“Aku rela jadi debu… asal Ibu tetap hidup.”
Kevia rela ayahnya menikah lagi demi ibunya bisa tetap menjalani pengobatan. Ia pun rela diperlakukan seperti pembantu, direndahkan, diinjak, dianggap tak bernilai. Semua ia jalani demi sang ibu, wanita yang melahirkannya dan masih ingin ia bahagiakan suatu hari nanti.
Ardi, sang ayah, terpaksa menikahi wanita yang tak ia cintai demi menyelamatkan istri tercintanya, ibu dari putri semata wayangnya. Karena ia tak lagi mampu membiayai cuci darah sang istri, sementara waktu tak bisa ditunda.
Mereka hanya berharap: suatu hari Kevia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, membiayai pengobatan ibunya sendiri, dan mengakhiri penderitaan yang membuat mereka harus berlutut pada keadaan.
Agar Kevia tak harus lagi menjadi debu.
Agar Ardi tak perlu menjadi budak nafsu.
Tapi… akankah harapan itu terkabul?
Atau justru hanyut… dan menghilang seperti debu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Terlambat
Rima tersenyum miring, lalu tawa lirihnya meluncur, dingin, menusuk telinga. Ia mendekat, jemarinya meluncur di sepanjang rahang Ardi dengan lembut, seakan belaian itu tanda kasih. Namun bagi Ardi, rasanya seperti jerat ular yang siap melilit leher.
“Sudah terlambat untuk menyesal, Ardi sayang,” bisiknya.
Dengan cepat, Ardi menepis tangannya, seolah sentuhan itu membakar kulitnya. Namun senyum Rima tidak luntur, justru melebar, penuh kemenangan.
“Jangan menolak aku, Ardi. Atau kau tak akan suka dengan apa yang akan aku lakukan pada anak dan istrimu.”
Tubuh Ardi menegang. Giginya bergemeretak menahan amarah yang menggelegak di dada. Ia ingin berteriak, ingin menghempaskan Rima keluar dari mobil ini. Tapi bayangan wajah istri dan anaknya terlintas, membuatnya kaku. Ia bagai burung yang sayapnya dipatahkan sebelum bisa terbang.
Rima mendekatkan wajahnya, suaranya serupa bisikan iblis.
“Turuti aku. Berusahalah menyenangkan aku. Atau aku akan pastikan mereka merasakan siksaan yang tak pernah kau bayangkan.”
Ardi terdiam. Napasnya berat. Di balik tatapan tajamnya, hanya ada satu hal yang ia sadari, ia terjebak di dalam permainan Rima. Permainan kejam yang tidak memberinya pilihan selain tunduk.
Ardi menatap jalanan yang melintas di depan matanya, tapi sesungguhnya ia tidak melihat apa-apa. Hatinya bagai dicengkeram kuat, dadanya terasa sesak, seperti ada beban ribuan kilo yang menindih.
"Tuhan… aku hanya ingin hidup tenang bersama anak dan istri yang kucintai lebih lama lagi. Tapi ternyata hidupku berubah jadi sesulit ini. Aku bodoh. Aku percaya pada rayuan wanita ular seperti Rima, dan sekarang bukan hanya aku sendiri yang menuai semua akibatnya. Anak dan istriku menderita karena keputusanku. Aku ayah yang buruk… suami yang gagal."
Wajah Kemala terbayang dalam benaknya, lemah, pucat, berjuang dengan tubuh yang setengah rapuh namun tetap berusaha tegar. Lalu wajah Kevia menyusul, polos, penuh harapan, tapi harus menahan sakit yang tidak seharusnya ditanggung anak seusianya.
"Kemala… maafkan aku. Aku tak bisa menghapus luka yang kubuat, tapi hatiku terus berharap ada secuil maaf yang tersisa untukku. Andai waktu bisa diputar kembali… aku tak akan pernah menikah lagi. Aku akan menghabiskan waktu yang tersisa hanya denganmu dan putri kita. Membahagiakanmu dengan cinta, meski aku tak punya apa-apa. Menjaga rumah tangga kita tetap utuh… tanpa pernah membuka pintu pada penyesalan bernama Rima."
Ardi memejamkan mata sejenak, menghela napas yang terasa sesak. "Tuhan, apa ini hukuman-Mu? Karena aku menikahi Rima bukan dengan niat yang suci, melainkan karena ingin memperpanjang usia wanita yang kucintai?"
Di sampingnya, Rima melirik. Tatapannya samar, sulit diartikan, namun tajam seperti bilah pisau yang menggores kulit. Senyum tipis mengembang di bibirnya. Bukan senyum kasih, melainkan senyum milik seorang penguasa yang puas akan cengkeramannya.
