Pertemuan Andre dan fanda terjadi tanpa di rencanakan,dia hati yang berbeda dunia perlahan saling mendekat.tapi semakin dekat, semakin banyak hal yang harus mereka hadapi.perbedaan, restu orang tua,dan rasa takut kehilangan.mampukah Andre dan fanda melewati ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nangka123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29: Harus kuat
Gedung pengadilan dipenuhi orang. Wartawan berjejer dengan kamera, mencari celah untuk memotret dan mewawancarai pihak-pihak yang terlibat. Nama Zul sudah lama jadi sorotan media, dan kini kasusnya makin ramai karena keberanian Fanda untuk maju sebagai saksi utama.
Mobil yang ditumpangi Andre dan Fanda berhenti di depan gedung. Begitu mereka turun, kilatan kamera langsung menyerbu. Fanda sempat menggenggam lengan Andre erat-erat, wajahnya tegang.
“Mas… aku takut,” bisiknya lirih.
Andre menoleh, menatap istrinya dalam-dalam.
“Jangan takut. Ingat kata Ibu di desa,kamu bawa doa satu kampung. Kamu nggak sendirian.”
Fanda menarik napas dalam, lalu berjalan masuk bersama Andre.
Di dalam ruang sidang, suasana lebih menegangkan. Zul duduk di kursi terdakwa, mengenakan setelan rapi, seolah-olah tidak pernah melakukan kejahatan apapun.
Namun sorot matanya dingin, penuh kebencian saat menatap ke arah Fanda.
Hakim mengetuk palu, persidangan dimulai. Jaksa mulai membacakan tuduhan, sementara pengacara Zul berusaha menyanggah dengan berbagai alasan.
Ketika tiba giliran Fanda dipanggil sebagai saksi, suasana semakin hening. Ia melangkah maju, tangannya sempat gemetar. Dari kursinya, Zul menyeringai tipis, lalu berbisik pelan agar terdengar oleh Fanda,
“Jangan coba-coba buka mulut. Aku akan habisi Andre.”
Fanda langsung pucat. Namun dari bangku penonton, Andre memberi isyarat dengan kepalan tangan kecil, tatapannya kokoh.
Fanda menarik napas panjang, lalu menatap hakim. Suaranya bergetar di awal, tapi semakin lama semakin kuat.
“Saya bersaksi karena saya melihat sendiri bagaimana Zul menyakiti orang-orang di sekitar saya. Termasuk… bagaimana ia mencoba menghancurkan hidup saya dan suami saya.”
Ruangan mulai riuh, beberapa wartawan menulis cepat. Zul menegakkan tubuhnya, rahangnya mengeras, jelas tidak menyangka Fanda berani berbicara sejelas itu.
Di luar ruang sidang, Ferdi menerima laporan dari anak buahnya yang mengawasi. Ia mengepalkan tangan, wajahnya merah padam.
“Perempuan itu harus dibungkam. Kalau sidang berikutnya dia masih bicara, tamatlah kita.”
Sementara itu, di dalam gedung, Fanda baru saja selesai memberi kesaksian pertamanya. Andre menyambutnya dengan senyum lega, menggenggam tangannya erat.
“Kamu luar biasa. Aku bangga sama kamu, Fan.”
Fanda tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca.
“Tapi Mas… aku yakin mereka nggak akan tinggal diam setelah ini.”
Andre menatap lurus ke depan, wajahnya penuh tekad.
“Kalau mereka mau perang, kita siap. Tapi kali ini… kita perang dengan cara yang benar.”
Malam itu, apartemen terasa jauh lebih sunyi dari biasanya. Lampu ruang tamu menyala temaram, sementara berkas-berkas persidangan masih berserakan di meja. Fanda duduk di sofa dengan wajah pucat, tubuhnya sedikit gemetar meski udara tidak dingin.
Andre keluar dari dapur membawa segelas air hangat. Ia duduk di samping istrinya, menyodorkan gelas itu pelan.
“Minum dulu, Fan. Dari tadi kamu belum makan, belum minum juga.”
Fanda menerima gelas itu dengan tangan bergetar. Ia mencoba meneguk sedikit, tapi matanya langsung berkaca-kaca.
“Mas… aku bener-bener takut. Waktu Zul ngomong itu di ruang sidang… rasanya seperti dia masih bebas, seperti dia bisa melakukan apa saja kapan saja.”
Andre menarik napas panjang, lalu meraih tangan Fanda, menggenggamnya kuat.
