Arzhel hanyalah pemuda miskin dari kampung yang harus berjuang dengan hidupnya di kota besar. Ia terus mengejar mimpinya yang sulit digapai.nyaris tak
Namun takdir berubah ketika sebuah E-Market Ilahi muncul di hadapannya. Sebuah pasar misterius yang menghubungkan dunia fana dengan ranah para dewa. Di sana, ia dapat menjual benda-benda remeh yang tak bernilai di mata orang lain—dan sebagai gantinya memperoleh Koin Ilahi. Dengan koin itu, ia bisa membeli barang-barang dewa, teknik langka, hingga artefak terlarang yang tak seorang pun bisa miliki.
Bermodalkan keberanian dan ketekunan, Arzhel perlahan mengubah hidupnya. Dari seorang pemuda miskin yang diremehkan, ia melangkah menuju jalan yang hanya bisa ditapaki oleh segelintir orang—jalan menuju kekuatan yang menyaingi para dewa itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15 Mimpi indah yang menyakitkan, membeli cincin parsial
Ia menunduk sekali lagi, sopan tapi terasa menjauh.
Arzhel ingin menghentikannya, ingin bertanya banyak hal—kehidupannya sekarang, kenapa bisa di sini, apa dia masih sama seperti dulu. Tapi bibirnya hanya bergetar tanpa suara.
Novita sudah berbalik, berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, ia menoleh sebentar, menatapnya sekali lagi dengan sorot yang sulit ditebak—campuran kenangan, jarak, dan sesuatu yang tak bisa diucapkan.
Klik.
Pintu tertutup.
Arzhel berdiri diam di tengah kamar, napasnya berat. Hatinya bergetar hebat. Kenangan masa SMA berloncatan di benaknya—hari-hari yang sederhana, tawa di bawah pohon sekolah, janji-janji kecil yang akhirnya terputus oleh jarak dan waktu.
Dan kini, setelah tujuh tahun lamanya, wanita yang dulu pernah ia genggam tangannya, wanita yang pernah dia bisikan bertapa besar cintanya padanya, kini berdiri di depan matanya sebagai pelayan hotel.
Arzhel menunduk, menatap kepalan tangannya sendiri. “Novita…” gumamnya pelan.
Ia duduk di tepi kasur, mencoba menenangkan diri, tapi dadanya masih terasa sesak. Makan malam yang tadi menggiurkan kini kehilangan rasanya. Hambar, dan tak bergairah.
Malam itu, setelah pintu kamar tertutup, setelah ia menyelesaikan makan malamnya dengan ekspresi datar. Arzhel hanya berbaring, menatap langit-langit kamar hotel yang putih bersih.
Matanya berat, pikirannya kacau. Tanpa sadar, ia terlelap. Dan di dalam tidurnya, mimpi yang dahulu selalu menemaninya kembali datang menyeruak.
....
🌠 Mimpi...
Arzhel berdiri di halaman sebuah sekolah SMA—tempat yang sudah lama ia tinggalkan. Rumput lapangan masih hijau, suara riuh teman-teman sekolah bergema, angin sore menerbangkan dedaunan kering.
Semua tampak begitu nyata, seakan ia kembali ke masa itu.
Arzhel bukanlah siswa introvert atau kutu buku seperti yang orang-orang pikirkan tentangnya. Semua orang di sekolah itu mengenalnya sebagai orang yang enerjik, mudah berteman, dan selalu jadi pusat tawa di lingkungannya.
Namun hari itu berbeda. Dari pintu gerbang sekolah, seorang siswi pindahan melangkah masuk.
Novita.
Rambutnya hitam lurus, wajahnya cantik menawan, mata tajam penuh percaya diri. Seperti cahaya yang langsung menarik perhatian semua orang.
Murid-murid berbisik kagum, guru-guru pun terpesona. Namun… ada dinding es di balik kecantikannya. Senyum jarang sekali muncul di bibir indahnya, tutur katanya singkat, tatapannya dingin membuat orang-orang segan mendekat.
Tapi Arzhel tidak pernah suka berdiam diri. Ia melangkah mendekat terlebih dahulu dengan tangan terulur ramah.
“Hai, aku Arzhel. Senang bertemu denganmu.”
Namun, Novita hanya menatap singkat lalu berjalan melewatinya tanpa sepatah kata pun. Uluran tangan itu menggantung di udara.
Arzhel tertawa canggung waktu itu, tapi bukannya menyerah, ia terus mencoba. Hari demi hari, ia mencari cara untuk berbicara dengannya. Sebulan penuh usahanya hanya berbuah tatapan dingin.
Hingga suatu sore, di perpustakaan sekolah, saat cahaya matahari senja menembus jendela besar, Novita akhirnya mengulurkan tangannya pelan.
“Aku tidak bisa fokus belajar kalu kau terus menggangguku, kalau begitu ayo kita berteman...”
Momen itu menjadi awal dari segalanya dimulai.
