Serafim Dan Zephyr menikah karena di jodohkan oleh kedua orang tuanya, dari awal Serafim tahu Calon suaminya sudah mempunyai pacar, dan di balik senyum mereka, tersembunyi rahasia yang bisa mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Blueberry Solenne, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 — Valerra
(Serafim)
Sambil dibantu Bibi Naureen, aku merapikan pakaianku ke dalam koper.
“Saya senang akhirnya hubungan Nona Fim dengan Pak Zephyr semakin membaik,” ujar Bibi Naureen sambil melipat gaunku. “Apa Nona Fim sudah membuka hati untuk Pak Zephyr?”
Aku tersenyum kecil dan menjawab pelan,
“Emm… aku tidak tahu. Tapi saat aku di dekatnya, aku merasa nyaman. Hanya saja… aku takut, di hatinya masih ada dia.”
Bibi Naureen tersenyum hangat, lalu menggenggam tanganku lembut.
“Berdoalah, Nona. Mintalah petunjuk pada Tuhan. Kalau memang Pak Zephyr itu yang terbaik, hati Nona pasti akan dibuat tenang.”
Hari itu Ayah ada di rumah. Beliau sengaja menemaniku karena baru pulang ziarah ke makam Ibu mertuaku. Aku langsung memeluk Ayah sambil menunjukkan tiket pesawat ke negara Valerra.
“Ayah…”
Beliau tersenyum dan memelukku balik.
“Fim, kau mau ke Valerra?”
Aku mengangguk kecil.
“Iya, Ayah. Zephyr mengajakku ke sana.”
Wajah Ayah langsung berbinar, senyumnya melebar sebelum ia mencium rambutku.
“Syukurlah… akhirnya kalian pergi juga bulan madu. Ayah sudah menyuruh kalian dari dulu, tapi tak pernah didengar.”
Aku tertawa kecil.
“Menurut Ayah… apakah Zephyr orang yang baik? Benar-benar mencintaiku?”
Ayah menatapku lembut.
“Ayah yakin. Di mata Ayah, dia pria yang bertanggung jawab. Dia selalu perhatian padamu, dan Ayah percaya dia bisa menjaga anak Ayah.”
Aku tersenyum haru.
“Kenapa setelah aku menikah, Ayah tidak galak lagi padaku? Dulu aku harus menuruti semua kemauan Ayah, tapi… sekarang juga sih,” ujarku sambil terkekeh.
Kami berdua pun tertawa bersama.
(Zephyr)
Setelah pulang kerja, aku menjemput Serafim di rumah. Ia sudah menungguku di teras bersama koper kecilnya, mengenakan mantel krem dan syal putih. Rambutnya sedikit berantakan tertiup angin sore, tapi entah kenapa justru itu membuatnya tampak tenang.
Kami berpamitan pada Ayah dan kakaknya, lalu berangkat menuju bandara.
Setelah belasan jam penerbangan, pesawat akhirnya mendarat di kota Veldren. Dari balik jendela, hamparan salju tampak seperti lautan putih yang memantulkan cahaya matahari.
Serafim terdiam, matanya berbinar, seolah anak kecil yang baru pertama kali melihat dunia sebesar itu.
“Indah, kan?” tanyaku pelan.
Ia mengangguk tanpa menoleh, senyum kecil muncul di sudut bibirnya.
Dari Veldren kami melanjutkan perjalanan dengan mobil sewaan menuju Sigrasveil. Jalanan berkelok melewati hutan pinus dan lembah yang diselimuti kabut. Langit sore memudar menjadi jingga pucat.
“Phyr… tempatnya jauh sekali,” gumamnya sambil memeluk jaketnya erat-erat.
“Sedikit lagi. Kau akan suka tempatnya,” jawabku.
Dan benar saja, saat mobil berhenti di depan apartemen kayu dua lantai di atas bukit, matanya langsung melebar. Dari balkon terlihat Danau Thure berkilau diterpa sinar matahari terakhir, sementara pegunungan Althyr berdiri megah di kejauhan.
Serafim melangkah keluar, berdiri di tepi jalan, menghirup udara dingin Valerra yang segar.
“Ini... luar biasa,” bisiknya.
Aku tersenyum.
“Selamat datang di Sigriswil, Fim.”
Kami masuk ke dalam apartemen. Begitu pintu terbuka, aroma kayu hangat langsung menyambut. Ruang tamunya luas, dindingnya dari panel pinus muda dengan jendela besar yang menghadap ke danau. Tirai putihnya bergerak pelan tertiup angin.
Serafim melangkah perlahan, jemarinya menyentuh permukaan meja kayu di dekat sofa.
“Phyr… kau yang memilih tempat ini?”
Aku mengangguk sambil meletakkan koper di dekat pintu.
