"aku...aku hamil Rayan !!" teriak frustasi seorang gadis
" bagaimana bisa laa" kaget pemuda di depannya.
Laluna putri 19 tahun gadis desa yatim piatu yang tinggal bersama neneknya sejak kecil.
Rayyan Aditya 22 tahun mahasiswa semester akhir anak orang berada asal kota.
Alvino Mahendra 30 tahun CEO perusahaan besar AM grup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rizkysonia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 32.
Udara di depan ruang operasi begitu menyesakkan. Bau obat-obatan menusuk hidung, bercampur dengan aroma ketakutan yang tak terlihat, sementara keluarga Rayyan tak lepas dari lampu merah di atas pintu masih menyala, masih menandakan harapan yang belum tentu ada.
Tiba-tiba suara langkah tergesa mendekat
" bagaimana keadaan Luna sekarang?" Bu Meri datang bersama pak Robi dan Tomi
" ma.. Bayi nya sudah selamat, dia laki-laki..tapi "
" tapi apa..? dimana Luna sekarang..?"
" semua orang mencemaskan Luna.." gumam seseorang dalam hati nya
" dia masih kritis ma, di dalam.. Ouh ya Rayyan mana?" tanya Rendi sambil celingukan,
degg
" maksud kamu Rayyan belum sampai?
begitu Rendi..?"
" Rayyan memang belum sampai ma, emang Rayyan gak bareng kalian?"
" dia udah jalan duluan begitu mendengar kabar Luna.. Gak mungkin kalau belum sampai "
" Tomi coba kamu hubungi adik kamu"
" gak di angkt ma.." ucap Tomi setelah mencoba menghubungi Rayyan beberapa kali
Dering ponsel pak Robi mengalihkan semua orang. Nomor tidak di kenal masuk membuat pak Robi mengerutkan keningnya, sambil menerima panggilan tersebut.
" hallo selamat sore... Kami dari kepolisian xx Apa benar ini dengan keluarga saudara Rayyan? "
" iya betul saya papa nya Rayyan, ada apa ya..?"
" begini pak sodara Rayyan mengalami kecelakaan tunggal di jalan xx, dan korban langsung dilarikan ke rumahsakit terdekat "
Bu Meri yang ikut mendengarkan langsung menggelengkan kepalanya, air matanya langsung turun.
" gak mungkin Rayyan kita pah.. Pasti salah orang kan..? " suara nya tercekat
" papa gak tau ma... Kita lihat dulu ya buat Pastikan, katanya Rayyan di bawa ke rumahsakit ini juga.."
" tapi Luna bagaimana?" tanya Tomi
" biar aku sama bi Ida yang disini" ucap Novi
" baiklah, kita kesana sekarang.. Sayang tunggu dulu bentar ya nanti aku kesini lagi.." kata Rendi sambil mencium kening Novi
....
Sirine ambulan meraung memecah sore hari yang sepi. Lampu-lampu jalan berpendar kabur di balik hujan gerimis yang turun tanpa ampun. Tubuh Rayyan terbaring lemah di atas tandu, wajahnya pucat, darah mengalir dari pelipis dan tangan kanannya yang terluka parah.
“Segera ke ruang UGD! Tekanan darahnya turun!” suara dokter terdengar tegas namun tergesa. Petugas medis berlari, menuntun tandu masuk ke lorong rumah sakit.
...
Di luar ruang UGD, Bu Meri terduduk lemas di kursi tunggu. pak Robi memeluknya erat, berusaha menahan air mata.
“Ya Tuhan… anakku… Rayyan…” suara Bu Meri nyaris tak keluar. “Luna juga masih di dalam… apa harus kehilangan keduanya malam ini?”
" mama jangan ngomong begitu... Kita berdoa saja semoga mereka kuat dan bisa bertahan"
" kenapa semua jadi seperti ini pa... Tadi pagi semua baik-baik saja, mama masih bisa melihat keduanya tersenyum, tapi sekarang apa..?"
" sabar ma... Ini adalah cobaan mereka pasti bisa melewati ini semua "
Hujan di luar semakin deras. Petir menyambar, seolah langit pun menangis bersama mereka.
Beberapa jam berlalu dengan ketegangan yang tak kunjung reda. Dari balik kaca ruang ICU, tubuh Rayyan tampak penuh perban. Wajahnya nyaris tak dikenali, alat bantu pernapasan menutupi sebagian besar wajahnya.
“Pasien laki-laki, luka parah di kepala dan dada… kemungkinan besar benturan keras,” jelas dokter pada petugas medis.
