"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."
Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."
~ Serena Azura Auliana~
:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+
Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.
Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.
Mimpi Buruk
“Waktu tak benar-benar menyembuhkan luka, ia hanya menenun kenangan disela perih, hingga rasa sakit tak lagi terasa asing di hati.”
\~ Serena Azura Auliana \~
***
Begitu matanya terpejam, Serena masuk ke dalam dunia yang terasa tidak asing sama sekali. Warna-warna abstrak berputar, membentuk pemandangan yang tampak nyata. Dia berdiri di padang rumput luas, langit di atasnya berpendar dalam gradasi biru keunguan, seperti senja yang tak berkesudahan. Angin bertiup pelan, membelai rambutnya, membawa aroma yang menenangkan.
Di kejauhan, Serena melihat seorang wanita dengan gaun panjang berwarna putih berdiri sambil menatap ke arahnya dengan pandangan kosong. Serena mengenali sosok itu. Dia adalah ibunya.
Saat itu juga Serena merasakan jantungnya berdegup dengan kencang. Dadanya sesak oleh perasaan yang bercampur aduk—rindu, haru, dan kebingungan.
"Ibu?" bisiknya, suara itu hampir tenggelam oleh desir angin.
Serena mengangkat tangannya, mencoba menggapai sosok yang sudah lama tidak ia temui. Hati kecilnya meronta-ronta. Ia ingin sekali menyentuh, memeluk, dan merasakan kembali kehangatan yang telah lama hilang dari hidupnya.
Semakin ia berusaha mendekat, bayangan itu justru semakin menjauh. Seakan-akan dunia menolak untuk mempertemukan mereka kembali, bahkan dalam mimpi sekalipun.
"Ibu! Jangan pergi!" Serena mempercepat langkahnya. Ia tak ingin menyerah sedikit pun.
Tiba-tiba, tanah di bawah kakinya runtuh tanpa peringatan. Membuat gadis itu tersentak, namun sudah terlambat, ia sudah meluncur jatuh ke bawah dengan cepat, seolah tersedot oleh suatu kekuatan yang tak kasat mata.
Serena berulang kali berteriak, tetapi suaranya selalu lenyap, ditelan kesunyian di sekitarnya. Sampai akhirnya, ia mendarat di sebuah tempat asing yang terasa mencekam. Tempat itu berbanding terbalik dengan hamparan luas yang sebelumnya ia lihat.
Udara di tempat ini terasa lembab, dinding-dindingnya tua dan berjamur. Lampu temaram berkedip-kedip terus-menerus, menciptakan bayangan menyeramkan di lorong sempit yang membentang di depannya. Hawa dingin merayap di setiap inci kulitnya, membuat bulu kuduk meremang seketika.
Serena mengedarkan pandangan, mencari jalan keluar. Namun, dia tidak menemukan apa pun, selain sebuah tangga kayu tua yang mengarah ke lantai atas. Tapi, dia melihat seberkas cahaya di atas sana, mungkin saja itu jalan keluar yang dia cari. Tak punya pilihan lain, ia memutuskan untuk memeriksanya terlebih dahulu.
Setibanya di lantai atas, pandangan Serena kini tertuju pada sebuah pintu kamar yang terbuka. Ada sesuatu yang membuatnya ingin masuk—atau lebih tepatnya, sesuatu yang memaksanya untuk masuk.
Dengan napas tertahan, Serena akhirnya memberanikan diri untuk masuk ke dalam kamar itu.
Apa yang dilihat Serena selanjutnya, berhasil membuat tubuhnya seketika membeku.
Dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat ibunya tergantung di langit-langit kamar, tali tambang menjerat lehernya dengan erat.
"I-Ibu." Suara Serena lirih terdengar, tercekik oleh gelombang emosi yang menghantam dadanya. Saat itu juga, lututnya terasa lemas, ia terduduk di lantai yang dingin dengan tubuh yang gemetar hebat.
Apa yang sebenarnya sedang ia lihat saat ini? Serena mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanyalah mimpi. Namun, pemandangan di hadapannya begitu nyata, begitu menyesakkan, hingga rasa takut merayapi seluruh tubuhnya.
"Ini tidak nyata. Aku tahu ini hanya mimpi. Aku harus bangun ... Aku harus keluar dari sini," bisiknya, berusaha meyakinkan diri.
Serena terus berusaha membujuk dirinya untuk bangun dari tidur. Dia tidak ingin berlama-lama terjebak dalam mimpi buruk itu. Jantungnya terasa sakit karena harus melihat kondisi ibunya yang mengenaskan.
Terlepas dari perbuatan jahat ibunya di masa lalu, Serena tidak pernah menginginkan hal buruk terjadi pada ibunya. Dia hanya ingin ibunya bahagia dengan pilihan hidupnya sendiri.
