Viona Mollice, gadis 24 tahun—penghasil pundi-pundi uang yang bekerja keras bagaikan kuda. Ia melakukan beberapa pekerjaan dalam sehari hanya untuk menyambung hidup, juga membayar biaya kuliahnya.
Suatu hari, Viona mendapatkan tawaran pekerjaan dari temannya yang sama-sama bekerja di Harmony Cafe. Namun, entah bagaimana ceritanya hingga wanita itu bisa terbangun di sebuah kamar hotel yang sangat mewah nan megah dalam keadaan tidak wajar.
"Meskipun aku miskin dan sangat membutuhkan uang, tapi aku tidak menjual tubuhku!" ~ Viona Mollice.
***
Daniel Radccliffe, billionaire muda yang merayakan ulang tahunnya ke-27 tahun di sebuah club malam ternama di kotanya dengan mengundang banyak wanita dari berbagai kalangan.
Club malam dan wanita adalah gaya hidup lelaki yang biasa disapa Erick. Bertukar wanita sudah seperti bertukar baju yang dilakukannya beberapa kali dalam sehari. Bahkan, Erick membuang wanita segampang membuang permen karet. Dan sudah menjadi rahasia umum, jika Erick bangu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itsme AnH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Karena Aku Punya Uang
Di Ruangan Ganzhe—terkenal sebagai salah satu ruang eksklusif di Yule Club—suasana penuh aroma alkohol dan semangat memenuhi udara.
Lampu berwarna remang-remang berputar perlahan dan menyinari interior mewah dengan nuansa merah dan ungu lembut, menciptakan suasana yang panas dan menggoda.
Musik lembut, tapi mengguncang bergema dari speaker besar di sudut ruangan, menembus setiap sudut, membuat suasana semakin hidup dan sedikit memabukkan.
Viona menjadi pramusaji yang cekatan, melayani Zayn dan Luna yang duduk di sofa kulit besar di tengah ruangan, di depan mereka terdapat botol minuman berwarna cerah dan gelas berkilauan yang ertata rapi di meja kaca.
Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dengan gesekan pelan. Yola—teman seperjuangannya mencari nafkah di Yule Club—berdiri di ambang pintu, wajahnya menunjukkan kelegaan sekaligus cemas.
"Viona, Manager Wu memintamu melayani tamu di ruang Zhushu," katanya dengan suara tergesa-gesa.
Getaran di tangan Viona yang tengah menuangkan minuman ke gelas Zayn dan Luna seketika berhenti. Suara musik seolah berhenti sesaat, menyisakan jarum jam yang berayun perlahan di dinding kayu berkilau.
Ingatannya melayang pada sekelompok tuan muda yang pernah dilayaninya di ruang Zhushu—tempat tertinggi dan paling rahasia di klub ini—yang berujung di ranjang Daniel, pria tampan namun berbahaya yang pernah merenggut kesuciannya.
‘Mungkinkah dia juga di sana?’ pikir Viona, matanya menutup sebentar, berusaha menenangkan jantung yang berdebar keras di tengah gemuruh suara musik yang berirama lambat dan lembut, tapi penuh gairah.
"Hei, pergilah! Kenapa kau melamun?" Luna menginterupsi ketus, wajahnya sekilas tampak dingin dalam nuansa gelap ruangan ini.
Viona tersentak dan menatap ke sepasang kekasih yang duduk di depannya, dia tahu Luna hanya berlidah tajam, tetapi di balik itu, Luna sebenarnya baik hati.
Luna cemburu karena Viona sudah bersahabat lama dengan Zayn dan tahu banyak tentang lelaki itu—kekasih Luna sendiri.
"Nikmati malam kalian," ucap Viona lembut, lalu perlahan meninggalkan meja mereka, melangkah melewati lantai kayu yang berkilauan karena terpaan cahaya dari lampu gantung kristal besar di atas.
"Kami pasti akan menikmati malam ini—dan tentunya, tanpa kamu," Luna membalas dengan nada tajam. Zayn hanya mengangguk santai, senyumnya penuh makna, sambil menatap Viona yang hampir keluar dari ruangan.
Beberapa saat kemudian, Viona kembali masuk ke ruangan Ganzhe dengan wajah penuh keraguan. Diaa menatap Zayn dan Luna dengan perlahan, perang batin bergolak hebat. Hatinya merasa berat, takut menyampaikan maksud sebenarnya di tengah atmosfer klub yang penuh gairah ini.
