Aku sengaja menikahi gadis muda berumur 24 tahun untuk kujadikan istri sekaligus ART di rumahku. Aku mau semua urusan rumah, anak dan juga ibuku dia yang handle dengan nafkah ala kadarnya dan kami semua terima beres. Namun entah bagaimana, tiba-tiba istriku hilang bak ditelan bumi. Kini kehidupanku dan juga anak-anak semakin berantakan semenjak dia pergi. Lalu aku harus bagaimana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15
Perlahan Megan bangkit dari ranjang, gerakannya anggun namun penuh malas. Ia menarik selimut tebal dan menutupi tubuhnya yang masih basah oleh keringat semalam. Rambutnya terurai kusut menutupi sebagian wajah, tapi tetap saja pesonanya tak bisa hilang.
Dengan nada manja namun dingin, ia menatapku sambil berkata. "Mas, kenapa harus buru-buru pulang ke rumah? kamu bisa kan berangkat kantor dari sini. Urusan anak-anak biar istri kamu yang urus."
Aku terdiam sesaat, lalu menatapnya. “Kamu enggak tahu, ya. Ratu pergi dari rumah, dan sampai sekarang dia belum juga pulang.”
Megan terlihat kaget, lalu meletakkan gelasnya dengan hati-hati di meja. “Maksud Mas…? Jadi sampai sekarang dia belum pulang ke rumah?”
Aku menghela napas berat, rasa kesal kembali muncul. “Belum, aku juga bingung harus mencari ke mana lagi? Padahal selama dia di rumah, semua kebutuhanya aku penuhi. Apa yang ia mau aku turuti, keperluan rumah juga sudah aku sedia, kan. Tapi kenapa ia kabur begitu saja. Anak-anak jadi urusanku semua. Dan rumah berantakan.” ujarku bohong, mana mungkin aku berkata jujur di depan Megan kalau di rumah Ratu kujadikan Babu. Itulah sebabnya aku tidak mau Ratu hamil. Karena pasti akan repot jika memiliki bayi.
"Aku tidak mengira, istrimu bisa seperti itu, Mas." Megan justru tersenyum kecil, seolah mendengar kabar yang menyenangkan. Ia mendekat, duduk di sampingku, lalu menyandarkan kepalanya di bahuku. “Kalau begitu, bukankah ini kesempatan bagus buat kita, Mas? Tanpa Ratu, semua jadi lebih mudah. Anak-anak pun sudah mengenalku, mereka bahkan lebih suka aku daripada dia, kan?”
Aku hanya mengangguk pelan. Kata-kata Megan terasa seperti bisikan racun yang sekaligus menenangkan.
"Kalau begitu aku pulang dulu ya, nanti aku ke sini lagi."
"Oke, sayang. Hati-hati di jalan ya," ujarnya melambaikan tangan. Aku pun langsung ke luar menuju parkiran mobil. Baru saja aku masuk ke dalam mobil.
Telepon berdering kencang. Nama Ibu terpampang jelas di layar. Aku menarik napas panjang, mencoba menyiapkan jawaban.
“Halo, Bu,” kataku dengan suara sengaja dibuat tenang.
Namun di seberang sana, suara Ibu langsung meninggi, penuh kekesalan.
“Erlangga! Kamu ada di mana? Sudah pagi begini, anak-anakmu rewel karena enggak ada yang nganter sekolah. Kamu pikir mereka bisa berangkat sendiri?”
Aku meremas gagang ponsel, kupingku terasa panas mendengar ocehannya di pagi ini. “Bu, aku lagi di luar. Ada urusan kerjaan, ini juga sudah selesai aku---”
“Kerjaan apa pagi-pagi begini? Jangan bohong sama Ibu!” bentak Ibu. “Anak-anak bilang kamu jalan keluar ya sama Megan? Apa kamu sudah lupa kalau mereka butuh ayah yang bener-bener ngurus? Ratu enggak ada, sekarang kamu juga enggak ada. Kamu mau biarin mereka terbengkalai begitu?”
"Haduh, Bu. Masalah kaya gini jangan terlalu dibesar, kan. Sebentar lagi aku sampai rumah kok."
"Cepat pulang, kamu pikir ibu ini babu apa yang bisa urus semuanya! Kalau tidak bisa bawa Ratu pulang, sewa saja Art di rumah!"
Klik... Sambungan telepon langsung terputus.
...****************...
Sesampainya di rumah, aku buru-buru mengganti baju, meraih tas sekolah Mira dan Clara, lalu menyeret mereka ke mobil. Mereka masih cemberut, jelas kecewa karena pagi ini kacau balau.
