"Izinkan aku menikah dengan Zian Demi anak ini." Talita mengusap perutnya yang masih rata, yang tersembunyi di balik baju ketat. "Ini yang aku maksud kerja sama itu. Yumna."
"Jadi ini ceritanya, pelakor sedang minta izin pada istri sah untuk mengambil suaminya," sarkas Yumna dengan nada pedas. Jangan lupakan tatapan tajamnya, yang sudah tak bisa diumpamakan dengan benda yang paling tajam sekali pun. "Sekalipun kau benar hamil anak Zian, PD amat akan mendapatkan izinku."
"Karena aku tau, kau tak akan membahayakan posisi Zian di perusahaan." Talita menampakkan senyum penuh percaya diri.
"Jika aku bicara, bahwa kau dan Zian sebenarnya adalah suami istri. Habis kalian." Talita memberikan ancaman yang sepertinya tak main-main.
Yumna tersenyum sinis.
"Jadi, aku sedang diancam?"
"Oh tidak. Aku justru sedang memberikan penawaran yang seimbang." Talita menampilkan senyum menang,
Dan itu terlihat sangat menyebalkan.
Yumna menatap dalam. Tampak sedang mempertimbangkan suatu hal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon najwa aini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
"Sudah mau pulang?"
"Eh!"
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba lelaki itu sudah berdiri di dekat Aira dan menyapa.
"Sory, sory, maaf, bikin kaget ya."
Melihat Aira begitu terkejut dengan keberadaannya, lelaki itu segera minta maaf sambil tersenyum.
Aira terlihat menarik napas sebelum menjawab. "Gak papa. Kok tiba-tiba kamu ada di sini, Prima?"
"Gak tiba-tiba kok, ada prosesnya juga. Siapa wanita barusan?"
"Wanita yang mana?"
"Yang bicara sama kamu di dalam hampir dua jam."
Aira nampak tercekat sesaat. Tatapannya mengarah pada lelaki di depannya dengan raut curiga. "Kamu buntutin aku?"
"Eh gak. Bukan gitu, Aira." Laki-laki yang bernama Prima Sena itu langsung terlihat khawatir akan disalah pahami oleh Aira.
"Aku lagi nongki sama teman-teman di kafe seberang. Aku liat kamu dari sana."
Prima menunjuk kafe di seberang jalan. Bangunan kafe di sana dengan kafe yang didatangi Aira, dan Kinara, memang sama-sama mengusung konsep modern dan Futurist Architecture--arsitektur yang menonjolkan material kaca, baja, dan beton. Jadi, memang terlihat transparan dan tembus pandang.
Wajar jika Prima bisa melihat Aira dan Kinara jika memang laki-laki itu sedang ada di kafe yang di seberang sana.
"Oh." Aira mengangguk, ia percaya dengan keterangan Prima.
"Kamu mau kemana sekarang?"
"Pulang."
"Saya antarkan ya?"
"Gak usah. Bukannya kamu lagi sama teman-temanmu?"
"Mereka sudah pada pulang. Saya di sini memang sengaja nunggu kamu."
"Gak usah repot, saya naik taksi aja." Aira tetap menolak keinginan laki-laki di depannya itu.
"Oh iya. Gak boleh jalan berdua ya, karena kita bukan mahram. Dan Zian juga bukan mahram kamu, Aira. Tapi kalian bisa jalan berdua aja."
Ucapan Prima itu membuat Aira menatap lelaki tersebut datar. Dari mana Prima tahu kalau dirinya beberapa kali jalan berdua dengan Zian.
"Ups sory. Saya gak bermaksud menyindir kok." Prima segera meralat ucapannya.
Saat tatap mata tak nyaman berlabuh dari Aira untuknya. Lelaki itu memang tidak bermaksud menyindir. Tapi, tepatnya sengaja menyindir.
"Kapan kamu tau saya jalan berdua dengan Zian, Prima?"
"Saya pernah liat. Beberapa kali." Lelaki itu memvalidasi kecurigaan Aira dalam hati.
"Berarti benar. Kamu buntutin saya," tukas Aira dengan tatapan tidak suka.
"Gak buntutin. Saya hanya selalu merasakan keberadaanmu di sekitar saya."
Aira diam. Tatapannya menyiratkan ketidak percayaan.
"Maksud saya gini, Aira. Jika saya ada di satu tempat. Dan kamu juga ada di tempat yang sama, dalam batas jangkauan pandangan saya. Saya bisa merasakan kehadiranmu." Prima menjelaskan dengan lebih gamlang. Padahal sebenarnya Aira bukan tidak paham. Hanya saja ia tak punya kata yang bisa dijadikan tanggapan. Entah berupa pujian, atau berupa cibiran.
Bahkan saat mendengar ucapan Prima itu, Aira membuang napas lelah dan membanting pandangan ke lain arah.
"Kamu mau pulang naik taksi ya, saya pesanin grabcar, boleh?"
Sadar kalau gadis ayu di depannya itu merasa tidak suka, Prima segera menawarkan bentuk kebaikan yang lain. Dan tanpa tunggu jawaban Aira ia segera mengotak atik iphonenya mencari aplikasi grabcar di sana.
"Sepuluh menit lagi, insyaallah nyampek. Duduk dulu." Prima menunjuk kursi bulat dari balok kayu yang ada di taman depan kafe.
"Gak usah." Aira nampak enggan.
"Oke. Saya salah Aira dengan ucapan saya barusan. Saya minta maaf. Gak seharusnya saya membandingkan diri dengan Zian. Di mata kamu jelas kami berbeda--"
"Gak usah bahas itu lagi, Prima," pangkas Aira sebelum lelaki itu menyelesaikan ucapannya.