"Kau pikir bisa memanfaatkan aku, Ardi?" gumam Rima, matanya dingin, mengunci. "Jika aku tak bisa memiliki hati dan ragamu, maka tak seorang pun boleh memilikinya. Aku tak peduli jika kau membenciku. Yang pasti… kau adalah milikku. Kau akan tetap tinggal di sisiku. Selamanya."
Ardi tidak menoleh, tidak menjawab. Tangan kirinya mencengkeram setir begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Namun di dalam dadanya, amarah dan penyesalan bergemuruh, siap meledak kapan saja.
Mobil melaju kencang, tapi yang terdengar hanyalah detak jantungnya sendiri yang memekakkan telinga.
***
Kevia tiba di depan gerbang sekolah dengan napas tersengal, wajahnya basah oleh peluh. Kakinya terasa berat setelah berlari sepanjang jalan, tapi ia memaksakan diri.
Tepat ketika ia sampai, suara berderit besi terdengar. Gerbang sekolah baru saja menutup rapat.
“Pa… Pak! Tolong buka, Pak! Izinkan saya masuk!” seru Kevia panik, kedua tangannya mencengkeram erat terali besi, matanya memohon.
Satpam sekolah, seorang pria paruh baya dengan wajah keras namun teduh, menoleh dengan alis terangkat. “Kamu terlambat. Aturannya jelas, yang terlambat tidak boleh masuk,” ucapnya datar, suaranya tegas seperti palu.
Air di mata Kevia langsung naik, dadanya naik turun menahan napas. “Saya mohon, Pak… tolong izinkan saya masuk. Saya benar-benar ingin belajar. Saya tidak mau mengecewakan Ayah dan Ibu saya…” suaranya pecah, dan tanpa bisa dibendung, air mata jatuh membasahi pipinya, bercampur dengan keringat.
Satpam itu menatapnya lebih lama. Napas gadis itu masih terengah-engah, wajahnya pucat, rambutnya sedikit berantakan karena berlari. Bukan wajah seorang murid malas yang sengaja datang terlambat, melainkan wajah anak yang berjuang mati-matian untuk sesuatu yang sangat berarti.
Helaan napas panjang keluar dari bibir sang satpam. Tatapan tegasnya mulai goyah, berganti dengan rasa iba yang sulit ditahan. “Baiklah… kali ini Bapak biarkan kau masuk. Karena Bapak tahu, kau belum pernah terlambat sebelumnya. Tapi ingat, lain kali kalau terlambat, Bapak tidak bisa bantu lagi.”
Seolah mendapat anugerah, Kevia langsung menunduk dalam-dalam, suaranya bergetar penuh syukur. “Terima kasih, Pak… terima kasih banyak. Saya berjanji, saya tidak akan terlambat lagi.”
“Sudah, cepat masuk. Lari ke kelasmu sebelum gurumu datang,” ujar satpam itu seraya membuka pintu gerbang.
Kevia mengangguk cepat, mengusap air mata yang masih tersisa dengan punggung tangannya. “Iya, Pak. Terima kasih,” ucapnya sekali lagi, lalu berlari menuju kelas dengan sisa tenaga yang ada.
Satpam itu menatap punggung Kevia yang menjauh, tubuh mungil dengan langkah terburu-buru yang entah kenapa terasa sangat gigih dan kuat. Ia menghela napas panjang, lalu menutup kembali gerbang.
“Gadis yang manis…Tapi sepertinya hidupnya tak mudah,” gumamnya lirih, kepalanya menggeleng pelan. Dalam hati ia bisa merasakan, ada beban besar yang ditanggung gadis itu, beban yang mungkin tak seharusnya ditanggung seorang anak seusianya.
Kevia hampir kehabisan tenaga saat belokan terakhir di koridor ia lewati. Napasnya memburu, peluh menetes di pelipis. Kelasnya sudah tampak di depan mata. Ia memaksa kakinya berlari lebih cepat.
“Kata Yuni, guru ini killer. Kalau telat, aku bisa dihukum setumpuk tugas. Mampus!”
Hampir kebablasan, ia spontan menghentikan langkah. Tangannya mencengkeram kusen pintu, hentakan sepatunya bergema di lantai. Tubuhnya membungkuk, bahu naik turun menahan napas yang terputus-putus.
Dari kejauhan, guru mata pelajaran yang baru saja muncul di ujung koridor menghentikan langkahnya sejenak, mengernyit menatap muridnya yang berlari pontang-panting seperti orang dikejar sesuatu.