Mereka mulai sering belajar bersama, pulang sekolah bersama, berbagi cerita kecil, tertawa akan hal-hal sederhana.
Arzhel jatuh, jatuh begitu dalam pada pesona gadis itu. Dan pada akhirnya, hubungan itu berubah—dari sekadar teman menjadi sesuatu yang lebih hangat, lebih romantis.
Hari-hari itu bagai bunga sakura yang bermekaran: singkat, indah, penuh warna. Dunia terasa lengkap hanya dengan kehadirannya.
Namun kebahagiaan itu runtuh tanpa adanya peringatan.
Tepat di akhir tahun pelajaran, Novita menghilang begitu saja. Tidak ada kabar, tidak ada salam perpisahan. Ia menghilang bak ditelan bumi.
Arzhel ingat betul hari itu. Ia menunggu di gerbang sekolah setiap hari, berharap melihat sosok Novita datang. Tapi yang ada hanya kabar samar dari teman-temannya yang mengatakan jika Novita telah pindah sekolah.
Tidak ada penjelasan. Tidak ada pesan. Hanya pergi.
Hatinya tercabik, luka itu begitu dalam hingga butuh bertahun-tahun untuk perlahan sembuh.
Namun kini—setelah tujuh tahun—dengan sekali tatap di balik pintu kamar hotel, luka itu terbuka lagi.
Arzhel dalam mimpinya berdiri di lapangan sekolah, sendirian. Bayangan Novita di kejauhan berjalan menjauh, semakin jauh, dan tak pernah menoleh lagi.
Arzhel berteriak memanggilnya, tapi suaranya lenyap tertelan angin...
....
Arzhel terbangun dengan napas yang masih berat. Mimpi itu—indah, namun sekaligus luka terdalam yang kembali terkuak—membuat dadanya terasa sesak.
Ia memejamkan mata sejenak, kemudian bergumam lirih. “Novita… Disaat aku sudah melupakanmu, kenapa kau muncul kembali dalam hidupku?”
Tangannya menutup wajah, mencoba menahan perasaan yang bercampur antara rindu dan perih. Namun, ia tahu, ia tidak bisa terus larut.
Dengan sisa tenaga, ia bangkit dari ranjang, menyeret tubuhnya ke kamar mandi.
Air dingin menyapu wajahnya, seolah menampar realita kembali ke kepalanya. Lama ia berdiri di bawah pancuran, membiarkan pikirannya tenang.
Keluar dari kamar mandi, ia mengenakan pakaian khas hotel—bathrobe putih dengan logo emas di dada.
Matanya jatuh pada ransel besar di samping ranjang. Ransel yang semalam membuat punggungnya hampir patah karena terlalu berat.
Ia membuka resletingnya, dan seketika aroma kertas uang menyeruak, lembaran demi lembaran menumpuk nyaris meluber keluar.
Arzhel menghela napas berat.
“Tidak mungkin aku terus membawa ini.... Sekali ketahuan, aku bisa dikejar perampok, atau paling parah malah ditangkap polisi karena dikira habis merampok bank."
Sesaat ia terpikir untuk pergi ke bank dan memasukkan semua uangnya ke dalam rekening. Tapi ide lain melintas—lebih aman, lebih praktis. Ia segera meraih ponselnya dan membuka aplikasi Market Ilahi.
Di bilah pencarian ia mengetik kata kunci: penyimpanan
Hasilnya langsung membanjir. Ribuan barang muncul: kotak kayu biasa, dompet dewa dengan ukiran naga, laci bersegel, hingga peti besi bercahaya. Namun matanya terpaku pada satu benda yang berbeda.
🪙Artefak: Cincin Penyimpanan Dewa— Dijual oleh Zerathos, Sang Dewa Kehampaan Kosmik.
Deskripsinya membuat jantung Arzhel berdegup kencang:
“Sebuah cincin perak bercahaya dengan intan biru di permukaannya. Diciptakan oleh Pandai Besi Surga, cincin ini mampu menyimpan apa pun—emas, batu, senjata, bahkan gunung dan lautan—tanpa batas. Setiap benda yang dimasukkan akan terlindungi, tidak akan rusak, busuk, ataupun hilang. Cincin ini terhubung langsung dengan kesadaran pemilik, membuat akses masuk dan keluar hanya sejauh pikiran.”
Arzhel menelan ludah. “Penyimpanan tak terbatas… benda dewa macam apa ini…”
Namun ketika melihat harganya, matanya terbelalak.
💰 10.000 Koin Ilahi.
“Gila… jelas saja. Kalau dewa sendiri pakai cincin ini, siapa aku yang bisa beli sekarang?” gumamnya sambil tertawa getir.
Namun saat hendak menutup menu, ia menemukan barang lain dari penjual yang sama seolah sudah dipersiapkan untuk situasi ini.
🪙 Artefak: Cincin Parsial— dijual oleh Zerathos, Sang Dewa Kehampaan Kosmik.