Jaka, pemuda desa yang tak tahu asal-usulnya, menemukan cincin kuno di Sungai Brantas yang mengaktifkan "Sistem Kuno" dalam dirinya.
Dibimbing oleh suara misterius Mar dan ahli spiritual Mbah Ledhek, ia harus menjalani tirakat untuk menguasai kekuatannya sambil menghadapi Bayangan Berjubah Hitam yang ingin merebut Sistemnya.
Dengan bantuan Sekar, keturunan penjaga keramat, Jaka menjelajahi dunia gaib Jawa, mengungkap rahasia kelahirannya, dan belajar bahwa menjadi pewaris sejati bukan hanya tentang kekuatan, tetapi tentang kebijaksanaan dan menjaga keseimbangan dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ali Jok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RAHASIA DALAM DEBU
Pernahkah kalian merasa bahwa menjadi pahlawan itu seperti mencoba membawa telur di atas sendok sambil lari marathon? Kelihatannya mungkin, tapi pada kenyataannya, kalian hanya menunggu saat semuanya berantakan. Itulah yang kurasakan saat ini, berdiri di balkon kamar Eyang Retno, menatap kerusakan di Padepokan Tirta Amarta. Matahari pagi menyinari puing-puing yang berserakan, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang terlihat seperti hantu-hantu yang masih berkeliaran.
"Keluarga kita sendiri."
Kata-kata terakhir Eyang Retno sebelum tertidur masih bergema di kepalaku seperti nyanyian yang tersangkut. Aku memandangnya sekarang, tidur nyenyak dengan wajah yang akhirnya tenang setelah pertempuran mengerikan di dalam pikirannya sendiri. Dadanya naik turun secara teratur, dan untuk pertama kalinya sejak aku tiba di sini, dia terlihat damai. Tapi kedamaian ini terasa rapuh, seperti es tipis di atas danau yang siap retak kapan saja.
"Pemindaian vital selesai. Kondisi Eyang Retno stabil. Racun nekrotik telah dinetralisir 99%. Namun, ada anomali energi di area perpustakaan yang membutuhkan investigasi segera."
"Aku dengar, Mar," gumamku dalam hati sambil mengusap mata yang terasa berat seperti diberi pemberat. "Tapi bisakah kita menunda lima menit? Rasanya seperti baru saja berlari maraton sambil digebuki raksasa dan diminta langsung mengerjakan ujian matematika."
Sekar mendekat, berdiri di sampingku. Matanya masih bengkak, tapi sudah lebih tenang. "Aku terus memikirkan kata-kata Eyang," katanya, suaranya serak seperti orang yang baru menangis berjam-jam. "'Keluarga kita sendiri'... Apa maksudnya? Siapa yang dia maksud?"
Aku menarik napas dalam, menghirup udara pagi yang dingin. "Mar mendeteksi sesuatu yang aneh di arsip perpustakaan. Seperti ada yang disembunyikan tapi tidak cukup baik untuk menyembunyikannya dari sistem ini."
Dia mengangguk pelan, wajahnya menunjukkan campuran antara harapan dan ketakutan. "Mari kita periksa. Tapi... aku tidak yakin apakah aku siap dengan apa yang akan kita temukan. Kadang-kadang, beberapa rahasia lebih baik tetap tersembunyi."
Perpustakaan Padepokan Tirta Amarta adalah tempat yang membuat perpustakaan sekolahku terlihat seperti toko mainan modern. Di sini, waktu terasa berbeda, seperti terjebak dalam gelembung zaman dimana pengetahuan masih ditulis dengan tangan dan dijilid dengan kulit. Bau kertas tua dan kayu cendana menciptakan aroma kebijaksanaan atau mungkin sekadar bau benda yang terlalu tua untuk dipegang tanpa bersin-bersin.
"Wow," kataku, mengusap debu dari sebuah meja kayu besar yang penuh dengan ukiran rumit berupa naga dan burung phoenix. "Tempat ini lebih sunyi daripada ruang ujian matematika saat guru membagikan kertas ujian."
