“Tolong cabut paku di kepala kami! Tolong! Argh sakit!”
“Tolong aku! Paku ini menusuk otak hingga menembus batang tenggorokan ku! Tolong!”
Laila baru saja dimutasi ke wilayah pelosok. Dia menempati rumah dinas bekas bidan Juleha.
Belum ada dua puluh empat jam, hal aneh sudah menghampiri – membuat bulu kuduk merinding, dan dirinya kesulitan tidur.
Rintihan kesakitan menghantuinya, meminta tolong. Bukan cuma satu suara, tetapi beriringan.
Laila ketakutan, namun rasa penasarannya membumbung tinggi, dan suara itu mengoyak jiwa sosialnya.
Apa yang akan dilakukan oleh Laila? Memilih mengabaikan, atau maju mengungkap tabir misterius?
Siapa sebenarnya sosok bidan Laila?
Tanpa Laila tahu, sesungguhnya sesuatu mengerikan – menantinya di ujung jalan.
***
Instagram Author ~ Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tolong : 15
"Juragan, saya_ saya barusan _” Dia menggelengkan kepalanya. ‘Lebih baik jangan jujur, dia adalah sosok misterius sekaligus menyeramkan, sering membuat bulu kudukku meremang.’
“Apa kau mengidap penyakit ayan bu Bidan?”
“Hah?” Laila tidak berkedip, menatap seperti orang bodoh sosok pria memegang tali kalang Kuda.
“Tentu saja tidak punya! Tadi saya cuma mau bilang, berada disini berasa seperti di batas surga dan neraka,” dia tidak peduli kalau kalimatnya tidak nyambung.
“Mana Kudanya?”
Pram menjepit bibir bawah menggunakan ibu jari dan telunjuk, ia bersiul memanggil seekor Kuda yang sedang merumput.
Drap!
Drap!
Tubuh Laila luruh, bokongnya terduduk di rerumputan – matanya membulat sempurna, ia tak sanggup berkata-kata dikarenakan terlalu terkejut.
Pramudya terlihat puas melihat raut pias bidan yang menurutnya aneh, mudah akrab, berlidah tajam, terkadang terlihat seperti orang kurang waras.
“Itu Kuda yang Juragan maksud?” Dia menunjuk pada hewan berkaki empat yang berdiri satu meter darinya.
“Iya.”
“Itu bukan Kuda, Juragan! Dia lebih mirip Babi hutan! Pendek, Cebol!” Laila histeris, sepatunya menendang rumput.
Tiba-tiba si Kuda yang memiliki tubuh mirip Keledai meringkik sambil mengangkat kaki depan, kaki belakangnya menendang tanah mengambil ancang-ancang – berlari kencang menuju wanita yang baru saja menghinanya.
Laila ketakutan, dia nyaris tersungkur kala berlari disaat belum berdiri sempurna. “Jin Kampret! Keluar kau! Tolong aku!”
Yang dimintai tolong seolah tuli, mati, sama sekali tidak merespon.
“Uyut! Cicit mu mau dimakan Kuda Babi cebol! Huwwaa!” Napasnya tersengal-sengal, dia masih berlari tidak tentu arah. Si kuda berada tepat tiga langkah di belakangnya.
Pramudya menggigit pipi bagian dalam agar tawanya tidak menyembur. Matanya menatap kemana si wanita berlari menghindari kejaran hewan peliharaannya.
Bugh!
Laila terjerembab, kakinya tersangkut di batang pohon tumbang, wajahnya terbenam pada dedaunan kering, dan bibirnya mencium tanah lembab.
Peh!
Dia meludah, mengerang kesakitan, membalikkan badan. Pandangannya berputar-putar seolah ada kunang-kunang putih berjumlah ribuan.
Terdengar suara meringkik bernada tinggi yang menunjukkan seekor Kuda sedang senang, lalu mendengus – hewan itu merasa puas.
“Kurang ajar! Aku dikerjai oleh Kuda Babi!” Laila tidak terima, sambil menahan sakit dia menarik kaki, kemudian berlutut. Matanya mengerling ketika melihat mesin pemotong kayu berukuran sedang – teronggok di bawah batang pohon tumbang yang ukurannya lebih besar daripada badannya.
Laila merangkak meraih mesin sinso, menarik tali tuasnya – pada percobaan keempat baru berhasil. Seketika terdengar suara bising khas alat pemotong kayu.
Kuda pendek bewarna coklat muda ketakutan, berlari kencang ke arah sang tuan.
Ya, Kuda adalah hewan yang mudah terkejut, dan takut oleh bunyi asing. Sehingga merasa terancam dan kebanyakan berakhir stres.
Giliran Laila yang tertawa bak pembunuh psikopat, dia puas sekali. Kedua tangannya memegang mesin yang masih menyala, berdiri dengan seringai keji.
“Matikan Laila!” teriak Pramudya, dia turun dari kuda yang ditungganginya.
“Tak mau! Berikan dulu Kuda buat saya!” Dia memanfaatkan situasi, mencoba mengambil keuntungan. Hitung-hitung kompensasi atas ketakutannya tadi.
Pramudya kembali bersiul, kali ini lebih panjang nadanya.
Beberapa detik kemudian – derap langkah terdengar tegas, kencang menjejak rerumputan.
Seringai puas tercetak di bibir Laila, dia melempar mesin sinso yang mesinnya masih menyala. Berjalan seraya menahan pegal pada bokong dan paha.
Laila memandang takjub pada Kuda berwarna hitam mengkilap. Surai di atas kepala hingga leher terlihat indah, ikut bergerak sesuai derap kaki. Bulu ekor menari-nari, otot-otot Kuda jantan itu sangat kokoh. Memiliki tinggi sempurna, terlihat gagah dengan pelana bewarna senada.
