“Sah!”
Di hadapan pemuka agama dan sekumpulan warga desa, Alan dan Tara terdiam kaku. Tak ada sedikitpun senyum di wajah meraka, hanya kesunyian yang terasa menyesakkan di antara bisik-bisik warga.
Tara menunduk dalam, jemarinya menggenggam ujung selendang putih yang menjuntai panjang dari kepalanya erat-erat. Ia bahkan belum benar-benar memahami apa yang barusaja terjadi, bahwa dalam hitungan menit hidupnya berubah. Dari Tara yang tak sampai satu jam lalu masih berstatus single, kini telah berubah menjadi istri seseorang yang bahkan baru ia ketahui namanya kemarin hari.
Sementara di sampingnya, Alan yang barusaja mengucapkan kalimat penerimaan atas pernikahan itu tampak memejamkan mata. Baginya ini terlalu cepat, terlalu mendadak. Ia tak pernah membayangkan akan terikat dalam pernikahan seperti ini, apalagi dengan gadis yang bahkan belum genap ia kenal dalam sehari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rienss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebohongan Alan
“Lira...”
Hanya itu kata yang sempat keluar dari mulut Alan begitu melihat istrinya di depan pintu. Suaranya terdengar serak, seakan tersangkut di tenggorokan. “Kenapa... kenapa kau di sini, sayang?” tanyanya gugup.
Lira menatapnya datar. Tanpa senyum seperti yang biasa wanita itu lakukan saat melihat suaminya.
“Apa ini, Mas? Kenapa Mas tidak pulang ke rumah dan justru tidur di sini?”
Alan terdiam sejenak, lidahnya terasa kelu untuk menjawab.
“Mas...” panggil Lira karena tak segera mendapat jawaban dari Alan.
Alan menghela napas lalu meraih lengan Lira. “Maafin Mas, sayang. Semalam... Mas sedikit mabuk. Mas tidak ingin pulang dalam kondisi seperti itu. Takut membuatmu kawatir”
Lira menghembuskan napas, tak langsung menanggapi.
“Lagipula, Mas pikir kamu akan menginap di tempat papa setelah dari reuni,” lanjut Alan beralasan.
Lira menatapnya. “Tadinya aku memang berencana seperti itu Mas setelah sampai di tempat reuni. Tapi Marco nelpon aku dan bilang kalau Mas ke bar dan sempat minum. Terus pas aku coba hubungi Mas, ponsel Mas mati. Jadi aku minta Rico untuk langsung pulang saja.”
Alan terdiam, ada sesuatu yang membuat dadanya terasa berat. Ada rasa bersalah karena ia tahu ia tidak sedang sepenuhnya jujur pada wanita itu.
“Mas minta maaf, ya.”
Ia kemudian merangkul pinggang Lira, mengajak wanita itu masuk ke dala apartemennya.
Lira membalas rangkulan itu. Keduanya lalu berjalan beriringan dan duduk sebentar di sofa ruang tamu apartemen. Mereka berbincang sebentar di sana. Lira tak bertanya lebih jauh tentang ketidakpulangan Alan semalam dan justru menceritakan keseruan reuninya bersama teman-teman SMA nya dulu. Sementara Alan sendiri hanya menjadi pendengar sambil sesekali menanggapi.
Pikirannya masih kacau dengan segala hal yang terjadi semalam.
*
Mobil Alan melaju pelan di jalanan pagi Ibukota yang padat. Setelah berbincang hampir setengah jam di apartement, keduanya memutuskan untuk pulang bersama.
Saat ini Lira duduk di samping Alan yang sedang mengemudi. Ia sesekali mengecek ponsel, membaca obrolan group dengan beberapa teman SMA-nya semalam.
Tidak banyak percakapan yang terjadi di antara pasangan suami istri itu sejak dari apartement tadi.
Alan mencoba fokus ke jalan, meskipun sesekali pikirannya terus melayang pada Tara dan bagaimana dadanya masih terasa sesak setiap kali bayangan itu muncul.
Saat berhenti di lampu merah, Alan menoleh sekilas ke kaca spion luar.
Dan tepat saat itulah ia melihatnya.
Sebuah motor matic hitam yang berhenti tak jauh di belakang mobilnya.
Seorang gadis yang dengan wajah familiar mengendarainya.
Fifi.
Alan tahu gadis itu.
Meski tak mengenal secara langsung, tapi dia tahu wajah dan nama gadis itu dari laporan Rico waktu itu. Tentang bersama siapa Tara tinggal selama di ibukota.
Dan di belakang Fifi...
Alan bisa melihat Tara.
Gadis itu mengenakan helm putih dengan rambut yang dikuncir rendah. Kedua gadis itu tampak tertawa atas sesuatu, lepas, dan ringan.
Tanpa sadar, Alan memajukan tubuhnya sedikit, memperhatikan lebih jelas pemandangan itu lewat kaca spion.
Cara Tara tertawa.
Gerakan kecil Tara yang menepuk bahu teman yang memboncengnya.
Juga tubuh Tara yang sedikit condong ke samping ketika berbicara pada Fifi.
Itu semua membuat dada Alan menghangat, sesuatu yang aneh yang tidak seharusnya ia rasakan.
Dan tanpa ia sadari, sudut bibirnya terangkat tipis. Ia tersenyum.
