha menyembunyikan kekhawatiran di balik senyumnya.
Setelah Anisa meninggalkan ruangan, Bu Lastri dan Syahrul saling berpandangan lama, lalu keluar menuju ruang kerja Pak Hasto untuk menyampaikan hasil pertemuan. Termasuk kesediaan Anisa.
“Aku senang tapi juga sedih,” ucap Pak Hasto lirih setelah mendengar kabar itu. Wajahnya tampak lelah, mata merah karena kurang tidur. “Senang karena masih ada harapan Ndaru dan Fatima bisa sembuh... tapi sedih, karena gadis itu sebatang kara. Kalau ia benar-benar menjadi tumbal, kepada siapa aku harus membayar?”
“Apa ke kamu Bu Lastri?” ucap Pak Hasto selanjutnya sambil menatap Bu Lastri
Ibu Kepala Pelayan menunduk. “Saya pun tidak berhak, Pak. Saya juga berharap... ada gadis lain yang bersedia.”
✨✨✨
Waktu terus berjalan. Ndaru, Fatima, dan Andien masih saja kambuh berulang kali. Pungki dan Syahrul bergantian melakukan penyembuhan, sementara Pak Hasto masih menunggu keajaiban. Berharap ada orang lain yang menawarkan gadisnya untuk menjadi tumbal, bukan Anisa. Ia takut orang akan menuduhnya memaksa pelayannya sendiri.
Sampai suatu hari, dua orang dari kalangan pasar datang menemui Ibu Kepala Pelayan. Mereka menawarkan anak gadis mereka sendiri, dengan imbalan harta yang fantastis. Berharap akan menjadi kaya raya dan jadi juragan. Maka kini, sudah ada tiga calon tumbal.
Pak Hasto segera memberitahu Syahrul. Pemuda itu lalu melakukan semedi untuk memanggil Kakek Jin-nya. Setelah usai, ia bergegas menuju rumah besar keluarga Hasto.
“Bagaimana hasilnya, Rul?” tanya Pak Hasto begitu Syahrul masuk ke ruang kerjanya.
“Kakek sudah menghubungi Sang Ratu,” jawab Syahrul tenang. “Katanya, gadis gadis itu diminta datang ke Kerajaan Jin agar Sang Ratu bisa melihat mereka langsung. Tapi Kakek mengusulkan agar Sang Ratu saja yang datang ke rumah Pak Hasto, biar kita tidak perlu repot.”
Pak Hasto mengernyitkan dahi, gelisah. “Rul, apa tidak bisa di tempat lain saja? Aku takut kalau Sang Ratu sampai masuk ke rumahku. Dia... sangat jahat pada keluargaku. Aku tidak ingin kejadian buruk terulang.”
Syahrul terdiam, berpikir. “Kalau begitu, di mana, Pak?”
Pak Hasto menatap meja kerjanya, lalu menghela napas berat. “Hotel mungkin? Tapi... nanti orang bisa menuduhku macam macam. Masalah etika, moral...”
Syahrul kemudian menepuk lututnya, menemukan ide. “Kalau begitu di rumah sakit saja, Pak. Orang-orang pasti mengira mereka menjenguk Ndaru dan Fatima. Lagi pula, Sang Ratu sudah sering muncul di sana.”
Pak Hasto menatap Syahrul dengan tatapan lega. “Baik. Katakan pada Kakekmu, biar Sang Ratu melihat gadis gadis itu di rumah sakit. Aku akan hubungi Mama dan dokter keluarga untuk menyiapkan ruangan.”
Sementara itu, di rumah sakit, sang dokter yang sudah mengetahui kondisi gaib keluarga Hasto tampak kebingungan sendiri. Ia berjalan mondar-mandir di koridor yang sunyi, jari telunjuknya mengetuk pelipis.
“Di mana ya... ruangan yang cocok untuk pertemuan makhluk gaib dengan manusia?” gumamnya pelan. Tapi di balik rasa takut, terselip pula rasa penasaran. Seperti ada sesuatu dalam dirinya yang diam diam ingin menyaksikan wujud Sang Ratu dengan mata kepala sendiri.
---
g di sana g di sini sama aja mbingumhi 🤣🤣🤣
tp nnti pennjelasan panheran yg masuk akal dpt meruntuhkan ego samg ibunda dan nnit mlh jd baik se lam jin jd muslim.🤣