‘Ini baru Kuda jantan tangguh, bukan cebol banyak tingkah.’ Dia berjalan mendekat, seolah terhipnotis dan enggan berpaling.
“Tunggangi lah! Kalau Jabrik mau menurut denganmu, kau boleh meminjamnya.” Pram bergeser ke samping.
Entah dorongan dari mana, seolah ada sesuatu tak kasat mata menggerakkan bibir Laila membaca mantra warisan dari Uyut nya. Mulutnya bergerak pelan seperti orang bergumam – tangan berjari lentik itu terangkat mengelus pipi Kuda lalu membelai surai di sepanjang leher.
Hal menakjubkan terjadi, Kuda bernama Jabrik menekuk kedua lutut bagian depan, kepalanya menunduk dalam, seperti memberi penghormatan.
Laila sungguh terkejut sekaligus takjub. ‘Ternyata aku sangat berbakat menjadi dukun. Ck ck … memang hebat kau laila.’
Tanpa Laila sadari, Pram menggelengkan kepala seraya mendengus.
“Ayo kita pulang kerumah!” Ditepuk-tepuk nya punggung berbulu pendek itu, dan tanpa banyak drama seperti Keledai tadi, si Jabrik langsung menurut, kembali berdiri.
Kaki Laila menginjak pijakan, tanpa kesusahan dia sudah duduk sempurna di pelana pacu. Kemudian menarik tali kalang agar dapat mengendalikan laju Kuda yang ditungganginya.
“Juragan saya pulang dulu ya. Minta tolong pada Bang Santo – nanti saat dia pulang kerja, bawakan makanan Kuda ini. Hiyak!” Tali dia tarik dan ayunkan pelan, kakinya menekan perut Kuda agar jalan.
“Mbah! Laila pulang!” teriaknya tidak tahu diri, melengos pergi.
Kuda tersebut berlari kencang, tidak terlihat kesulitan kala melewati jembatan licin.
‘Aku pasti kembali lagi, ada air terjun yang perlu diselidiki. Mataku tak mungkin salah melihat penampakan wanita bergaun terusan tadi.’
Selepas kepergian Laila – penghuni rumah memandang penuh arti pada Mbah Patmi. Santo ada dibelakang mereka. Bersama, ketiga sosok itu menyeringai.
.
.
Keesokan harinya.
Wanita yang kemarin telah menemukan kendaraan yang tepat untuk dirinya. Terlihat menunggangi Kuda – menyusuri jalan setapak pada perkebunan karet.
Si Jabrik berlari dengan keseimbangan tubuh menakjubkan. Berhasil menghindari akar-akar menjalar keluar tanah. Bunyi napasnya teratur, tenaganya tak dapat diukur oleh sang majikan barunya.
Bokong Laila turun naik, seiring dengan lari Kuda melewati medan jalan memacu adrenalin. Wanita itu menggendong tas ransel, dia mulai menjalankan misinya.
Perjalanan yang seharusnya di tempuh satu jam lamanya bila menggunakan motor maupun mobil. Cukup 45 menit saja waktu yang diperlukan oleh Kuda jantan itu.
"Sebetulnya kau ini Kuda atau kompas canggih?" Laila turun dengan muda, menarik pelan tali kalang. Dia heran pada kepintaran hewan pinjaman ini – Jabrik seolah mengerti bahasa manusia.
Ketika Laila mengatakan mau ke kota, tapi melewati jalan pintas. Kuda tersebut langsung berlari tepat sasaran sampai tujuan, tidak ada kejadian menyasar, apalagi tersungkur.
Pun, sewaktu kemarin saat Laila mengatakan pulang ke rumah dinas. Sang Kuda sudah hafal jalan, sementara Laila masih memikirkan belok kiri atau kanan.
"Pak, tolong jaga Kuda saya ini, ya. Jangan sampai lecet!" Dia menyerahkan tali kalang kepada penjaga parkiran khusus Kuda.
"Baik, Kak!" Diberikannya nomor karcis kepada Laila. Diam-diam dia memandang takjub pada wanita pemberani, terlihat sangat mahir menaiki Kuda berukuran besar.
Laila melangkah lebar, mencari keberadaan telepon umum. Tadi dia sempat bertanya pada tukang parkir, dan disinilah dirinya – sedang memasukkan koin agar dapat terhubung dengan seseorang nan jauh di sana.
"Halo ...."
"Hem. Masih bernapas nya dirimu, Laila?" jawab suara seorang pria.
"Tentulah! Takkan kubiarkan kau menikmati seorang diri warisan Ayah dan Ibu," balas Laila sengit.
"Adik kurang ajar! Orang tua kita masih hidup, kalau kau lupa!" emosinya mudah terpancing kalau sudah bersinggungan dengan adik semata wayangnya ini.
"Kirim sekarang juga – racun mematikan, dan senjata tajam kesayanganku, terus _"
"Nyawa siapa yang mau kau habisi, Laila Ngatemi?!"
.
.
Bersambung.
iya kah?
tapi kalau g dibaca malah penasaran
Smoga Fram dan Laila jodoh ya. 😆
di tunggu kelanjutan intan paok ya ka
salah satunya antisipasi untuk hal seperti ini.
bahkan kita sendiri kadang tidak tahu weton kita apa,karena ditakutkan kita akan sembarangan bicara dengan orang lain.
waspada dan berhati hati itu sangat di perlukan .
tapi di zaman digital sekarang ,orang orang malah pada pamer weton kelahirannya sendiri🤣
aciye ciyeeeee si juragan udh kesemsem sama janda perawan
Thor lagi donk