NovelToon NovelToon
Istri Muda Paman

Istri Muda Paman

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / CEO / Cinta Terlarang / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:40.1k
Nilai: 5
Nama Author: Hasri Ani

Kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Mala, membuat gadis itu menjadi rebutan para saudara yang ingin menjadi orang tua asuhnya. Apa lagi yang mereka incar selain harta Pak Subagja? Salah satunya Erina, saudara dari ayahnya yang akhirnya berhasil menjadi orang tua asuh gadis itu. Dibalik sikap lembutnya, Erina tentu punya rencana jahat untuk menguasai seluruh harta peninggalan orang tua Mala. Namun keputusannya untuk membawa Mala bersamanya adalah kesalahan besar. Dan pada akhirnya, ia sendiri yang kehilangan harta paling berharga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MAKIN PANAS

Angin malam berembus kencang menyertai gerimis yang makin deras. Jalanan basah berkilau diterpa cahaya lampu halaman. Di depan rumah bercat perpaduan cokelat dan krem itu, berdirilah seorang wanita dengan perut yang mulai menonjol, wajah lusuh, dan baju yang basah kuyup.

Dialah Erina.

Setelah kebingungan mau kemana, akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke rumah itu. Ia yakin Tama dan Kemala pasti mau menerimanya.

Dengan kedua tangan memeluk perutnya dan mata memelas, ia menatap pria yang berdiri membentengi pintu rumah-Tama.

Tak ada senyum, apalagi penyambutan. Tatapan pria itu penuh dengan kebencian. Gugatannya ditolak dan Erina dibebaskan hanya karena seseorang mengaku sebagai pelaku tunggal.

Mendengar informasi itu siang tadi, tentu saja Tama sangat marah.

"Mas Tama...," suara Erina lirih, hampir tak terdengar di tengah gemuruh hujan.

Tama mendengus pelan. Wajahnya dingin, matanya menatap wanita yang dulu pernah ia cintai itu dengan pandangan yang kini penuh benci.

"Pergi dari sini," ucapnya tegas, hampir tanpa emosi.

Namun Erina tidak menyerah. Ia justru melangkah maju, meraih lengan baju Tama yang kering karena berdiri di balik pintu. Air matanya bercampur dengan air hujan yang menetes dari rambut panjangnya.

"Mas, aku mohon. Aku gak punya tempat lagi. Aku... aku sedang hamil, Mas. Anak ini-anakmu. Masa kamu tega lihat aku kehujanan begini?"

Tama menarik lengannya, menjauhkan tubuh dari Erina seakan perempuan itu adalah wabah penyakit yang bisa menular hanya lewat sentuhan.

"Anak aku?" tanyanya sinis. "Lucu kamu. Dari mana kamu yakin itu anakku? Kamu pikir semua orang bisa percaya omongan kamu?"

Erina menggigit bibirnya. "Aku memang salah, Mas. Tapi ini... ini anak kamu. Kita bisa buktikan lewat test DNA kalau kamu gak percaya. Tapi tolong, Mas, biarkan aku tinggal di sini."

"Tempatmu itu di penjara, Rin," gumam Tama. "Bukan di rumah ini."

Erina menggeleng cepat. "Tapi Mas... aku udah dibebaskan. Yudha udah ngaku. Aku gak bersalah."

"Yudha memang tolol," gumam Tama sambil memandang ke luar halaman, malas melihat wajah mantan istrinya. "Dan kamu lebih tolol lagi kalau mengira aku masih bisa percaya sama kamu."

Saat itu juga, kilat menyambar langit. Hujan mengguyur makin lebat. Erina berdiri kaku, tubuhnya gemetar karena udara dingin dan tekanan batin yang menghimpit. Perutnya terasa sedikit nyeri karena terlalu lama berdiri dalam keadaan menggigil.

Tama hendak menutup pintu ketika suara langkah mendekat terdengar dari dalam rumah.

"Biarkan dia masuk, Mas."