Bulir-bulir bening terus mengalir deras di pipinya yang basah. Tangis pilunya tak bisa dibendung, dan isakannya terdengar menyayat hati. Tiba-tiba, suara yang tidak asing samar-samar terdengar di telinganya.
"Serena!"
Serena menoleh ke arah suara itu. Detik berikutnya, ia tersentak dan bangun dari mimpi buruk yang terasa panjang, dengan tubuh yang gemetar hebat.
"Serena, kamu kenapa? Apa kamu baru aja mimpi buruk?" tanya Lila dengan suara penuh kekhawatiran.
Serena tidak bisa menjawab. Tangisnya semakin menjadi-jadi. Bayangan ibunya yang tergantung di langit-langit kamar masih jelas terpampang di pikirannya. Dadanya kembali dihantam dengan rasa nyeri yang menyesakkan. Seakan-akan, mimpi buruk itu belum melepaskan cengkramannya.
Di sisi lain, Lila tidak tahu apa yang terjadi pada Serena saat tidur. Namun, dia bisa melihat bahwa gadis itu sedang tidak baik-baik saja. Pasti Serena baru saja mengalami mimpi buruk yang sangat menakutkan atau bahkan menyakitkan. Tetapi, mimpi buruk seperti apa yang bisa membuatnya sampai seperti ini? Dia hanya bisa mendengar rintihan Serena dalam tidur sambil terus memanggil nama ibunya.
Meski penasaran, Lila memilih untuk tidak mengganggu Serena. Dia membiarkan gadis itu meluapkan kesedihannya.
***
Serena butuh waktu untuk menenangkan diri hingga tangisnya benar-benar mereda dalam pelukan Lila. Matanya yang sudah sembap kini semakin menyipit seperti membengkak. Dengan lembut, Lila menepuk punggung temannya itu, memberi kehangatan tanpa banyak bertanya.
"Nggak apa-apa kalau kamu nggak mau cerita, Re. Aku paham kok. Nggak semua hal bisa kamu ceritain. Pasti kamu ada pertimbangannya juga. Tapi, kalau kamu udah mulai ngerasa nggak sanggup lagi untuk menanggung semuanya sendirian, kamu bisa datang dan cerita ke aku. Aku akan selalu siap mendengarkan ceritamu, meski aku nggak janji bisa kasih solusi atau bantuan," kata Lila, suaranya penuh ketulusan.
Serena melepaskan pelukannya, dan menatap Lila dengan mata yang masih berkaca-kaca. "Terima kasih, Lila. Itu udah lebih dari cukup bagiku. Selama ini, aku nggak punya siapa-siapa apalagi seseorang yang memeluk dan memperlakukanku seperti yang kamu lakukan. Perasaanku sudah lebih baik sekarang. Aku benar-benar bersyukur bisa ketemu sama kamu."
Lila merespons dengan mengulas senyum di bibirnya.
Saat itu juga, pintu kamar terbuka. Adhan masuk dengan langkah mantap, matanya langsung tertuju pada Serena. Raut wajah pria itu berubah sedikit khawatir saat melihat mata Serena yang kemerahan.
"Kamu habis menangis, Mbak? Apa ada yang sakit?" tanyanya dengan alis bertaut.
Serena buru-buru mengusap matanya dan tersenyum tipis. "Saya baik-baik saja, Mas. Tadi saya cuma mimpi buruk."
Lila mengangguk dengan cepat dan membenarkan. "Itu biasa terjadi saat seseorang sedang demam tinggi. Orang yang lagi demam tinggi, biasanya mimpinya aneh-aneh."
Adhan menatap Serena beberapa saat, seolah mencoba mencari kebenaran di balik kata-katanya. Namun, akhirnya dia menghela napas dan memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. "Baiklah, kalau begitu. Mbak sebaiknya beristirahat sampai benar-benar pulih. Dokter juga menyarankan agar Mbak mendapatkan istirahat yang cukup. Masalah cuti, Mbak nggak perlu khawatir, biar saya yang mengurusnya."
Serena menunduk sedikit, merasa canggung. "Tapi saya baru masuk kerja satu minggu lebih ... kalau saya meninggalkan pekerjaan begitu saja, bagaimana dengan perusahaan?"
"Mbak Re." Adhan menatapnya tajam, kali ini nada bicaranya serius. "Saya yang bakal ngurus semua itu, karena ini perusahaan saya. Saya bertanggung jawab atas kalian semua. Jadi, jangan terlalu memikirkan soal kantor. Yang penting sekarang, saya harap Mbak Re fokus dengan kesembuhan Mbak Re. Gimana pun juga, Mbak Re adalah bagian dari tim. Dzolim banget kalau saya sampai ngebiarin kalian sakit dan nggak peduli sama kondisi kalian."
Serena menggigit bibirnya, masih diliputi rasa bersalah.
Adhan melanjutkan, "Saya juga sudah merekrut staf tambahan untuk membantu. Lagi pula, kalau dipikir-pikir, pekerjaan kita memang sudah melebihi kapasitas. Mau tidak mau, perusahaan memang membutuhkan tambahan personel."
