“Gue gak akan pernah sudi nerima lo sebagai suami gue!”
“Saya tidak keberatan, Maha. Bagaimanapun kamu tidak menganggap, saya tetap suamimu.”
“Sialan lo, Sas!”
•••
Maharani tidak pernah meminta untuk terlibat dalam pernikahan yang mengikatnya dengan Sastrawira, pewaris keluarga Hardjosoemarto yang sangat tenang dan penuh kontrol. Sejak hari pertama, hidup Maha berubah menjadi medan pertempuran, di mana ia berusaha keras membuat Sastra merasa ilfeel. Baginya, Sastra adalah simbol patriarki yang berusaha mengendalikan hidupnya.
Namun, di balik kebencian yang memuncak dan perjuangannya untuk mendapatkan kebebasan, Maha mulai melihat sisi lain dari pria yang selama ini ia tolak. Sastrawira, dengan segala ketenangan dan kesabarannya, tidak pernah goyah meski Maha terus memberontak.
Apakah Maha akan berhasil membuat Sastra menyerah dan melepaskannya? Atau akankah ada simfoni tersembunyi yang mengiringi hubungan mereka, lebih kuat daripada dendam dan perlawanan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Mengharapkan Kehadiran Pria Itu
Kalau sudah begini jadinya Maha tak bisa berbuat banyak berjalan lagi, hari juga semakin gelap dan ia rasa sudah terlalu dalam memasuki hutan. Ini gara-gara ada ular didekatnya, ia langsung lari tak-takhu arah dalam kondisi kaki yang terluka hingga sekarang berada dalam tempat yang entah berantah ada dimana posisinya.
"Sastra," nama pria itulah yang ia sebut sedari siang tadi, tak ada yang lain karena Maha berharap apapun semoga Sastra hadir untuk menolongnya.
"Gue takut sendirian Sas," hanya manusia yang memiliki mental sekuat baja berada ditengah hutan sendirian dalam kondisi carut-marut dan suasana seram tanpa penerangan di waktu yang semakin redup sang surya. Maha ketakutan, dan ia tak bisa lepas menangisi dirinya yang begitu kasihan ini.
Sementara ditempat yang lain, Sastra, begitu mendapati kabar ini segera pergi menuju lokasi kemah. Untuk yang pertama kalinya ia melupakan emosi dengan kerasnya pada siapapun yang terlibat dalam kemah itu. Pihak sekolah, panitia, semuanya dapat amukan besar dari seorang Sastrawira Hardjosoemarto yang terkenal dengan ketenangannya itu, bahkan Caraka, adik keduanya ikut memberikan penengahan diantara kacau balau nya situasi.
"Persetan Mas, lo juga salah. Hardjosoemarto itu sudah seharusnya melindungi siapapun yang harus dilindungi dibelakang namanya, dan lo malah melepaskan dengan dalih tak mau istri lo terkekang." Bisik Adipati yang pasti ia juga turut serta turun tangan, soal keselamatan Hardjosoemarto ia akan jadi orang nomor satu yang maju sebagai garda terdepan.
"Tapi ada bagusnya juga, untuk pertama kali lo bikin murka Eyang Kakung dan Bapak." Adipati ini macam ingin memanas-manasi, padahal maksudnya baik, hanya saja salah penyampaiannya.
"Mas Adi, cukup. Ini mas Sastra sudah aku tenangi, dia tak peduli sama ocehan mu," Caraka kembali menengahi, begitu kondisi lebih redam Sastra mulai melakukan pencarian setelah mendapatkan informasi dari orang-orang yang terlibat interaksi dengan Maha. Tak luput Karin juga diinterogasi, apalagi tiga serangkai itu sudah mencium bau-bau kejanggalan dari perempuan muda bernama Karin itu. Keyakinan yang dimiliki seorang Hardjosoemarto, tidak pernah meleset.
•••
"Mas, para pengawal menemukan ini dibawah tempat yang curam itu," Caraka memberikan bando berwarna merah muda yang kotor.