Tama menoleh cepat. Di ambang pintu belakangnya, berdiri Kemala dengan piyama tidur berwarna pastel, rambut dikuncir sederhana, dan wajah datar tanpa ekspresi bersimpati.

"Kemala, tapi dia..."

"Aku tahu," potong Kemala pelan. "Aku tahu dia jahat.

Sangat jahat dan licik. Tapi lihat dia sekarang..." Kemala melirik ke arah Erina yang menggigil. "Dia hamil, kehujanan, gak punya tempat tinggal."

Lalu Kemala menoleh ke arah Tama. "Anggap aja kita nolong gelandangan."

Ucapan itu seperti tamparan keras bagi Erina.

Napasnya tercekat, seolah tenggorokannya menelan bara.

Matanya membelalak tak percaya. "Apa?!"

Kemala menatap Erina dingin. "Dzolim kalau kita biarkan pengemis ini kelaparan dan kedinginan. Biarkan dia masuk, tapi jika dia macam-macam, aku sendiri yang akan menyeretnya!" tegas Kemala dengan tatapan tajam dan datar. Kata-katanya begitu menusuk sanubari. Tak ada rasa hormat lagi, bagi Kemala, Erina adalah orang lain saat ini.

Mulut Erina gemetar. Ingin marah. Ingin berteriak. Tapi lidahnya kelu. Dia tahu-dia butuh rumah ini. Butuh tempat berteduh, dan butuh kesempatan kedua. Ia tidak bisa menantang Kemala sekarang. Tama masih terlihat ragu, namun akhirnya menghela napas panjang. "Terserah kamu, Sayang. Tapi jangan harap aku bisa bersikap baik sama dia."

Kemala mengangguk, lalu menyingkir ke samping, membiarkan pintu terbuka lebar. "Masuklah."

Erina dengan tubuh basah kuyup melangkah masuk ke dalam rumah yang dulu begitu akrab dengannya. Setiap sudutnya menyimpan kenangan-kenangan manis yang perlahan berubah jadi pahit. Ia menatap sekeliling, aroma rumah ini masih sama, tapi suasananya jauh berbeda.

Tidak ada senyum Tama. Tidak ada sambutan hangat. Hanya hawa dingin yang menusuk tulang, dan tatapan mata Kemala yang tajam.

Kemala menyodorkan handuk dan pakaian tidur hangat. "Kamarmu di belakang!" Kamar tamu depan sudah ada isinya!"

Erina tercengang. "Ada yang mengisi di kamar tamu depan? Siapa yang tinggal disini? Apa Mang Asep atau karyawannya Tama?" batinnya.

Kebingungannya terjawab saat pandangannya langsung tertuju pada sosok pria yang muncul dari balik ruang makan. Tubuh tegap, wajah penuh luka yang mulai mengering, dan tatapan mata yang tak asing.

"Ka-kamu...?" suara Erina tercekat.

Vino berdiri di hadapannya. Diam. Tatapannya menusuk tajam ke arah wanita yang dulu ikut membuat kakaknya menjadi pelarian dan kini duduk dengan wajah menang seperti pahlawan yang pulang dari peperangan.

"Lama gak ketemu, Mbak Erina," ucap Vino pelan,

Tapi dinginnya menyaingi hujan di luar.

Erina tercekat. Tubuhnya menegang. Rahangnya mengatup rapat. Tak disangkanya-Vino berada di rumah ini.

"Tante pasti kenal dengan Vino, dia adik dari pacar Tante 'kan?" sindir Kemala. "Vino untuk sementara akan tinggal disini sampai dia mendapatkan kostan baru. Jadi bersikap baiklah pada Vino!" tegas Kemala sambil mengapit tangan Tama lalu berjalan bersama naik ke lantai atas menuju kamar mereka.

Erina masih bergeming. Ia menatap Vino dengan penuh keterkejutan.