Sekar mengeluarkan senyum kecil, pertama kalinya sejak kami kembali dari Gunung Lawu. "Eyang selalu bilang, perpustakaan adalah hati padepokan. Di sinilah semua rahasia kita disimpan dan kadang-kadang, di sinilah semua rahasia terkubur."
Dia menuju rak tertinggi dan dengan hati-hati menarik sebuah buku besar yang terikat kulit. Bukit itu begitu berat sampai Sekar hampir terjatuh saat mengangkatnya. "Ini silsilah keluarga besar padepokan. Mari kita lihat apa yang bisa kita temukan."
Saat tanganku menyentuh sampul buku yang dingin dan berdebu, sesuatu yang aneh terjadi. Cincinku mulai berdenyut pelan, seperti detak jantung yang semakin cepat. Denyutannya terasa hangat di jari manisku, seolah-olah memperingatkan sesuatu.
"Peringatan: Terdeteksi energi residu kuat di dokumen ini. Sepertinya ada kenangan yang tertinggal, seperti foto lama yang masih menyimpan emosi dari masa lalu."
"Ada sesuatu di buku ini," bisikku pada Sekar, mencoba tidak terdengar terlalu dramatis. "Mar bisa merasakannya, seperti hantu yang terperangkap dalam halaman-halaman ini."
Dia membuka halaman pertama dengan hati-hati, seolah-olah takut buku itu akan hancur di tangannya. Tulisan-tulisan indah terpampang di sana, menceritakan sejarah panjang keluarga padepokan dalam tinta emas dan perak. Tapi saat kami membalik ke halaman tentang dua puluh lima tahun lalu, sesuatu yang aneh terlihat.
"Lihat," kata Sekar, jarinya menunjuk sebuah bagian yang terlihat berbeda dari yang lain. "Seperti ada yang dihapus di sini—dengan sengaja."
Dia benar. Beberapa baris terlihat kabur dan tidak jelas, seolah-olah tintanya sengaja diencerkan atau dihapus dengan sangat hati-hati. Yang tersisa hanya bayangan-bayangan kata yang hampir tak terbaca.
"Pola penghapusan ini terlalu rapi untuk menjadi kecelakaan, Jaka. Seseorang berusaha menyembunyikan sesuatu dengan profesional, seperti detektif yang menghapus jejak di TKP."
Aku memberitahu Sekar apa yang Mar katakan. Wajahnya semakin pucat, matanya penuh dengan pertanyaan yang tidak terucap. "Coba kita sentuh bagian yang rusak ini," sarannya, suaranya bergetar sedikit. "Mungkin... mungkin ada sesuatu yang bisa kita rasakan."
Saat jari-jariku menyentuh halaman yang rusak itu, dunia di sekitarku mulai berubah. Debu di udara tiba-tiba berkilauan, dan suara-sepu di perpustakaan memudar digantikan oleh bisikan angin dan kicauan burung.
Aku tidak lagi di perpustakaan. Sekarang aku berdiri di taman padepokan, tapi semuanya terlihat berbeda lebih muda, lebih cerah, dan penuh kehidupan. Dua orang sedang bertengkar sengit di bawah pohon beringin besar yang rindang. Matahari bersinar terik, dan aroma bunga memenuhi udara.
Yang satu adalah Eyang Retno muda, wajahnya masih memiliki kerutan yang sama di dahi ketika marah, tapi tubuhnya lebih ramping dan penuh energi. Rambutnya yang hitam terkumpul dalam sanggul rapi, dan matanya berapi-api dengan emosi. Yang lain adalah lelaki yang wajahnya mirip dengannya, tapi dengan mata yang lebih tajam dan sehelai rambut putih mencolok di antara rambut hitamnya, seperti salju pertama di musim dingin.
"Kau terlalu naif, Retno!" kata lelaki itu, dan aku langsung merinding. Suaranya... itu suara Figur Bertopeng Emas, tapi tanpa distorsi topeng, lebih muda dan penuh gairah. "Kekuatan yang ditawarkan Sang Tuan bisa mengubah segalanya! Kita tidak perlu hidup dalam bayang-bayang tradisi kuno ini!"