“Aku ingin tempat yang tenang. Supaya kau bisa istirahat, jauh dari semuanya.”
Ia menoleh, menatapku lama. Ada sesuatu di matanya, campuran antara terkejut dan tersentuh.
“Aku… tidak tahu harus bilang apa,” katanya, hampir berbisik.
“Bilang saja terima kasih,” ucapku ringan.
Ia mendengus kecil, menatap ke luar jendela, berusaha menyembunyikan senyumnya.
Sore itu matahari perlahan tenggelam di balik gunung. Cahaya oranye masuk lewat kaca besar, memantul di rambutnya yang cokelat muda.
Sejenak waktu seolah berhenti.
Aku hanya berdiri di sana, menatap punggungnya. Entah kenapa, aku merasa damai dan bahagia saat berada di sisinya.
🔹🔹🔹
(Serafim)
Malam itu Zephyr memberiku hadiah, sebuah dress putih sederhana namun terlihat mewah. Ia mengajakku makan malam, lalu tiba-tiba menyuruhku menutup mata.
Ketika kubuka, di hadapanku terbentang pemandangan pegunungan dan danau yang disinari cahaya senja. Ia berlutut, memegang sebuah cincin.
“Fim, mulai hari ini maukah kau menjadi istriku? Kali ini bukan karena kewajiban, tapi dari hatiku. Aku ingin kita menjadi suami istri yang bahagia, penuh cinta dan kasih sayang seperti orang lain. Aku ingin membuatmu bahagia. Jadi… apakah kau bersedia?”
Aku menutup mulutku, nyaris tak percaya.
“Phyr, apa kau serius? Kau yakin dengan perasaanmu? Aku tidak mau kau melakukannya karena orang lain. Apa benar kau sudah melupakan Zea?”
Ia menatap mataku dalam-dalam.
“Fim, aku sangat yakin. Perasaanku padamu tulus. Aku sudah memilihmu. Bagaimana, Fim? Apa kau mau hidup bersamaku?”
Ya Tuhan… pria yang dulu sering mengancamku kini menyatakan perasaannya dengan tulus.
Aku mengangguk dengan mata berkaca-kaca.
“Iya… aku bersedia.”
Wajahnya langsung berbinar. Dengan perlahan, ia memakaikan cincin di jariku, lalu memelukku dan mengangkat tubuhku sambil berputar. Kami tertawa bersama, lalu ia menurunkanku dan mengecup bibirku lembut.
Kami berjalan berdua menikmati pemandangan malam. Tangan kami saling menggenggam, dan di antara dinginnya angin Valerra, ada kehangatan yang tak ingin kulepaskan.
🔹🔹🔹
Malam harinya, saat aku sedang menyisir rambut di depan cermin, ia mendekat dan mencium ubun-ubunku.
“Fim, bolehkah aku membantumu?”
Aku mengangguk malu. Ia mengambil sisir dari tanganku, lalu menyisir rambutku perlahan.
“Fim, apa aku boleh memanggilmu sayang?”
Aku terkekeh.
“Kenapa kau minta izin untuk itu? Kau menciumku dan memelukku tanpa izin, tapi untuk memanggilku sayang justru kau minta izin.”
Ia tersenyum lembut, meletakkan sisir di meja rias, lalu menyelipkan rambutku ke belakang telinga.
“Karena mulai hari ini aku ingin segalanya dengan restumu. Kita akan memulai hubungan yang baru.”
Ia menatapku penuh makna, lalu memelukku.
Malam itu kami saling menyadari satu hal, bahwa cinta bisa tumbuh bahkan dari luka yang dulu tak terbayar.
Dalam kehangatan itu, aku akhirnya merasa menjadi istri yang sesungguhnya, bukan karena ikatan, tapi karena cinta yang kami pilih bersama.
Pagi harinya, saat aku membuka mata, Zephyr sedang menatapku sambil tersenyum.
“Selamat pagi, istriku sayang.”
Aku langsung menarik selimut hingga menutupi wajah, malu bukan main. Ia justru tertawa dan menarik selimutku perlahan.
“Jangan sembunyi. Kita sudah sah sepenuhnya, ingat?”
Ia memelukku dan mengecup bahuku lembut. Aku hanya bisa menggigit bibir menahan senyum.
Hari itu kami sarapan bersama sambil menikmati pemandangan yang menenangkan jiwa. Kami berjalan-jalan, mengabadikan momen, dan tertawa tanpa beban.
“Aku tak tahu apa yang menanti kita sepulang dari sini,” batinku. “Tapi untuk saat ini… aku hanya ingin waktu berhenti di Valerra, di tempat ini, berdua dengannya.”
Aku tahu, rumah bukanlah tempat, tapi seseorang.
Bersambung…