Di dalam kelas, pandangan murid-murid otomatis terarah pada Kevia. Bisik-bisik kecil cepat berembus, sebelum pecah menjadi canda.
“Kevia, habis ikut lomba maraton, ya? Kok nggak ngajak-ngajak?” celetuk seorang anak lelaki dari bangku tengah. Suaranya langsung memicu tawa riuh seisi kelas.
“Hahaha! Kevia, Agustus sebentar lagi kelar, emang masih ada lomba?” sahut yang lain.
“Eh, mukamu pucat banget. Jangan-jangan habis dikejar anjing?” tambah seorang murid, membuat tawa makin keras.
Ani menyandarkan dagunya di telapak tangan, bibirnya melengkung sinis. “Bangun kesiangan gara-gara mimpi jadi Cinderella, kali…” katanya keras-keras, jelas untuk menusuk. Gelak tawa pun kembali pecah, beberapa murid sampai menepuk meja saking terhiburnya.
Di pojok, Riri hanya menatap dingin dengan senyum tipis penuh arti. Senyum sinis yang tak butuh kata-kata untuk menyakiti.
Kevia mengangkat wajahnya perlahan. Meski peluh membasah tubuh, ia berusaha tetap tenang, bibirnya menahan untuk tak gemetar. Ia tahu, jika ia membalas, hanya akan memperkeruh keadaan.
“Kevia, cepat masuk!” seru Yuni dari bangkunya, nadanya khawatir sekaligus memberi semangat.
Dengan sisa tenaga, Kevia melangkah masuk. Kakinya berat, tapi ia paksa. Satu langkah… dua langkah… tubuhnya masih terhuyung. Tangannya sempat menyentuh sandaran kursi terdekat agar tidak jatuh.
Begitu ia sampai di bangkunya, ia duduk perlahan, menunduk, berusaha menormalkan napas. Dari ujung matanya, ia sempat melihat bayangan gurunya semakin dekat memasuki kelas.
Saat guru masuk dengan buku di tangan, suasana yang tadinya gaduh mendadak hening.
“Ck.” Riri yang duduk di depan Kevia berdecak. “Aroma orang miskin memang mengganggu.”
Kevia menutup mata sejenak, meremas tangannya di atas meja. "Aku harus kuat. Apa pun yang terjadi, aku harus tetap kuat…"
Yuni yang duduk di sebelah Kevia langsung memegang tangannya, seolah berkata, tenanglah, kau punya aku.
Namun sebelum Yuni sempat bicara, suara rendah tapi terasa mengiris terdengar.
“Aroma orang miskin? Apa maksudmu, Riri?”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
tenang saja Kevia jika ada yang mengusikmu lagi Kevin tidak akan tinggal diam,,Kevin akan selalu menjadi garda terdepan untukmu..
rasain Riri dan Ani kamu harus tanggung jawab atas semua perbuatanmu
makanya jadi orang jangan jail dan berbuat jahat.
semangat kak lanjutkan makin seru aja...
Karena bila ketauan Riri, nasib Kemala & Kevia jadi taruhannya, disiksa di rumah tanpa ada yang berani menolong 🤨
Wali kelas akan menyelidiki dengan minta bantuan pak Anton untuk mengecek CCTV.
Di Aula suasana semakin panas semua menghujat Kevia.
Wali kelas datang meminta Kevia untuk berkata jujur apa benar mencuri uang kas dan alasannya apa.
Kevia menjawab dengan menceritakan secara runtut kenapa sampai dituduh mencuri uang dan bukti bisa berada di dalam tasnya.
Kita tunggu rekaman CCTV
lanjut kak Nana sehat dan sukses selalu 🤲
Kevin tentunya akan melindungi Kevia dengan diam²,,demi menyelamatkan dari amukan si anak ular betina,,good Kevin biar dua anak ular itu di kira kamu benci sama Kevia...padahal sebaliknya Kevin sangat peduli sama Kevia dan akan melindunginya...
sabar banget Kevia...
orang sabar di sayang Alloh..
menolong Kevia secara tidak langsung di depan 2 ulet bulu yang tidak sadar diri....mantap..
ayo mau di hukum apa nih jedua ulet bilu itu...
enaknya disruh ngapain ya...
bersihin kelas yang bau kali ya..kna seru tuh ngebayangin mereka berdua beraihin kelas sambil muntah2 ...
alhasil bersihin kelas plus muntahannya sendiri...
rasain tuh hukuman yang sangat setimpal Dan jnagan lupa hubungi kedua orang tuanya terus mereka berdua di skorsing selama 1 minggu....
cukup lah ya hukumannya.....
setuju ga ka....