“Apakah masih bisa diselamatkan, Dok?”
Dokter itu hanya diam sesaat, lalu menatap layar monitor. “Kita sudah berusaha. Tapi semua tergantung kekuatannya untuk bertahan "
Bu Meri terisak. Ia menatap dua arah yang berbeda, satu menuju ruang ICU tempat Rayyan terbaring, satu lagi menuju ruang operasi tempat Luna berjuang. Antara doa, penyesalan, dan harapan yang hampir padam.
“Rayyan… Luna… bertahanlah nak…”
Tidak lama Dokter keluar dari ruangan dengan wajah lelah nya, semua langsung berdiri penasaran
" dokter bagaimana keadaan anak saya ?" tanya Bu Meri tak sabar
" Alhamdulillah.. pasien sudah melewati masa kritisnya, tapi belum sepenuhnya stabil, kami akan terus memantau nya.." kata dokter yang menangani Rayyan, semua merasa lega mendengar nya
" syukurlah kalau begitu, apa boleh saya melihat nya?" kata pak Robi
" boleh tapi hanya satu orang saja, dan jangan ajak pasien bicara dulu.."
" baik dokter terimakasih.."
" papa aja yang masuk, mama gak kuat lihat Rayyan pa" kata Bu Meri sambil terduduk lesu
" baiklah nanti giliran ya"
Waktu seolah berhenti malam itu. Suara monitor di kedua ruangan bergema bersahutan, membentuk simfoni getir antara hidup dan mati.
---
Sementara itu, di ruangan berbeda, Luna masih berjuang di meja operasi. Nafasnya tersengal, wajahnya pucat pasi. Bunyi monitor detak jantung mengisi udara dengan irama yang membuat siapa pun menahan napas.
“Tekanannya menurun lagi!” seru perawat.
“Tambahkan oksigen, cepat!” dokter lain membalas.
Lorong rumah sakit itu terasa dingin.
Novi duduk di kursi tunggu, menatap kosong pada lampu “Ruang Operasi” yang masih menyala merah.
Luna sedang berjuang di balik pintu itu, antara hidup dan mati.
Sementara di luar, Novi berjuang dengan pikirannya sendiri.
Tangannya menggenggam erat tas yang ia bawa.
Novi menarik napas panjang. Matanya sembab. Ia tidak tahu apakah ia sedang berdoa untuk keselamatan Luna… atau justru berharap sebaliknya.
“Luna itu baik…” bisiknya pada dirinya sendiri.
Ia teringat bagaimana Luna selalu ceria dan tersenyum tulus kepada nya,
Tapi setiap kali bayangan itu muncul, bayangan lain segera menimpanya, Luna yang disayang semua orang, Luna yang selalu jadi pusat perhatian, Luna yang kini mengandung anak Rayyan.
“Kalau saja Luna nggak ada…” pikirnya lagi.
Kalimat itu muncul begitu saja, seperti bisikan lembut yang beracun.
Ia langsung memejamkan mata, menutup telinga, menekan dadanya yang berdegup keras.
“Jangan, Novi…”
Namun suara lain di dalam dirinya menjawab pelan, “Kalau Luna tiada, bayi itu bisa kamu rawat. Kamu bisa jadi ibu baginya. Kamu bisa mewujudkan impian mu ”
Air mata jatuh, satu-satu.
Ia merasa jijik dengan dirinya sendiri, tapi di sisi lain, bayangan itu terasa nyata.
Bayangan dirinya menggendong anak Luna, menimang bayi mungil itu seolah darah dagingnya sendiri.
Dan di dalam mimpi itu… Bu Meri tersenyum padanya lagi, seperti dulu.
Tapi kemudian, pintu ruang operasi terbuka sedikit.
Ia berdiri, langkahnya gemetar. Dalam sesaat, semua rasa iri itu memudar, digantikan oleh ketakutan, takut kehilangan seseorang yang sebenarnya ia sayangi.
“Luna…” suaranya bergetar, hampir tidak terdengar.
Bibirnya bergetar di antara doa dan dosa.
malam itu, di lorong rumah sakit yang dingin, Novi menangis dalam diam.
Ia tidak tahu lagi mana yang benar, mana yang salah.
Yang ia tahu, dua suara di dalam dirinya terus berperang..
antara kasih dan iri, antara cinta dan harapan gelap yang tak bisa ia usir.
.
.
.
Terimakasih untuk yang setia nungguin kisahnya Laluna 🤗
Terus dukung author dengan like dan komen dan vote ya☺️
Love
You
😍