Ketika di bangku SMA, Gaffi Anggasta Wiguna dan Bulan Noora selalu berjalan berdampingan layaknya sepasang kekasih yang penuh dengan keserasian. Di balik kedekatan yang mengatasnamakan pertemanan, tersembunyi rasa yang tak pernah terungkapkan. Bukan tak memiliki keberanian, melainkan Bulan Tengah mengejar seseorang. Anggasta memilih jalan sunyi, memendam dan mencoba tetap setia mendampingi sampai kebahagiaan itu benar-benar datang menghampiri perempuan yang sudah membuatnya jatuh hati. Barulah dirinya mundur pelan-pelan sambil mencoba untuk mengikhlaskan seseorang yang tak bisa dia genggam.
Lima tahun berlalu, takdir seakan sengaja mempertemukan mereka kembali. Masihkah cinta itu di hati Anggasta? Atau hanya bayang-bayang yang pernah tinggal dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Cuti
"Tugas kamu di Jogja cuma satu hari." Tetiba Papa Agha membuka suara di tengah kegiatan sarapan.
"Iya," jawabnya bak anak perururt. "Tapi, Gagas udah ajuin cuti untuk dua hari ke depan," jawabnya seraya melebarkan senyum.
Mama Salju pun tertawa berbeda dengan sang papa yang berdecak. Sedangkan Gyan sedari tadi menatap sang adik tanpa ekspresi.
"Mana mungkin seorang Anggasta akan sebentar di Jogja," timpal sang mama dan dijawab anggukan oleh si putra bungsu.
"Gagas kan jarang ambil cuti, Pa. Mumpung ada kerjaan di sana jadinya sekalian aja," paparnya.
"Sama Jeno juga?" Kembali sang mama bertanya. Anggasta mengangguk.
"Dasar trio game," omel sang papa dan hanya disambut tawa oleh Anggasta.
Sebenarnya ada hal lain kenapa Anggasta ingin berlama di Jogja. Ada sebuah keputusan yang harus dia ambil. Dan butuh sebuah ketenangan untuk memikirkannya. Jogja, Kota itu yang dipilih.
Senyum Anggasta melebar ketika dia melihat kedua keponakannya tengah bermain di lapangan basket hanya dengan menggunakan celana pendek saja. Sedangkan bagian atas tubuhnya dibiarkan terbuka agar terkena cahaya matahari pagi. Mereka tengah asyik memainkan bola. Opa Aksa-lah yang akan mengasuh mereka di pagi hari. Seakan tengah membentuk mereka sedari balita.
"Besok pagi sebelum kamu terbang ke Jogja antar Opa jenguk kakeknya Alma," ujar sang opa ketika dirinya menghampiri kedua keponakannya.
"Baik, Opa."
Padahal, ada Gyan serta Papa Agha di sana. Tapi, opa Aksara lebih memilih diantar oleh cucu ketiganya untuk bertemu dengan sang teman yang keadaannya semakin membaik. Anggasta tak banyak bertanya karena perintah sang Maharaja tak bisa dibantah.
"Uncle kerja, ya."
Arsen hanya mengangguk tanpa menoleh. Sedangkan Arlen sudah berlari dan memeluk tubuh sang paman.
"Jangan nakal! Entar enggak Uncle ajak jalan." Arlen menganggukkan kepalanya dengan cepat dan membuat Anggasta tertawa melihat kelucuan dari keponakannya itu.
Ponselnya bergetar dan nama Jeno yang tertera di sana. Pamit lebih dulu kepada sang opa sebelum panggilan dari Jeno dia jawab.
"Lu di mana?"
"Baru masuk mobil."
Jeno menceritakan apa yang dilihatnya semalam ketika hujan. Samar dia melihat Bulan yang berjalan di tengah hujan.
"Lu salah liat kali."
"Mata gua masih normal, Angsa!"
Anggasta tak terlalu menggubris laporan dari Jeno. Melajukan mobil menuju kantor Wiguna Grup. Tibanya di lantai di mana ruangannya berada, dia mencari keberadaan Bulan. Perempuan itu sudah duduk manis di tempatnya. Hingga mata mereka berdua bertemu. Matanya terlihat begitu bengkak walaupun sudah ditutupi kacamata. Dan wajahnya sedikit pucat. Anggasta hanya menganggukkan kepala dengan seulas senyum yang sama seperti kepada karyawan lain.
Pikiran Anggasta sedikit terbagi setelah melihat keadaan Bulan. Dia meyakini jika yang dilihat Jeno semalam memang Bulan. Ponselnya bergetar, sang paman sudah menyuruhnya untuk segera menuju tempat meeting penting.
Baru saja keluar dari ruangan, para karyawan berkerumun di dekat meja Bulan. Anggasta segera mendekat dan tanpa mempedulikan apapun dirinya segera membawa tubuh perempuan yang sudah tak sadarkan diri menuju in house clinic. Sesekali dia melihat wajah Bulan yang begitu pucat.
"Tolong berikan penanganan terbaik."
Tak dihiraukan ponselnya yang terus bergetar. Memilih menemani Bulan sampai tersadar. Suhu tubuhnya cukup tinggi serta asam lambung yang naik pemicu hal ini terjadi pada Bulan.
Memandangi wajah Bulan yang sudah tak sepucat tadi. Kini, matanya tertuju pada bagian bawah mata Bulan yang masih sembab seperti tadi. Terkaan banyak berputar di kepala. Hingga panggilan lemah mulai menyadarkannya.
"Kenapa saya di sini?"
"Kamu pingsan."
Bulan terdiam tatkala sorot mata Anggasta seperti tengah mencercanya dengan banyak pertanyaan.
"Lebih baik untuk beberapa hari ke depan kamu istirahat di rumah. Pulihkan keadaan kamu dulu."