Sastra menatap bando itu dengan tangan bergetar, ia sangat mengenali siapa pemiliknya itu, istrinya, Maha. Rasa khawatir yang tadi sudah memuncak, kini berubah menjadi kemarahan yang nyaris tak tertahankan. Napasnya mulai memburu, dan pandangannya tajam menelusuri sekitar. "Di mana orang yang menemukan ini?" tanyanya dengan suara rendah, hampir seperti ancaman.
Caraka, yang mencoba menenangkan keadaan, berbicara pelan, "Mas, kita sudah kirim beberapa tim untuk menyisir daerah itu. Lokasi terakhir yang dilaporkan juga masih dalam pencarian."
Namun, Sastra tak bisa lagi terus diam ditempat yang sama seperti ini. "Mas harus turun kebawah," katanya tegas, tanpa memberi ruang untuk bantahan. Caraka hanya mengangguk pelan, memahami amarah kakaknya tapi tahu tak ada gunanya menentang.
"Baik, aku ikut juga. Aku gak bisa biarin Mas pergi sendirian dalam keadaan begini," ucap Caraka pelan, melihat kegelisahan kakak tertuanya.
"Bawakan tali, saya akan turun sendiri," perintahnya. Tak ada yang berani menentang. Sastra bersikeras bahwa dia yang harus menemukannya.
Setelah menyiapkan tali, Sastra dan Caraka mulai turun ke bawah tebing yang curam. Mereka terus menyusuri jalur yang kian masuk ke dalam kegelapan hutan. Napas mereka semakin berat, udara malam yang dingin terasa menusuk, tetapi kegigihan Sastra tak tergoyahkan. Di sekeliling mereka, hanya ada suara-suara malam yang semakin mencekam—serangga, angin yang menggesek dedaunan, dan sekali-kali suara burung hantu yang terdengar jauh.
Sastra berhenti sejenak, saat monitor HT berbunyi, "Monitor Mas, hati-hati. Gue belum menemukan jejak apapun dari istri lo, ini pencarian tim gue masih terus menyisir kedaerahan selatan. Kita banyak dikepung babi hutan, hati-hati Mas. Caraka, jagain Mas Sastra." Ucap Adipati dari balik monitor HT, yang setelah suara adiknya tak ada lagi, suara lolongan serigala terdengar nyaring di pendengaran Sastra.
"Maha..." Usapan kasar pada wajahnya, menandakan betapa frustasinya ia sekarang. Sungguh ia berharap dimanapun Maha berada, semoga dalam keadaan yang baik, walaupun tahu Maha pasti sedang ketakutannya sekarang ini.
"Mas..." Interupsi Caraka memanggilnya, ia tatap kakak tertuanya itu dengan perasaan tak karuan, tangannya memegangi daun kering yang terdapat noda darah mengering.
Melihat itu Sastra sudah kehilangan batas toleransi dalam pengaturan pencarian ini, ia balas menatap adik keduanya dengan tegas.
"Mas akan masuk lebih dalam lagi kehutan ini Ka, kamu tetap bersama tim yang lain. Susuri segala penjuru bagian dari hutan ini. Mas sendiri yang akan cari istri Mas kedalam sana—" Caraka memotong ucapan Sastra.
"Mas berbahaya—"
"Jangan berani potong pembicaraan Mas, Ka," suara Sastra terdengar tajam, menegaskan bahwa dia tidak akan menerima bantahan. Sorot matanya gelap, penuh dengan tekad yang tak bisa diganggu gugat. Caraka, meski sangat khawatir, tahu betul sifat tak terbantahkan kakaknya ketika sudah membuat keputusan.
"Mas, kalau Mas nekad masuk sendirian, itu justru makin berbahaya. Kita gak tahu apa yang ada di dalam sana. Babi hutan, serigala—" Caraka mencoba lagi, berharap bisa menahan Sastra, tapi tatapan dingin yang ia dapatkan cukup untuk membuatnya berhenti bicara.
"Ini istri saya. Maha di luar sana, mungkin terluka, ketakutan, sendirian. Saya gak bisa begini dalam kebodohan lebih lama lagi," suara Sastra memberat, dan Caraka tak bisa berkutik jika Mas nya sudah dalam mode seperti ini.