“Dengar aku, Fan. Dia memang ngomong begitu supaya kamu goyah. Itu cara dia menakut-nakuti. Tapi dia di kursi terdakwa sekarang, bukan lagi orang yang bisa seenaknya jalan di luar.”
Fanda menggeleng, air matanya jatuh.
“Tapi Mas… dia sebut kamu. Aku takut kalau mereka beneran nyakitin kamu. Aku nggak bisa bayangin…”
Andre langsung memeluknya erat, mengusap punggungnya perlahan.
“Fan… aku itu nggak sendirian. Aku sudah siap, aku bisa hadapi apapun. Jangan sia-siakan itu dengan ketakutanmu.”
Pelukan itu membuat Fanda perlahan menenangkan diri, tapi tubuhnya masih kaku.
“Mas, kalau nanti aku nggak kuat di sidang berikutnya… kalau aku malah jadi beban buat Mas…”
Andre melepaskan pelukan, menatap istrinya dalam-dalam, suaranya penuh keyakinan.
“Kamu nggak pernah jadi beban. Kamu kekuatan terbesarku, Fan. Tanpa kamu, aku nggak akan berani sejauh ini. Kamu yang bikin aku yakin kalau kebenaran harus diperjuangkan.”
Fanda terdiam, menatap mata suaminya. Ada ketulusan yang membuat dadanya sedikit lebih ringan. Ia mengusap air matanya, mencoba tersenyum meski samar.
“Mas selalu bisa bikin aku kuat lagi…”
Andre tersenyum tipis, lalu merapikan helai rambut Fanda yang jatuh di pipinya.
“Karena aku tahu, kalau kamu jatuh, aku juga jatuh. Kita cuma bisa menang kalau kita tetap berdiri sama-sama.”
Malam itu, mereka duduk berdua dalam diam, hanya saling menggenggam tangan. Di luar, kota tidak pernah tidur, ancaman dari Ferdi dan Zul masih menggantung.
Di sebuah ruangan gelap dengan kaca besar yang menghadap ke jalan raya, Ferdi duduk santai di kursinya.
Di depannya, beberapa anak buahnya berdiri menunggu perintah. Asap rokok mengepul di udara, menebarkan aroma menyengat.
Ferdi mengetukkan jarinya pelan ke meja, matanya menyipit penuh perhitungan.
“Sidang kemarin… orang itu masih bisa bicara lantang. Dan istrinya, Fanda… dia jadi senjata yang nggak bisa dianggap remeh.”
Salah satu anak buahnya mendekat.
“Bos, kalau Bapak mau, kita bisa langsung sikat mereka. Serang di jalan, bikin mereka nggak sempat sampai sidang lagi.”
Ferdi tersenyum dingin, menggeleng pelan. “Jangan bodoh. Kalau mereka hilang begitu saja, polisi akan mencium kita. Aku mau permainan ini tetap bersih… di permukaan.”
Ia berdiri, berjalan ke jendela, menatap lampu kota yang berkedip-kedip.
“Kita buat mereka hancur sebelum sidang berikutnya. Caranya sederhana, bikin orang-orang percaya kalau mereka pembohong. Kita punya media, kita punya orang di kantor kejaksaan, bahkan beberapa saksi bisa dibeli. Itu lebih efektif daripada peluru.”
Anak buah lain mengangguk cepat.
“Berarti kita mulai kampanye hitam, Bos?”
Ferdi tersenyum lebar.
“Ya. Sebarkan gosip kalau Andre cuma cari uang lewat kasus ini. Bilang kalau Fanda itu perempuan licik. Cari foto lama, edit kalau perlu. Bikin mereka terlihat busuk. Saat opini publik berbalik, hakim juga akan ragu. Ingat, pengadilan bukan cuma di ruang sidang… tapi di kepala orang-orang.”
Suasana ruangan menjadi tegang. Anak buahnya mencatat dengan cepat, beberapa langsung menyalakan ponsel untuk memberi instruksi ke bawahannya.
Ferdi kembali duduk, matanya dingin.
“Dan satu lagi… awasi desa mereka. Jangan lakukan apa-apa dulu, tapi buat warga merasa diawasi. Kalau mereka gentar, Fanda dan Andre akan makin terbebani. Tekanan psikologis jauh lebih tajam daripada pisau.”
Gelak tawa kecil terdengar dari mulut Ferdi. Ia mengangkat gelas wiski dan meneguknya pelan.
“Permainan baru saja dimulai. Dan aku yang pegang bidaknya.”