"Ada apa?!" Luna yang duduk di sofa menyeringai, menatap Viona dengan tatapan tajam penuh cemburu, seakan-akan menganggapnya sebagai saingan.
"Emm..." Viona menggaruk tengkuk yang tak gatal, tampak ragu. Ia merasa hawa di ruang ini seolah mendorongnya untuk tetap diam.
"Cepat katakan!" Luna menatapnya dengan tatapan semakin menyebalkan, merasa waktu mereka terbuang sia-sia.
"Katakan, apa yang kamu butuhkan?" Zayn yang lembut, menatap penuh pengertian.
"Bisakah aku minta bantuan?" Viona menatap mereka dengan mata memelas dan penuh harap, jantungnya semakin berdebar keras.
"Tidak!" Luna langsung menolaknya dengan tegas.
"Bantuan apa?" Zayn penasaran, dengan mimik ingin tahu.
Mereka serentak menjawab, tetapi ketika Viona memohon agar mereka membantunya pulang, Luna menatapnya tajam dan menolak keras.
"Jika sesuatu terjadi di Ruang Zhushu, tolong, antarkan aku pulang," Viona memohon dengan suara bergetar. “Jangan biarkan orang lain yang melakukannya.”
"Lakukan sendiri!" Luna tidak mau kalah, lalu menoleh ke arah lain, berusaha menenangkan diri dari rasa kesal yang menggerogoti.
“Zayn … .” Viona menatap penuh permohonan pada sang sahabat.
***
Viona berdiri di depan pintu ruang Zhuzhu seolah tempat itu adalah gerbang ke dunia berbeda, mengingatkannya pada kandang buaya yang harus ditaklukkan tanpa luka.
Suara musik berdenyut di seluruh ruangan, mengiringi langkahnya saat menekan gagang pintu dan masuk perlahan.
"Semoga bukan dia yang harus aku layani," bisik hati Viona, berharap bukan Daniel yang menunggunya di dalam sana.
Dia tidak ingin bertemu lelaki itu lagi hari ini, apalagi di atmosfer penuh gelap dan semarak ini.
Viona berharap mendapatkan ketenangan di hari terakhirnya di Yule Club, dia memutuskan akan mengundurkan diri, meninggalkan tempat yang tak pernah memberinya kedamaian sejak bertemu Daniel—dan paling tidak, dia berharap tak lagi harus dipertemukan dengan pria itu.
Namun, harapan tinggal harapan saat sosok Daniel yang tampan dan dingin menatapnya dengan tatapan sulit diartikan. Senyum miring tersungging di wajahnya, menambah suasana tegang yang sudah mulai memuncak.
"Hei, manis. Kenapa melamun di sana? Ayo, temani kami minum," sapa Steven—salah satu teman Daniel dengan suara pelan—membawa suasana gelap klub menjadi sedikit lebih santai seolah menawarkan buai dalam dunia yang penuh godaan ini.
Viona tersentak dari lamunannya, matanya langsung terarah ke Daniel, lalu menunduk dan menghindar dari tatapan itu.
Dia tidak berani menatap Daniel lebih lama lagi, maupun teman-teman pria di sekitarnya.
"Ayo, sini," Jerry—fokusnya sebagai fuckboy yang terkenal—menggodanya dengan senyum nakal.
"Dia milikku!" Daniel mengucapkan dengan tegas dan suaranya dingin, wajahnya yang serius menambah suasana semakin dingin dan tegang.
Viona menatap ke arah Daniel saat pria itu mengklaim dirinya sebagai miliknya, tanpa mampu membantah, hanya berdiam diri, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Sini." Daniel menepuk sofa kosong di sampingnya.
Viona tidak bergeming, tetap menatap tajam. Dia tidak ingin menunjukkan kelemahan di tengah atmosfer ini.
"Atau mau duduk di sini?" Daniel menepuk pahanya sendiri, memperlihatkan tantangan sekaligus kontrolnya.
Mendengar itu, Viona menggertakkan gigi. Tak berdaya, dia akhirnya mengikuti langkah perlahan mendekati Daniel.
Namun, sebelum dia sempat duduk, Daniel lebih dulu menarik tangannya dan membuat Viona duduk di pangkuannya.
"A—apa yang kau lakukan?" pekik Viona tergagap, tubuhnya kaku karena kaget dan takut.
"Jangan bergerak, atau aku akan memakanmu di sini," bisik Daniel senshual, nafasnya hangat di telinga Viona.
Viona berhenti berontak, tubuhnya menegang. Pada suasana klub yang berdenyut ini, dia merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tak berkesudahan.