"Ka-kamu... Bagaimana bisa ada disini?" tanya Erina. Dia belum tahu jika sebenarnya Vino beberapa hari disekap oleh Angel. Bahkan Erina sendiri tidak tahu jika Yudha, kekasihnya itu juga di bawah kuasa Angel-musuh bebuyutannya.

"Gak penting untuk aku menjelaskan kenapa aku ada di sini? Yang pastinya, kau senang 'kan karena bisa bebas. Bagaimana rasanya jika dicintai begitu besar oleh seseorang? Benar kata Om Tama, Abang-ku itu tolol, mau-maunya berkorban demi wanita sepertimu!"

Erina melotot. Geram mendengar ucapan tidak sopan dari laki-laki yang dulu begitu patuh padanya dan juga kakaknya itu. Pria yang dulu seperti kacung abangnya sendiri. Tapi sekarang, pria itu ada di rumah ini dan sok berkuasa. Gaya bicaranya sama seperti Kemala, tak sopan dan menyebalkan bagi Erina.

"Beraninya kau menghinaku di rumahku sendiri!"

Erina mengepalkan tangannya, wajahnya merah padam.

Vino tersenyum sinis. "Rumahmu? Hahha... Mimpi kau, Mbak. Bahkan Kemala dan Om Tama saja menganggapmu seperti pengemis. Mereka menerimamu karena kasihan."

"DIAM!! Tahu apa kamu, hah? Aku masih istrinya Tama. Pernikahan kami masih tercatat di KUA. Kemala hanya istri siri, akulah yang lebih berhak atas Tama dan rumah ini!"

Erina kembali menunjukkan topeng aslinya.

Bukannya intropeksi dan berterima kasih karena sudah diberi tumpangan untuk tinggal, dia malah menjelekkan Kemala dan bersikap seolah dirinya Nyonya di rumah ini.

Vino menegak minumannya hingga kandas kemudian tersenyum tipis. Pria itu enggan meladeni wanita yang ia anggap gila itu. Erina benar-benar tidak tahu diri. Dan ia janji tidak akan terpengaruh sedikitpun dengan ucapan wanita yang telah membuat kakaknya tergila-gila itu.

"Heh, Vino! Mau kemana kamu? Kita belum selesai bicara!" Erina berteriak memanggilnya. Namun Vino tampak acuh dan melenggang begitu saja menuju kamar tamu.

"Aargghh... Sial! Si Vino ada disini tapi gak berguna! Dia malah berani menghinaku. Harusnya kan dia cari kesempatan. Dasar bodoh!"

Deras hujan mengguyur malam itu. Butirannya jatuh dengan irama yang nyaris membungkam suara-suara lain. Namun di dalam kamar yang lampunya temaram, suara lain menggema-lembut, memabukkan, dan sengaja dibiarkan keluar melewati celah pintu yang tidak tertutup rapat.

Kemala berbaring di ranjang, rambutnya terurai, matanya setengah terpejam. Kulitnya bersinar dalam pancaran cahaya lampu yang samar. Tama menatapnya dalam-dalam, lalu menunduk perlahan, menyentuh kening gadis itu dengan bibirnya.

"Kalau kau terus melihatku seperti itu..." Kemala berbisik serak, "...aku bisa meleleh."

Tama terkekeh lirih. "Kalau kau terus mende-sah seperti tadi, rumah ini bisa terbakar."

"Biar saja. Semakin malam, semakin panas. Aku suka, Mas," ucap Kemala genit.

Wanita itu menarik suaminya mendekat. "Biarkan terbakar. Biar rumah ini akan jadi neraka... untuk dia yang tak pantas tinggal disini."

Tama tersenyum. Ia tahu maksud dari istrinya itu. Kemala tidak serta merta menerima Erina begitu saja.

Kekecewaan mereka atas bebasnya Erina kini dibalas dengan cara yang lain oleh Kemala. Wanita itu ingin membuat Erina merasa tidak betah dan pada akhirnya keluar sendiri dan pergi dari kehidupan mereka.