"Dan harga yang harus dibayar terlalu tinggi, Bramantya!" balas Eyang Retno muda, matanya berkaca-kaca tapi penuh tekad. Tangannya mengepal erat di samping tubuhnya. "Aku tidak akan pernah mengorbankan mereka untuk ambisimu! Keluarga kita, padepokan kita, ini yang penting!"
Bramantya. Nama itu menggema di kepalaku seperti lonceng kematian. Aku melihat bagaimana dia melangkah mendekati Eyang Retno, wajahnya berubah dari marah menjadi manipulatif.
"Kau tidak mengerti, adikku," katanya, suaranya tiba-tiba menjadi lembut seperti sutra. "Ini untuk kebaikan kita semua. Dengan kekuatan Sang Tuan, kita bisa melindungi padepokan lebih baik dari sebelumnya."
Tapi Eyang Retno muda menggeleng, air mata akhirnya mengalir di pipinya. "Tidak, Bramantya. Kekuatan yang didapat dengan pengkhianatan bukanlah kekuatan, itu adalah kutukan."
Vision itu menghilang begitu cepat sehingga aku terjatuh ke kursi, kepala berdenyut-denyut seperti baru ditabrak truk. Dunia berputar-putar, dan untuk beberapa detik, aku tidak yakin di mana aku berada.
"Jaka! Apa yang terjadi?" Sekar berjongkok di sampingku, tangannya memegangi bahuku dengan erat. "Kau tiba-tiba pucat dan... dan bicara sendiri!"
"Bramantya," kataku, napasku tersengal. "Aku melihat Eyang Retno muda bertengkar dengan seseorang bernama Bramantya. Dan... itu suara Figur Bertopeng Emas! Mereka bersaudara!"
Sekar tampak seperti melihat hantu. Wajahnya pucat, matanya membesar seperti piring. "Bramantya... Ki Lurah Bramantya. Tapi... itu tidak mungkin. Dia tewas dalam kecelakaan latihan dua puluh lima tahun yang lalu. Aku hanya mengenalnya dari cerita dan foto-foto lama."
Kami saling memandang, sama-sama mencerna kenyataan mengerikan yang baru saja terungkap. Jika Bramantya adalah Figur Bertopeng Emas, berarti selama ini pengkhianatnya adalah saudara kandung Eyang Retno sendiri, paman yang seharusnya melindungi Sekar. Ini seperti menemukan bahwa orang yang paling dipercaya ternyata adalah dalang dari semua masalah.
"Konfirmasi: Ki Lurah Bramantya adalah saudara laki-laki tertua Eyang Retno. Tapi ada yang tidak beres dengan catatan kematiannya, Jaka. Terlalu banyak ketidakonsistenan tanggal, lokasi, bahkan saksi matanya tidak jelas."
Suara lemah tiba-tiba terdengar dari pintu. "Kalian sudah mengetahuinya, ya?"
Eyang Retno berdiri di ambang pintu, bersandar pada bingkai pintu. Wajahnya masih pucat, tapi matanya jernih dan penuh kesedihan yang dalam, seperti seseorang yang telah membawa beban terlalu lama dan akhirnya siap untuk meletakkannya.
"Eyang!" Sekar berlari memeluknya, suaranya penuh dengan campuran rasa lega dan sedih. "Kau seharusnya istirahat!"
"Beberapa kebenaran tidak bisa menunggu untuk disembuhkan, Sayang," jawab Eyang Retno lembut sambil membelai rambut cucunya. Dia menatapku, dan dalam matanya, aku melihat pengakuan dan permintaan maaf. "Bramantya," bisiknya, seperti menyebut nama hantu.
Dia duduk di antara kami, napasnya masih terengah-engah tapi penuh dengan tekad untuk menceritakan kebenaran. Dengan suara parau, dia mulai bercerita tentang saudara laki-lakinya yang brilliant tapi terlalu ambisius, yang tergoda oleh janji kekuatan dari Sang Tuan.