Setelah beres anter kedua anakku sekolah. Kini tinggal diriku yang harus berangkat kantor.
Sesampainya di kantor, aku duduk di meja kerjaku. Pandangan kosong menatap layar komputer. Satu demi satu laporan menumpuk, tapi semangatku seperti lenyap.
Aku menggerutu pelan, “Andai saja Ratu ada di rumah, mungkin aku enggak perlu repot seperti ini. Anak-anak, rumah, ibu… semua bisa beres. Tapi sekarang semua tanggunganku jadi dobel. Sial.”
Sambil mencoba mengetik laporan, aku terus saja mengingat kata-kata Ibu tadi pagi: “Segera bawa Ratu pulang. Kalau enggak bisa, sewa ART.” Kalimat itu bergema di telingaku, membuatku semakin jengkel.
Dari pada pikirin masalah Ratu, lebih baik aku fokus bekerja. Baru saja aku mulai sedikit fokus pada laporan, tiba-tiba suara notifikasi grup kantor masuk.
"Agenda rapat mendadak, jam 11 siang. Wajib hadir. Tempat: ruang rapat utama."
Aku terbelalak. Rapat mendadak? Biasanya kalau seperti ini, pasti ada hal besar yang sedang dibahas. Entah pergantian jabatan, evaluasi kinerja, atau bahkan masalah keuangan perusahaan.
Aku bergumam sambil mengetuk meja, “Sial… kalau ini tentang masalah dana, bisa gawat. Jangan-jangan ada yang mencium gelagat soal uang yang aku pakai.”
Keringat dingin mulai mengalir di pelipis. Aku mencoba menenangkan diri, menarik napas panjang. Tidak. Tidak mungkin ada yang tahu. Selama ini semua aman. Aku rapi menutupinya.
Tapi entah kenapa, rasa was-was itu makin menjadi. Tangan yang tadi mengetik kini gemetar pelan.
...****************...
Jam 11 tepat, aku melangkah masuk ke ruang rapat. Suasana sudah berbeda dari biasanya. Semua karyawan duduk rapi, wajah mereka penuh rasa ingin tahu. Aku sendiri duduk dengan perasaan gelisah.
Tak lama kemudian, pintu terbuka. Seorang pria berpenampilan rapi dengan setelan jas abu-abu masuk bersama beberapa staf senior. Tatapan matanya tajam, langkahnya penuh wibawa.
MC rapat berdiri dan membuka acara, “Bapak dan Ibu, mulai hari ini kita resmi kedatangan direktur baru yang akan menggantikan posisi lama. Mari kita sambut, Bapak Angkasa.”
Aku terperanjat. Angkasa? Pria yang kemarin menahan langkahku saat ingin mengejar Ratu, kini berdiri gagah di depan semua karyawan.
Tanganku refleks mengepal di bawah meja. Jantungku berdetak cepat, wajahku menegang. Dunia seakan mengejekku—bagaimana bisa dia, pria itu, muncul kembali di hadapanku, bahkan menjadi bos baruku?
Angkasa tersenyum dingin, lalu mulai bicara, “Mulai hari ini saya akan bekerja sama dengan kalian semua. Saya harap kita bisa saling terbuka, jujur, dan menjaga integritas perusahaan.”
Kata jujur dan integritas seolah menampar telingaku. Aku menunduk, berpura-pura mencatat, padahal pikiranku sudah berantakan.
Terlihat Angkasa masih berdiri di depan, suaranya terdengar mantap saat menjelaskan visi dan misinya sebagai direktur baru. Semua karyawan tampak serius mendengarkan, sesekali mengangguk setuju.
Aku mencoba menunduk, berpura-pura mencatat di buku rapat. Namun tiba-tiba aku bisa merasakan sesuatu—tatapan tajam yang menusuk dari arah depan. Perlahan aku mengangkat wajahku, dan benar saja. Angkasa menatap lurus ke arahku.
Tatapannya berbeda dengan yang lain. Bukan sekadar menilai seorang bawahan, tapi lebih seperti sebuah peringatan. Seakan-akan dia ingin berkata: “Aku tahu siapa kamu. Aku tahu apa yang kamu lakukan.”
Aku segera menunduk lagi, jantungku berdetak tak karuan. Telapak tanganku dingin dan basah oleh keringat.
Rekan di sebelahku sempat menoleh heran, “Eh, Lang… kamu kenapa? Kok pucat gitu?”
Aku buru-buru menggeleng. “Enggak, enggak. Cuma kurang tidur,” jawabku terbata-bata.
Tapi dalam hati aku tahu, ini bukan soal kurang tidur. Ini tentang Angkasa. Tentang rahasiaku. Dan mungkin… tentang Ratu.