De-sah tertahan keluar lagi dari bibir Kemala. Ia tak lagi menyembunyikannya. Ia ingin Erina mendengar, menyadari, dan merasa seperti orang asing yang mengintip bahagia yang tak bisa ia miliki.

Suara ranjang bergeser pelan. Aroma hujan bercampur dengan aroma tubuh dua manusia yang sedang

Menyulam dendam menjadi ga i rah. Jemari Tama menyusuri sisi wajah Kemala, turun ke leher, lalu menelusuri tulang sela-ngka yang bergetar karena napas yang semakin tak beraturan.

"Kaulah rumahku sekarang," ujar Kemala sambil menahan gemetar. "Bukan rumah ini. Bukan dia. Tapi kamu."

Tama meresponnya dengan kecupan panjang di tengkuk, membuat Kemala kembali mengeluarkan suara. Tidak keras, tapi cukup jelas jika seseorang di luar kamar menajamkan telinga. Dan ia tahu, Erina sedang menguping saat ini.

"Aaahh, Mas..."

"Ouchh, Sayang. Aaahhh..."

Desa-han yang saling bersahutan menjadi irama syahdu di malam dingin yang kini terasa panas itu. Mereka menyatu dalam ga i rah yang tak tertahankan.

Langkah kaki terdngar menjauh dari pintu kamar utama di lantai dua itu. Erina menutup mulutnya, berdiri dengan gelisah. Ia mendengar desa-han itu lagi-lebih nyaring, lebih lama. Ia tahu suara itu. Ia tahu bekas suaminya, dan ia tahu juga siapa perempuan yang kini ada dalam pelukannya. Hatinya menghitam seketika.

Erina memejamkan mata. Nyeri, sesak dan marah bercampur jadi satu. Harusnya dirinya yang ada di kamar itu, bukan Kemala.

Di dalam kamar, Kemala membalik tubuhnya. Kini ia di atas, menatap Tama dengan tatapan menyala. Hujan yang mengguyur atap menambah irama latar yang syahdu.

Ia mengangkat dagunya sedikit, memperdengarkan suara napasnya yang berat ke arah pintu kamar yang terbuka separuh.

"Biarkan dia mendengar," bisiknya di telinga Tama.

"Aku ingin dia tahu rasanya kehilangan."

"Lakukan, Sayang. Lakukan sepuasmu! Keluarkan de-sahmu, Sayang. Keluarkan dengan keras!"

Tama menatap Kemala penuh nafsu yang membara, lalu menariknya turun dalam pelukan. Napas mereka menyatu, gerak mereka selaras, dan desa-han kembali menggema. Tapi tidak li ar. Ini adalah simfoni dari dua jiwa yang menyatu, bukan sekadar tubuh. Namun dalam tiap gerak dan suara, Kemala menyisipkan satu rasa: kemenangan.

Dari balik pintu, Erina menggigit bibir. Suara ran jang yang bergoyang, suara desa-han yang makin tinggi, seolah menampar harga dirinya berkali-kali. Ia melangkah mundur, dadanya bergemuruh, matanya menyipit menahan amarah yang mulai mendidih. Ia tahu Kemala sengaja.

Dan memang benar.

Ketika hujan belum juga reda, dan malam makin larut, suara dari kamar itu belum juga berhenti. Kemala ingin mencetak luka di hati Erina. Luka yang tak bisa disembuhkan dengan harta atau tipu daya.

Dan di luar kamar, Erina akhirnya tak tahan. Dengan langkah cepat, ia kembali ke kamarnya. Ia kalah. Setidaknya malam ini, ia kalah oleh suara desa-han yang sengaja dikumandangkan untuk menghancurkan

Keangkuhannya.

Dan Kemala? Ia tersenyum di pelukan Tama. Di antara hujan yang terus mengguyur, ia tahu: ini adalah awal dari neraka yang ia ciptakan sendiri. Neraka untuk seorang tante jahat yang pernah menjadikannya yatim piatu demi kekuasaan.