"Dia selalu yang terpintar di antara kami," kata Eyang Retno, matanya menerawang ke masa lalu. "Tapi kepintarannya itu yang akhirnya menghancurkannya. Dia mulai membaca naskah-naskah terlarang, mempelajari ilmu yang seharusnya tidak disentuh."
"Dialah yang memberitahu lokasi persembunyian orang tuamu, Jaka," lanjutnya, matanya berkaca-kaca. Dia memandiku dengan penyesalan yang dalam. "Aku... aku tidak bisa menghentikannya. Dia seperti angin topan, menghancurkan segala sesuatu yang disentuhnya, termasuk keluarga kita sendiri."
Aku menggenggam tangannya yang dingin. "Bukan salahmu, Eyang. Kau sudah melakukan yang terbaik yang bisa kaulakukan. Terkadang, mengkhianati orang yang kita cintai justru membutuhkan keberanian yang berbeda."
Tapi kemudian, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Saat Eyang Retno berbicara, Mar tiba-tiba memberikan analisis baru yang membuat darahku membeku.
"Pemindaian energi mendalam menunjukkan sesuatu yang mengkhawatirkan, Jaka. Jejak energi Bramantya masih aktif dan... bergerak. Dia saat ini berada di area Gunung Merapi. Dan ada sesuatu yang lain, energi yang lebih tua dan lebih gelap yang mengendalikannya seperti wayang. Tingkat bahaya: ekstrem."
Gunung Merapi. Namanya saja sudah cukup untuk membuatku merinding. Tempat yang membuat semua cerita horor yang pernah kudengar terlihat seperti dongeng pengantar tidur. Gunung yang konon menjadi tempat bersemayamnya kekuatan-kekuatan tertua di Jawa.
Aku memandang Eyang Retno dan Sekar, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang tiba-tiba menguasai diriku. "Dia ada di Merapi. Kita harus menghadapinya, sebelum dia melakukan sesuatu yang lebih buruk."
Sekar mengangguk, matanya berbinar dengan tekad baru yang mengingatkanku pada Eyang Retno muda yang baru saja kulihat dalam vision. "Bersama-sama. Seperti keluarga seharusnya, melindungi satu sama lain, bukan mengkhianati."
Tapi yang tidak kukatakan pada mereka adalah betapa takutnya aku. Jejak energi yang lebih tua dan lebih gelap itu, Sang Tuan, membuat Bramantya terlihat seperti anak kecil yang bermain dengan mainan berbahaya. Ini seperti memburu ular, hanya untuk menemukan bahwa ular itu sebenarnya dikendalikan oleh naga.
Saat kami meninggalkan perpustakaan, aku menyadari sesuatu yang penting: ini bukan lagi tentang menyelamatkan satu orang atau satu tempat. Ini tentang mengungkap kebenaran yang telah disembunyikan selama puluhan tahun, dan menghadapi monster yang telah kita ciptakan sendiri, monster yang lahir dari pengkhianatan dan ambisi.
Dan seperti kata Mbah Ledhek: "Kebenaran itu seperti pedang bermata dua, bisa menyembuhkan atau melukai, tergantung bagaimana kau memegangnya."
Sekarang, terserah pada kita bagaimana menggunakan pedang itu. Tapi satu hal yang aku tahu setelah ini, tidak ada satu pun dari kita yang akan menjadi sama lagi. Beberapa kebenaran, sekali diketahui, tidak bisa tidak diketahui.
Aku memandang Gunung Merapi di kejauhan. Puncaknya yang menjulang tinggi terlihat seperti mahkota duri di atas kepala pulau Jawa. Dan di suatu tempat di sana, musuh keluarga kami sedang menunggu, mungkin sudah tahu bahwa rahasianya akhirnya terbongkar.
Pertempuran berikutnya tidak akan seperti sebelumnya. Ini akan menjadi perang keluarga, dan seperti semua perang keluarga, ini akan menjadi yang paling berdarah.
Walaupun latar belakangnya di Indonesia, tapi author keren gak menyangkut-pautkan genre sistem dengan agama🤭
bantu akun gua bro