Hidup hanya untuk berjalan di atas luka, itulah yang dialami oleh gadis bernama Anindira Sarasvati. Sejak kecil, ia tak pernah mendapat kasih sayang karena ibunya meninggal saat melahirkan dirinya, dan ayahnya menyalahkan Anin atas kematian istrinya karena melahirkan Anin.
Tak hanya itu, Anin juga selalu mendapat perlakuan tak adil dari ibu dan adik tirinya.
Suatu hari, ayahnya menjodohkan Anin dengan putra sahabatnya sewaktu berperang melawan penjajah. Anin tak memiliki pilihan lain, dia pun terpaksa menikahi pria bernama Giandra itu.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dina Aisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keadilan Untuk Giandra
Keesokan harinya, mobil Giandra berhenti di halaman kediaman keluarga Wijaya. Di belakangnya, dua mobil lain ikut merapat. Begitu mesin dimatikan, Giandra dan Anin turun terlebih dahulu, kemudian diikuti dua pria berpakaian rapi dari mobil di belakang. Mereka melangkah mendekati pintu rumah yang tertutup rapat.
Tok, tok, tok ...
Giandra mengetuk pintu. Tak lama kemudian, daun pintu terbuka, tampak seorang perempuan duduk di kursi roda dengan wajah muram.
“Loh, Kak Sri? Kamu kenapa?” tanya Anin dengan nada panik dan matanya membulat khawatir.
“Jangan sok baik kamu! Kalau kalian bantu aku kejar pencopet itu, aku nggak akan seperti ini sekarang!!” bentak Sri tajam.
Giandra mendengus pelan, memutar bola matanya malas. Tanpa banyak bicara, dia menyingkirkan kursi roda Sri, kemudian melangkah masuk ke dalam rumah.
“Mana si anak haram?” tanya Giandra sembari menyapu pandangan ke seluruh ruangan.
“Berani-beraninya kau menginjakkan kaki di rumah ini!!” teriak Hanung.
Giandra menoleh, lalu menyeringai sinis. “Berani dong. Kan anak kandung, bukan anak haram. Jadi, untuk apa takut? Justru anak haram yang nggak boleh ada di rumah ini,” balasnya santai.
“Bajingan!!” pekik Hanung.
Dia berlari mendekat, mencengkeram kerah baju Giandra, siap melayangkan pukulan.
“Berhenti! Jika kamu berani menyakiti Tuan Giandra, saya akan melaporkan ke polisi!” ancam Agung—pengacara Yasir.
Hanung menatapnya tajam, kemudian melepaskan cengkeramannya perlahan. “Untuk apa ke sini? Bapak udah mati jadi, kau tidak ada urusan lagi,” ucapnya datar.
“Saya ke sini untuk menyelesaikan tugas saya. Berkaitan dengan wasiat Pak Yasir sewaktu masih hidup dulu,” jawab Agung tenang.
Seketika keheningan menyelimuti ruangan itu. Hanung terpaku, tatapannya menusuk Agung. Namun, pengacara itu tetap melangkah santai menuju ruang tamu, dan duduk di di sofa.
“Ada apa ini? Kenapa ramai sekali? Apalagi yg dilakukan oleh anak durhaka itu?” tanya Astri yang muncul dari arah dapur.
“Selamat pagi, Bu. Ibu pasti sudah mengenal saya. Saya ke sini untuk menyelesaikan tugas saya sebagai pengacara Pak Yasir,” ucap Agung.
“Tugas apa?” tanya Astri dengan nada curiga.
“Ayo, duduk. Kita bicarakan secara kekeluargaan,” tutur Agung.
Giandra dan Anin duduk bersebelahan di sofa, sementara Astri mengambil tempat di samping Hanung. Sesaat, keheningan kembali menyelimuti ruangan tersebut.