Meskipun perkataan Adhan terdengar seperti alasan semata, namun Serena merasa sedikit lebih tenang setelah mendengarnya. Setidaknya, ketidakhadirannya bukan menjadi alasan utama dari bertambahnya personel. Melainkan, karena alasan bahwa pekerjaan di kantor yang sudah melebihi kapasitas.
Adhan kemudian mengalihkan pembicaraan, tak ingin membuat Serena merasa terbebani lebih jauh atas keputusannya. "Apa Mbak sudah menghubungi keluarga Mbak, dan memberi tahu pada mereka mengenai kabar Mbak saat ini?"
Serena terdiam, ekspresinya berubah sendu. "Itu tidak perlu."
Jawaban itu membuat Lila dan Adhan saling bertukar pandang. Ada sesuatu yang terasa tidak beres, tetapi mereka memilih untuk tidak menggali lebih jauh.
"Baiklah," ujar Adhan akhirnya. Perhatian Adhan beralih ke Lila yang masih setia duduk di samping Serena. "Mbak Lila, Mbak bisa pulang, kapanpun yang Mbak mau. Saya akan minta orang lain untuk menjaga Mbak Serena."
"Tidak perlu sampai seperti itu, Mas Adhan. Saya lebih baik pulang ke rumah saja. Saya tidak ingin terlalu lama di rumah sakit," sahut Serena, dengan cepat menolak.
"Kalau Mbak pulang, apakah ada yang menunggu Mbak di apartemen, dan merawat Mbak sampai sembuh?"
Serena terdiam. Kata "pulang" terasa begitu asing di telinganya.
Jika dipikir kembali dan menerawang jauh ke belakang, rumah yang bagi sebagian orang adalah tempat beristirahat, justru terasa sunyi dan hampa bagi Serena. Setiap kali dia pulang, yang menyambutnya bukan kehangatan, melainkan keheningan dan dingin yang menusuk. Dinding-dinding bisu di sana menjadi saksi bahwa tempat yang disebut rumah tak selalu berarti tempat untuk benar-benar pulang.
Melihat raut wajah Serena yang mendadak sayu sekali lagi, Adhan merasa tak enak hati. Dia tidak pernah benar-benar tahu seperti apa kehidupan yang Serena jalani, tetapi jelas bukan kehidupan yang mudah—terbukti dari sorot matanya yang meredup saat topik keluarga dan rumah disebut.
"Maaf, Mbak. Bukan maksud saya membuat Mbak sedih," ujar Adhan pelan. "Saya hanya ingin memastikan saat Mbak memutuskan untuk pulang, ada yang merawat Mbak sampai benar-benar sembuh. Jadi, kalau memang nggak ada siapa-siapa di apartemen, bukankah lebih baik Mbak tetap di sini?"
Serena menelan ludah, menahan emosi yang kembali menyeruak. Dia menarik napas dalam, mencoba memahami maksud baik Adhan. Pria itu tidak salah, dan Serena tahu itu—bahwa Adhan sama sekali tidak berniat membuatnya merasa lebih buruk.
"Saya mengerti maksud Mas Adhan, dan saya sangat menghargainya. Hanya saja, saya tidak terbiasa diperlakukan sebaik ini secara percuma. Jadi, izinkan saya membalas budi di lain waktu."
Adhan menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. Yang terpenting saat ini adalah kesehatan Serena. Dia hanya perlu mengiyakan permintaan gadis itu. Soal apa yang akan terjadi selanjutnya, biar nanti didiskusikan bersama-sama.
"Baiklah, lakukan apa pun yang Mbak mau. Tapi untuk sekarang, saya cuma ingin Mbak fokus dengan kesembuhan Mbak."
Serena tersenyum tipis dan mengangguk pelan. Dia tidak akan membantah atau menolak lebih jauh. Dia bahkan berjanji pada dirinya sendiri, untuk membalas kebaikan Adhan suatu hari nanti.
Bagi Serena, janji ini adalah hutang, dan yang namanya hutang, wajib dibayar.
Di sisi lain, Lila yang sejak tadi hanya diam, menangkap sesuatu yang berbeda dalam cara Adhan memperlakukan Serena. Sepertinya, Adhan benar-benar menyukai Serena sebagai seorang perempuan.
Yang jadi masalahnya sekarang adalah ... Serena itu sudah memiliki tunangan, dan jelas terlihat bahwa dia benar-benar mencintai tunangannya tersebut.
Mereka terlibat dalam cinta segi tiga yang rumit, dan Lila merasa bersimpati pada Adhan. Dia menyadari bahwa posisi bosnya itu tidaklah menguntungkan. Dia jatuh cinta pada orang yang salah dan di waktu yang salah.
Bersambung
Sabtu, 23 Agustus 2025