"Bagus, jadilah patuh," ucap Daniel penuh kemenangan, sementara Viona menunduk menahan amarah dan rasa takutnya.
"Bagus, kau selalu tahu mana yang berharga, dan yang tidak," puji Jerry, tersenyum bangga dan menepuk pundak Daniel dengan kekaguman.
Daniel larut dalam aromanya, membiarkan tubuh Viona membangkitkan 9airahnya yang selama ini tertahan—tanpa perlu sentuhan berlebihan.
Seperti sentuhan wanita pen9hibur yang pernah men9godanya dulu—tetapi gagal membangkitkan sisi buasnya.
"Aku siap menampungnya, jika kau sudah tidak membutuhkannya lagi," bisik Jerry dari dekat, suara yang nyaris tak terdengar di tengah gemuruh musik.
Tapi bisikan itu terdengar jelas di telinga Viona, yang langsung menampilkan tatapan penuh ancaman, seakan memberi peringatan agar lelaki itu tidak menuruti keinginan Daniel.
"Kalau malam ini kau memuaskanku seperti kemarin malam, aku tak akan memberimu padanya, dan aku akan berikan apa pun yang kau mau!" Daniel berbisik pelan, lalu menggigit kecil telinga Viona.
Wajah Viona langsung memucat. Dia merasa malu sekaligus marah, mendengar pengakuan Daniel yang melewati batas.
Viona segera berdiri, menatap tajam ke arah Daniel dan bertanya dengan marah. “Apa hakmu bisa seenaknya memberikanku pada pada orang lain?!”
Viona tak senang, dia merasa dirinya seperti barang rongsokan yang bisa dilempar sesuka hati oleh Daniel.
“Karena aku punya uang,” kata Daniel tanpa beban, bahkan senyumannya tampak tak memiliki dosa.
Viona menggertakkan giginya, mencoba yang terbaik menahan geram agar tak mengunyah Daniel saat itu juga. “Hanya karena kau punya uang banyak, bukan berarti kau bisa merendahkanku seperti ini!"
Perdebatan itu mengundang minat teman-teman Daniel, mereka tertarik melihat keberanian Viona—gadis cantik yang berani menolak pesona Si Sultan Playboy—Daniel.
“Kalau kau menolak, jangan harap bisa keluar dari sini!” seru Daniel, suara mengancamnya menggema di antara deru tawa. Dia tahu benar cara membungkam orang dengan intimidasi. “Kecuali...” Dia berhenti, menunggu ketegangan memenuhi ruang itu, memancing rasa ingin tahu semua orang.
Viona menahan napas, tidak menyukai perhatian itu, tetapi rasa ingin tahunya pun membara. “Kecuali apa?” tanyanya, nada suaranya penuh rasa berani meski dalam hatinya bergolak ketakutan.
Dengan senyum penuh kemenangan, tatapan Daniel mengarah ke meja, enam gelas kecil berisi cairan kuning mengkilap berjejer menanti.
Melihat gelas-gelas itu, Viona merasakan ketidaknyamanan merayap ke dalam dirinya. Dia tahu betul apa arti itu — dia bisa kehilangan kendali kembali, seperti malam di mana dia terjebak dalam permainan yang tak diinginkannya.
“Minum semua itu!” tantang Daniel, dan sorakan teman-teman mulai mengangkat semangat mereka, seolah memberikan tekanan tambahan kepadanya.
Di dalam hatinya, Viona berjuang, terjebak antara keinginan untuk melarikan diri dan rasa takut akan konsekuensi dari pilihan yang salah.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti sejam, Viona mengambil satu gelas dengan tangan bergetar. Dia menatap isinya, rasa takutnya meningkat.
Namun, dia tahu bahwa jika dia tetap berdiri di tempatnya, Daniel tidak akan membiarkannya pergi. Dia harus bertindak dan mengambil risiko.
Dengan keputusan mantap, Viona menenggak isi gelas itu dalam sekali tegukan. Semua suara seakan terhenti sejenak saat gelas itu jatuh ke lantai, menciptakan suara dentang keras di tengah kebisingan. Ruangan seakan bergetar dengan energi baru.
Detik berikutnya, dunia di sekelilingnya mulai sulit dipahami. Viona merasakan pusing menyerang, penglihatannya kabur. Dia berusaha menahan diri, tetapi gelap telah menerkamnya. Dalam pikirannya, dia berjuang untuk tetap sadar, untuk tidak jatuh ke dalam pelukan kehampaan yang sudah ditunggu oleh Daniel. Tapi semua upayanya sia-sia ....