Lira yang sedang sibuk membalas pesan teman-teman di group chatingnya tidak menyadari perubahan itu.
Lampu berubah hijau.
Terlihat Fifi mulai kembali melajukan motornya. Dan entah kenapa Alan sengaja menahan pedal gas sedikit lebih lama, membiarkan motor yang ditumpangi kedua gadis itu menyalipnya.
Alan mengikuti laju motor itu. Menjaga agar jarak mereka tetap tidak terlalu jauh tapi juga tidak terlalu dekat agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Dan dari posisinya saat ini, Alan bisa melihat sekelibat gerak tubuh Tara yang kembali tertawa kecil.
Tawa yang membuat dada Alan serasa ditarik ke tempat yang seharusnya tidak ia datangi.
Alan menghembuskan napas pelan.
Ia tahu ia tidak seharusnya merasakan dan melakukan semua ini.
Terlebih saat istrinya duduk di sebelahnya.
Tapi tetap saja... ia mengikuti motor itu.
Tanpa suara.
Tanpa alasan yang jelas
Tanpa pernah benar-benar ingin berhenti.
Perjalanan berlangsung hening beberapa menit. Alan tetap menjaga jarak dengan motor Fifi dan Tara. Setiap kali motor itu berbelok, tanpa sadar mobilnya mengikuti arah yang sama.
Hingga akhirnya...
“Lho Mas, ini kan jalan arah ke kantor? Bukan ke rumah kita?”
Suara Lira tiba-tiba terdengar, membuat Alan tersentak kecil. Tangannya refleks mencengkram setir.
Alan berdehem kecil, berusaha menyembunyikan gugupnya. Sementara Lira menatapnya penuh tanya.
“Mas... ingat, pagi ini ada meeting penting, yank,” ujar Alan beralasan, memaksakan senyum ringan pada sang istri.
“Jadi... bisakan kamu pulangnya diantar sopir atau Rico saja? atau... kamu mau nyetir mobil Mas sendiri?”
Diam.
Lira tak langsung menjawab. Matanya bergerak ke arah jalanan di depannya dan sempat menangkap keberadaan motor Fifi dan Tara di antara beberapa motor lainnya.
“Kok mendadak sekali sih, Mas? Padahal aku pikir bisa pulang bareng.”
Alan menatapnya. Ada penyesalan di dalam benaknya kenapa dia harus sampai berbohong kepada istrinya.
“Maaf, Yank,” ujar Alan lirih. Ia lalu menghela napas pelan. “Tapi kalau kamu memang ingin Mas yang antar pulang... baiklah. Kita pulang dulu. Mas akan suruh Rico menundanya,” ujar pria itu tak ingin mengecewakan sang istri.
Lira tersenyum bahagia, ia tahu Alan akan selalu memprioritaskan dirinya.
“Mas yakin?”
Alan mengangguk mantap, satu tangannya lalu meraih tangan Lira dan menggenggamnya di pangkuan.
Tanpa menunggu lama Alan memutar kemudi, mengambil jalur putra balik. Mobilnya berbelok menjauh dari arah kantor, dan secara tidak langsung menjauh dari motor Tara yang perlahan menghilang dari pandangannya.
Sementara itu setibanya di kantor, Tara yang baru saja hendak menaruh tas ke atas meja langsung menoleh begitu namanya dipanggil oleh salah satu staff dari bagian HRD.
“Tara, Pak Diksa memintamu ke ruangannya sebentar,” ujar pria berambut ikal itu dengan nada formal.
Tara mengangguk dan segera mengikuti langkah staff HRD tersebut melewati lorong kantor yang mulai ramai.
Begitu ia tiba di ruang kepala HRD, Pak Diksa terlihat sudah menunggunya dengan senyum profesional.
Tara duduk di hadapan pria itu setelah ia dipersilahkan.
“Tara, sesuai instruksi dari Pak Alan, mulai hari ini ada perubahan untuk penempatan kerjamu,” ujar pria itu sembari memberikan sebuah map.
Tara menelan ludah. Meski ia sudah mendengar instruksi itu langsung dari Alan kemarin, tapi tetap saja rasanya berbeda ketika ia mendengarnya dari HRD secara resmi.
“Mulai hari ini sampai tanggal mutasimu berlaku, kamu tidak lagi bekerja di ruang divisi keuangan seperti biasa,” lanjut Pak Diksa. “Kamu dipindahkan ke lantai dua puluh, bergabung dengan tim eksekutif.
Kata-kata itu terasa lebih berat dari yang ia bayangkan.
Lantai dua puluh
Area eksekutif.
Tempat di mana ruangan Alan berada.
Tara terdiam beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk. Ia sudah mendengar hal itu dari Alan sendiri kemarin.
“Baik, Pak. Saya... siap.”
Pak Diksa tersenyum tipis. “Bagus. Kamu bisa langsung ke tempat kerjamu yang baru setelah mengambil barang-barangmu. Akses kartumu juga sudah diaktifkan.”
Tara mengangguk sekali lagi, berusaha menyembunyikan kegugupan yang merayap di hatinya.
“Terima kasih, Pak.”
Begitu keluar dari ruangan itu, Tara menghentikan langkahnya sejenak di lorong. Ada banyak hal yang menunggunya di lantai dua puluh, dan ia tidak yakin semuanya akan mudah.