Caraka menarik napas panjang, "baiklah, Mas. Tapi kita tetap butuh rencana. Gak bisa asal masuk begitu aja, kita perlu koordinasi dengan tim," ucapnya akhirnya, menyerah pada keinginan Sastra tapi tetap ingin menjaga keselamatan Mas-nya ini.
Sastra tak menanggapi lagi. Dia mengambil senter cadangan dan tali dari tas Caraka, "Mas bawa drone kamu, itu akan jadi tanda nantinya jika Mas sudah menemukan Maha. Kamu paham Caraka?"
Caraka hanya bisa mengangguk pelan, hatinya dipenuhi kekhawatiran. "Hati-hati, Mas."
"Monitor, Mas Adi. Mas Sastra melakukan pencarian seorang diri."
"Masuk, Shit. Lo ini bagaimana sih Mas? Jangan jadi bodoh begini, kita juga sedang mencari istri lo." Berang sekali Adipati, kalau sudah begini ia harus segera ketempat pencarian Sastra dan Caraka.
Sastra menjawab lagi dimonitor nya. "Jangan menghalangi saya." Singkat dan padat namun berhasil membuat Adipati mengumpat banyak, ini bukan gaya seorang Sastra, ini lebih kepada Adipati yang ingin melakukan apapun semaunya walaupun dalam keadaan berbahaya sekalipun.
Tanpa menjawab lagi, Sastra mulai berjalan lebih dalam ke hutan. Langkahnya mantap, meski bayangan kegelapan semakin pekat di sekitarnya. Setiap detak jantungnya terasa seiring dengan suara ranting yang patah di bawah kakinya, menciptakan irama yang tidak menenangkan.
Sementara itu, di tengah hutan, Maha merasakan kakinya semakin berdenyut nyeri. Setiap langkahnya terasa seperti disiksa, tapi dia tak punya pilihan selain mencoba bertahan. Sesekali dia menjerit, berharap suaranya bisa mencapai seseorang. Namun, hutan begitu sunyi, hanya suara angin yang berdesir dan gemerisik dedaunan yang menjadi teman malamnya. Dan lolongan serigala terdengar kembali, ia tak berani lagi berteriak.
"Sastra...," Maha kembali berbisik, suaranya lemah. Dia menggigil, baik karena dingin maupun ketakutan yang tak bisa dia kendalikan lagi. Malam itu terasa begitu panjang dan harapannya semakin besar mendambakan kedatangan Sastra.
Bulan pucat menggantung di langit, sinarnya memantulkan bayangan samar di antara pepohonan yang rapat. Maha menatap bulan itu dengan tatapan sayu, berharap seolah-olah cahaya tersebut mampu memberitahu Sastra di mana dia berada.
"Gue takut," bisiknya lagi, air mata mulai menggenang di sudut matanya lagi. Setiap helaan napasnya terasa berat, seperti hari itu adalah hari terakhir hidupnya didunia.
Di sekelilingnya, suara malam semakin mencekam. Angin berdesir pelan, menciptakan suara yang menyerupai bisikan, seakan-akan hutan itu bersekongkol untuk menambah rasa takut Maha. Dia mencoba berdiri lagi, tetapi setiap kali mencoba melangkah, kakinya terasa seperti ditusuk ribuan jarum. Akhirnya, dia menyerah dan duduk bersandar di batang pohon, mengusap keringat dingin di dahinya.
Suara gemerisik di kejauhan membuat Maha menegang. Dia menatap ke arah asal suara itu, berharap itu adalah pertanda bantuan datang, tetapi tak ada yang muncul. Hanya bayang-bayang pepohonan yang bergerak mengikuti angin.
"Lo bisa kuat, Maha. Lo gak sendiri. Sastra akan datang," Maha berusaha meyakinkan dirinya sendiri, tetapi suaranya terdengar rapuh. Sungguhan, untuk pertama kalinya ia ingin bergantung pada pria itu. Bila perlu nanti Maha akan mencium dan bersujud di kakinya, jika Sastra benar-benar datang menyelamatkannya.