“Sebelum Pak Yasir meninggal, beliau mengatakan yang sejujurnya tentang kondisi keluarganya termasuk Hanung yang merupakan anak dari hubungan terlarang Bu Astri dan mantan kekasihnya,” ungkap Agung.
Astri membeku. Perlahan, pandangannya bergeser ke arah Hanung yang mematung dengan wajah datar tanpa ekspresi.
“Dan sesuai permintaan beliau, semua usahanya termasuk toko bangunan miliknya akan diwariskan kepada putra tunggalnya yaitu Giandra Wijaya,” lanjut Agung.
“Apa? Tidak bisa begitu dong! Selama ini saya sudah menemani Yasir. Masa saya tidak dapat apa pun? Lagi pula, Hanung juga berhak dapat harta tersebut!” protes Astri.
“Bu Astri akan menerima warisan berupa rumah dan mobil milik Pak Yasir. Namun, Hanung tidak mendapat apa pun karena dalam hukum negara maupun agama, Hanung bukan tanggung jawab Pak Yasir,” ungkap Agung dengan tenang.
“Apa? Ini tidak adil! Meskipun bukan anak kandung, saya selalu membantu bapak menjalankan usahanya. Jauh sebelum Giandra terjun ke dunia usaha,” sergah Hanung.
“Memang betul, tapi keputusan tetap kembali ke Giandra. Apakah dia bersedia membagi sebagian harganya padamu atau tidak,” sahut Agung bijak.
“Giandra, berikan sepuluh persen saham milik bapak di kontraktor punya mertuamu!!” desak Hanung keras.
“Maaf, nggak bisa. Aku ingin mengembangkan saham itu bersama Anin. Kalau kau mau, ambil saja usaha lain, seperti toko bangunan milik bapak di Kota Semarang,” jawab Giandra.
“Tidak bisa seperti itu! Kenapa kau memberi usaha kecil pada kakakmu? Bagaimanapun kalian tetap saudara. Kau lebih memihak istrimu daripada saudaramu?” bentak Astri dengan mata menyipit penuh kebencian pada Giandra.
“Kalau kalian nggak mau, nggak papa. Aku nggak peduli,” jawab Giandra, lalu menyeringai kecil.
Hanung terdiam, pandangannya menusuk Giandra. Dasar, licik. Dia mendengus kesal, kemudian membuang muka.
“Ya sudah, aku mau. Daripada tidak dapat apa-apa,” ucap Hanung penuh keterpaksaan.
Giandra menyeringai tipis. “Bagus, berarti masalah ini selesai. Kalau begitu, aku dan Anin pamit pulang. Assalamualaikum,” ucapnya.
Tak ada jawaban. Giandra dan Anin melangkah keluar bersama dua pengacara yang mengikuti di belakang. Anin terhenti ketika melewati Sri yang menatap dengan sorot sinis, tetapi Giandra merangkul bahunya, dan menuntun Anin keluar.
Langkah Giandra dan Anin terhenti di teras depan. Mereka berdiri berdampingan, berhadapan dengan Agung dan Yatno—pengacara Sudarsono—yang tampak lega.
“Terima kasih sudah membantu kami,” ucap Anin.
“Sama-sama. Jujur, saya sedikit terkejut melihat keserakahan Hanung. Selama ini saya kira dia orang yang bijak, tapi ternyata salah,” ucap Yatno.
“Tidak apa-apa, Pak. Terima kasih sudah membawa Pak Agung ke sini. Kalau tidak, masalah warisan ini tidak mungkin selesai karena Giandra tidak mengetahui alamat rumah Pak Agung,” balas Anin dengan nada lembut.
“Sama-sama. Kalau ada apa-apa, hubungi saya saja,” ujar Yatno ramah.
“Baik. Kami pamit ya, Pak. Assalamualaikum,” ucap Anin sembari tersenyum tipis.
“Waalaikumsalam,” sahut Yatno dan Agung bersamaan, kemudian masuk ke dalam mobil masing-masing, dan meninggalkan rumah itu.