"Baik." Prima langsung patuh. Tatapan lembutnya kembali menyentuh wajah ayu Aira untuk kesekian kali. Tatapan lembut yang selalu dihindari oleh Aira, termasuk saat ini. Gadis itu melabuhkan pandangan ke lain arah. Membuat suasana canggung sesaat tercipta.
"Masih mau baca novel Bumi Manusia?"
Pertanyaan itu membuat Aira menoleh.
Ternyata topik pertanyaan Prima berhasil memancing atensi gadis itu.
"Saya ada novelnya di mobil. Saya ambil sebentar ya."
"Kamu beli novel itu?"
"Saya dikasih langsung sama Pramudya Ananta toer," kelakar Prima sambil tertawa.
Jelas dia hanya bercanda, mana mungkin penulis novel best seller Bumi Manusia itu memberikan novelnya langsung. Yang benar, Prima membeli novel itu dengan cara susah payah. Karena sudah hampir tak menemukan lagi di pasaran. Disebabkan Terlalu banyak peminatnya.
Kalau saja bukan karena Aira pernah mengatakan ingin baca novel yang sudah diadopsi jadi film layar lebar itu, Prima tentu tak ingin bersusah-payah begitu.
"Saya ambil novelnya ya?"
Aira mengangguk, membuat senyum penuh semangat tercetak di wajah Prima Sena.
Saat lelaki itu kembali ke dekat Aira dengan membawa novel yang dimaksud, saat itu juga grabcar yang dipesan datang. Prima segera menghampiri mobil putih itu, bicara sebentar seraya memberi sesuatu, dan grabcar itu pun berlalu.
"Loh mobilnya kenapa pergi?"
"Saya batalkan," sahut Prima santai.
"Kenapa?"
"Drivernya masih muda. Kurang aman buat kamu."
Aira hanya menatap lelaki itu tanpa kata. Tapi, Prima sadar apa arti tatapan gadis ayu itu terhadapnya.
"Saya udah bayar ganti rugi. Dan udah pesan grabcar yang lain lagi."
"Jangan lupa noted, drivernya yang udah jompo," timpal Aira dengan raut wajah menahan kesal.
Prima hanya tersenyum seraya menyerahkan novel yang dibungkus rapi ke tangan Aira. "Saya hanya peduli dengan keselamatan kamu, Aira. Hanya itu."
"Hanya itu?" Aira jelas tak percaya jika alasannya hanya sesederhana itu.
"Saya juga ngerasa gak nyaman ngebayangin kamu berdua aja dengan driver yang masih muda itu. Khawatir dia gangguin kamu."
Masuk akal atau tidak alasan Prima itu, Aira hanya menatap saja tak memberi tanggapan apa-apa. Ia cukup paham, Prima dengan segala asumsinya terkadang tidak bisa dibantah. Dan situasinya saat ini ia juga merasa lelah untuk beradu argumentasi.
Untunglah grabcar pesanan Prima yang berikutnya segera datang. Dan Aira membiarkan saja lelaki itu menghampiri lebih dulu. Terlihat bicara sebentar, lalu memberi isyarat pada Aira untuk mendekat.
Grabcar kali ini telah lulus uji ala standar Prima. Ia membukakan pintu mobil untuk Aira. Memastikan gadis ayu itu duduk dengan nyaman di kabin penumpang, sebelum menutup pintunya kembali.
Mobil hitam jenis MVP itu pun melaju.
Dari tempat Aira duduk saat ini, ia bisa melihat sang Driver berusia kisaran empat puluh tahunan. Cara bicaranya juga sopan. Dan ia membawa penumpangnya dengan selamat sampai di tujuan.
"Berapa, Pak?" tanya Aira sebelum turun dari mobil.
"Sudah di tf sama mas yang barusan, Mbak."
"Oh begitu? Baiklah. Terima kasih, Pak."
"Sama-sama, Mbak."
Saat Aira keluar dari mobil, tatapannya tertuju pada sebuah mobil yang berhenti tak jauh di belakangnya. Terlihat Prima turun dari mobil tersebut dan menghampiri Aira.
"Saya sengaja ngikutin kamu. Bukan ngebuntutin ya. Karena saya khawatir sama kamu."
"Harus segitunya ya? Bukannya kamu udah nyeleksi sendiri grabcar barusan."
"Iya. Tapi tetap saja saya khawatir. Gimana pun kamu lebih memilih jalan bersama driver online dari pada orang yang sudah kamu kenal."
Aira diam. Mau disanggah bagaimana pun, ucapan Prima memang benar.
"Itu rumah kamu?" Prima segera alihkan pembicaraan seraya melayangkan pandangan pada rumah yang ditempati Aira berdua Yumna.
"Iya," sahut Aira singkat.
"Terima kasih ya, tapi maaf saya gak bisa mampir. Sudah hampir Maghrib." Prima berkata demikian sambil tersenyum. Sebuah sindiran kecil. Ia tahu kalau Aira tak akan pernah menawari untuk mampir.
"Terima kasih, Prima untuk semuanya."
Mengabaikan sindiran Prima, Aira mengucap terima kasih dengan tulus.
"Sama-sama. Saya juga terima kasih untuk hari ini."
"Saya masuk dulu ya," pamit Aira.
"Silakan!"
Benar saja. Aira melenggang begitu saja masuk ke halaman rumah, tanpa berniat sedikit pun untuk menawari Prima sekedar bertandang.
Prima juga masih berdiri memerhatikan hingga tubuh tinggi semampai berbalut abaya dan hijab dengan warna sepadan itu menghilang di balik pintu rumah yang tak terlalu besar.
Aku kasih vote biar calonnya Zian tambah semangat