Mentari pagi menerobos masuk lewat jendela dapur yang terbuka sebagian. Aroma tumisan bawang dan wangi nasi yang mengepul dari rice cooker memenuhi ruangan. Di tengah suasana hangat itu, Kemala dan Tama tampak serasi. Tertawa kecil, bercanda mesra dan berbagi tugas. Tama mengaduk sup, sementara Kemala sibuk memotong wortel.

Erina berdiri beberapa langkah dari ambang dapur, memeluk perutnya yang mulai membuncit. Matanya tak lepas menatap punggung Tama yang dulu begitu lekat dalam hidupnya. Dulu, laki-laki itu miliknya penuh perhatian, penyayang, bahkan terlalu sabar. Tapi sekarang? Ia seperti orang asing yang tak segan menyayatnya dengan tatapan tajam dan kata-kata dingin.

"Boleh aku gabung? Aku bantu, ya," ujar Erina dengan senyum dibuat-buat, mencoba menyisipkan dirinya ke dalam suasana yang tidak menyisakan ruang untuknya.

Tama menoleh cepat, suaranya datar namun tegas.

"Kau duduk saja. Kau kan tamu. Jangan bersikap seolah Nyonya di rumah ini."

Erina terkesiap, tapi ia tetap berdiri.

"Kamu harus tahu batasan. Kemala menerimamu

Bukan berarti dia memaafkanmu. Dia hanya kasihan pada bayi dalam kandunganmu," lanjut Tama tanpa ragu. "Pergilah, jangan ganggu kami! Aku akan memanggilmu nanti setelah masakan matang!"

Perkataan itu seperti pisau. Tidak, lebih tajam dari itu. Ia menusuk dada Erina, menghancurkan sisa harga diri yang masih bertahan. Dulu, Tama begitu lembut, bahkan tak pernah meninggikan suara. Tapi kini, satu-satunya yang ia beri kelembutan adalah Kemala-perempuan yang dulu hanya 'keponakan' baginya.

Dengan langkah gontai, Erina kembali ke kamar tamu. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan emosi yang menggumpal di tenggorokannya. Ia menyesal. Sangat. Membawa Kemala ke rumah ini sama saja membawa bom waktu yang kini telah meledak.

Siang mulai merangkak. Langit tampak cerah setelah semalam diguyur hujan deras. Tama dan Kemala pamit keluar untuk mengurus cafe yang belakangan ini terbengkalai. Sementara itu, Erina duduk sendirian di ruang tengah. Tapi tidak terlalu lama. Vino datang dari kamar atas dengan ransel kecil di punggungnya.

"Kamu mau ke mana?" tanya Erina.

"Ke rumah sakit. Lihat ibu," jawab Vino singkat, bahkan tidak menoleh sedikit pun.

Erina berdiri cepat, mencoba mendekat. "Tunggu, Vino. Kita harus bicara."

Vino menoleh, menahan napas. "Tentang apa lagi?"

"Kamu tahu kita bisa bekerja sama lagi. Aku butuh

Bantuanmu. Kamu juga butuh uang, kan? Aku bisa kasih lebih banyak dari yang pernah Yudha kasih," bujuk Erina setengah mendekat, nada suaranya seperti racun manis.

Tapi Vino hanya menatapnya datar. "Aku tidak butuh uangmu. Aku juga tidak butuh ikut permainanmu lagi."

"Kamu akan mendapatkan Kemala. Aku tahu kamu sangat mencintainya, Vin. Aku bisa membantumu."

Vino tersenyum miring. "Simpan saja semua rencanamu. Aku gak tertarik!"

"Dasar laki-laki bodoh. Pengecut!" cibir Erina geram.

Vino tak merespon. Ia keluar rumah, membuka ponselnya dan menghampiri taksi online yang baru saja datang. Sebelum pergi, ia sempat menoleh sebentar ke arah rumah, lalu kembali melangkah.