Tak ada jawaban, tapi mata Bulan masih tertuju pada teman terbaiknya di masa SMA.
"Saya tidak bisa menemani kamu lama-lama karena saya ada meeting penting."
Tubuh Bulan menegang ketika tangan Anggasta mengusap puncak kepalanya dengan begitu lembut. Hangatnya masih sama seperti dulu.
"Saya harus pergi."
Punggung kekar lelaki itu mulai menghilang dan tak terasa bulir bening menetes di ujung mata. Dia merindukan sosok Gaffi.
Setengah jam berlalu, pintu in house clinic terbuka. Mata Bulan membola ketika siapa yang sudah masuk ke dalam ruangan. Suasana begitu hening.
"Gaffi yang menghubungi aku untuk mengantar kamu pulang."
Ya, Anggasta bersusah payah meminta nomor ponsel Haidar kepada sang kakak. Dia menghubungi Haidar agar menjemput Bulan dan membawanya pulang.
"Jika, ada masalah selesaikan. Jangan jadi pecundang!"
Ucapan Anggasta via sambungan telepon terngiang sampai sekarang. Ujung matanya melirik ke arah kursi penumpang samping. Bulan yang terus memandangi kaca jendela mobil samping.
"Kita perlu bicara."
Bulan menoleh ke arah lelaki yang ada di sampingnya. Dan mobil pun berhenti di sebuah tempat makan.
"Pesan makanan dulu." Bulan menggeleng.
"Lan--"
"Perutku tak lapar. Hanya hatiku yang haus akan penjelasan."
Haidar terdiam mendengar kalimat skakmat yang terlontar dari bibir Bulan.
"Alma adalah cinta pertamaku. Dan karena dialah aku memiliki tekad yang kuat untuk menjadi orang sukses agar bisa setara dengan keluarganya. Maaf, aku belum bisa mencintai kamu karena hatiku masih sangat mencintainya."
Sakit sudah pasti, tapi sudah tak ada air mata yang mampu menetes. Rasa lelah membuat bulir bening itu surut. Dan seulas senyum pun mencoba Bulan ukirkan.
"Sekarang, kamu boleh mencintainya dengan terang-terangan karena kita sudah tak ada lagi ikatan." Haidar terdiam, tapi matanya menatap Bulan dengan begitu dalam. Manik indah mata Bulan terlihat begitu sayu nan pedih.
"Terimakasih untuk lima tahunnya. Dan terimakasih di satu tahun hubungan kita kamu selalu memberikan kebahagiaan. Berbahagialah selalu dengan perempuan yang kamu cinta. Dan jangan pernah sakiti dia. Cukup aku yang kamu sakiti."
✨✨✨
Pagi ini sebelum ke Jogja, Anggasta mengantar sang opa ke rumah sakit. Ada Alma di sana. Dan mereka pun berbincang berdua.
"Gas, pacar kamu ternyata kenal sama pacar aku."
"Pacar?" Dengan dahi yang mengerut.
"Yang waktu itu sama kamu di minimarket Bandung."
Anggasta terdiam. Dan mulai mencerna ucapan Alma di awal tadi.
"Maksud kamu Bulan ketemu Haidar?" Dengan cepat Alma mengangguk.
Ketika meeting selesai rasanya ingin segera kembali ke Jakarta, tapi dia juga sudah memiliki jadwal untuk bertemu sang sahabat. Di mana dirinya dan Jeno sangat sulit untuk bertemu lelaki yang dua tahun lebih tua dari mereka karena jadwal yang selalu bentrok.
Dan di sebuah kereta yang sudah melaju, seorang perempuan sedang berbicara melalui sambungan telepon.
"Mas Langit, Adek udah di jalan. Tunggu Adek di sana, ya."
Cuti sakit yang Bulan ambil digunakan untuk pergi sejenak dari Kota yang menorehkan luka. Ingin menenangkan hati bukan menyembuhkan hati karena luka di hatinya termasuk luka yang lama sembuhnya.
"Sekai!"
Bulan terdiam mendengar suara samar dari balik sambungan telepon sang kakak. Langit adalah kakak satu ayah lain ibu.
"Dek, Mas tutup dulu ya teleponnya. Teman-teman Mas udah pada datang. Mas akan jemput kamu nanti."
Suara samar itu masih terngiang di telinga. Sangat tak asing dan mirip seperti suara sang teman yang dia rindukan.
...*** BERSAMBUNG ***...
Mana atuh komennya ini?
dari dulu selalu nahan buat ngehujat si bulan tapi sekarang jujur muak liat wanita oon yg mau aja diperbudak cinta sampe jadi nggak tau malu dan buta hadeh wanita jenisan bulan emang cocok ama laki-laki jenis Haidar sama2 rela jatuhin harga diri demi cinta kemaren sempet agak seneng liat karakternya pas lepasin Haidar sekarang jujur ilfil sudah dan nggak layak buat gagas terlalu berharga keluarga singa cuman dapet menantu sekelas si bulan
kalau cewe udah terluka
pilihan opa ngga ada yang meleset...
good job alma👍 gausah jadi manusia gaenakan nanti mereka yg seenak jidat kaya mamak nya si haidar
lagian tuh ya.... para karyawan gak punya otak kali ya , dimana dia bekerja bisa-bisanya merendahkan dan menggosip pimpinannya , pada udah bosan kerja kali ya .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lnjut trus Thor
semangat
psfshal diri ny sen d iri pun menyimpsn luka yg tsk bisa di gambar kan.
sya dukung gagas sma Alma..
saya pantau terus author nya
jiwa melindungi gagas mencuat 🤭
btw oppa cucu nya abis di siram sama Mak nya Haidar TUHH masa diem2 aje