Erina menatap kepergian Vino dari balik tirai jendela.

Napasnya memburu. Sekarang tak ada siapa pun di rumah. Ia sendiri.

Jam dinding menunjukkan pukul satu siang. Erina duduk santai di ruang keluarga, menyalakan televisi dan membuka toples berisi biskuit coklat. Kakinya diselonjorkan ke meja, seperti dulu-saat rumah ini masih miliknya, dan Tama masih menjadi suaminya yang selalu mengingatkan agar jangan makan sambil tiduran.

"Baru talak. Masih bisa diperbaiki," gumamnya sambil mengelus perut. "Tama akan jadi milikku lagi."

Ia menatap langit-langit, membayangkan skenario ideal yang selalu ia impikan. Tama akan luluh. Ia akan

Mengusir Kemala. Lalu mereka kembali bersama, membesarkan anak ini, dan bahagia seperti dulu.

"Dan bayi ini... dia akan jadi pengikat. Tama pasti akan kembali. Aku tahu dia masih punya cinta yang besar untukku. Dia hanya sedang marah dan menjadikan Kemala sebagai pelampiasan," bisiknya sambil tersenyum.

Tapi senyum itu tak bertahan lama.

Tiba-tiba, suara ketukan di pintu memecah suasana tenang itu. Erina berdiri dengan malas, membuka pintu.

Seorang kurir berseragam coklat berdiri dengan amplop di tangan.

"Surat untuk Bu Erina," ucapnya singkat.

Erina menerima amplop itu dengan dahi berkerut.

Amplop coklat dengan stempel resmi. Setelah menutup pintu, ia duduk kembali dan mulai membuka lipatan amplop itu. Matanya menelusuri baris demi baris isi surat tersebut.

Dan dunia terasa berhenti.

"Surat panggilan sidang perceraian..."

Tangannya gemetar. Surat itu dari pengadilan agama.

Tertulis jelas: sidang pertama akan digelar minggu depan.

Nama Tama tertera sebagai penggugat. Nama Erina sebagai tergugat.

"A-Apa ini...? Tidak mungkin..." bibirnya bergetar.

Ia membaca ulang surat itu, berharap ia salah baca.

Tapi tidak. Tama benar-benar telah mengajukan gugatan resmi. Talak itu bukan hanya sekadar ucapan emosi-tapi jalan akhir yang sedang ia tempuh dengan kesadaran penuh.

Erina terjatuh ke sofa, matanya nanar menatap surat di tangannya. Segala keyakinan yang tadi ia bangun, kini runtuh seperti debu yang disapu angin. Tama sudah benar-benar ingin melepasnya. Tidak ada lagi ruang untuk memperbaiki. Tidak ada lagi harapan untuk kembali.

***

1
Nunung Sutiah
Aku nangis baca bab ini. Yola dan Rendra. 😭😭😭
Hasri Ani: 😁😁😁 kuat bund
total 1 replies
Rika Anggraini
karma itu nyata
aku
jahat gk sih aq ngetawain ningsih 🤣🤣🤣
Herta Siahaan
Erina memang sangat salah dan jahat.. tapi kemala dan tama jg lebih jahat. dan hasil dari keserakahan Erina dan dendam Kemala dan tama adalah anak dalam kandungan jd korban tdk jelas status nya dan kalau sdh lahir akan kena bully jd anak haram. nah Vino sebagai adik Yuda jg g sadar telah ikut terlantar kan keturunan Abang nya. intinya sianak yg jd korban
Happy Kids
ya kan.. silau harta emang. ujung2nya duit
Happy Kids
emang yaa ga bsa dibaikin dikit. bsa jd subagya dijebak atau digoda
Towa_sama
Wah, cerita ini seru banget, bikin ketagihan!
✨HUEVITOSDEITACHI✨🍳
Ngakak banget!
im_soHaPpy
Datang ke platform ini cuma buat satu cerita, tapi ternyata ketemu harta karun!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!