Aku ingin kebebasan.
Aku ingin hidup di atas keputusanku sendiri. Tapi semua itu lenyap, hancur… hanya karena satu malam yang tak pernah kusangka.
“Kamu akan menikah, Kia,” kata Kakek, dengan suara berat yang tak bisa dibantah. “Besok pagi. Dengan Ustadz Damar.”
Aku tertawa. Sebodoh itu kah lelucon keluarga ini? Tapi tak ada satu pun wajah yang ikut tertawa. Bahkan Mamiku, wanita modern yang biasanya jadi pembelaku, hanya menunduk pasrah.
“Dia putra Kiyai Hisyam,” lanjut Kakek.
“Lulusan Kairo. Anak muda yang bersih namanya. Cermin yang tepat untuk membasuh aib keluargamu.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 15
Ruang Rapat Utama – Lantai 12
Damar duduk paling ujung meja panjang, berusaha terlihat tenang meski keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Jasnya masih rapi, tapi gerak tubuhnya jelas menunjukkan gelisah. Di depannya, laptop terbuka tapi belum satu pun file terbuka.
Sementara itu, Kia duduk di kursi tengah kursi yang biasanya hanya diduduki oleh CEO. Hari ini, untuk pertama kalinya, dia mendudukinya secara resmi.
“Baik, semua,” ucap Kia sambil mengetuk meja pelan dengan kuku berwarna pastel. “Mulai hari ini, saya akan langsung memegang kendali semua cabang perusahaan yang beroperasi di Indonesia. Mami sudah menyerahkan surat kuasa dan mandatnya.”
Beberapa direksi senior mengangguk sopan, tapi jelas ada ekspresi ragu. Salah satunya, Pak Anggara direktur keuangan, mengangkat tangan.
“Mohon izin, Bu Kia. Mengingat Ibu baru saja bergabung secara resmi, kami butuh kejelasan sistem pengelolaan baru yang akan diterapkan. Apakah ada rencana strategi jangka pendek?”
Damar mulai melirik Kia. Dalam hatinya, dia penasaran, Kia bisa jawab nggak ya...?
Tapi Kia hanya tersenyum penuh percaya diri. “Tenang, Pak. Saya sudah pelajari semua laporan dalam dua minggu terakhir. Dan untuk menjawab pertanyaan Bapak…”
Ia berdiri, menekan remote presentasi, dan layar besar di belakang menyala. Slide demi slide ditampilkan dengan struktur yang cukup rapi. Damar sampai ternganga, diam-diam kagum. Ternyata istrinya ini bukan cuma jago debat.
Hingga Kia menutup presentasi dengan kalimat tak terduga.
“Dan untuk bagian pengembangan sumber daya manusia serta pendekatan spiritual di internal perusahaan, saya tunjuk suami saya sebagai penanggung jawab sementara Pak Damar.”
“APA?” Damar hampir tersedak air mineral.
Semua mata menoleh padanya. Beberapa direktur saling berbisik pelan.
Kia tersenyum manis. “Beliau ini lulusan pondok dan S2 pendidikan Islam. Kita kan butuh pembinaan rohani juga, ya kan, Pak Anggara?”
Pak Anggara dan direksi lain langsung mengangguk ragu-ragu tapi tak enak menolak.
“Eh… iya… tentu… tentu saja itu penting.”
Damar mengangkat tangan pelan. “Maaf, ini... saya belum tahu tugasnya secara spesifik?”
Kia menoleh dengan angkuh, tapi matanya berkilat jenaka.
“Tugas Mas Damar ya... membina kami. Secara spiritual. Kalau perlu tiap Jumat ngisi kajian. Dan tiap pagi sebelum kerja, pimpin tadarus atau kultum singkat. Gimana? Bisa, Pak Ustadz?”
Damar makin ingin menghilang dari kursinya.
Para direksi mulai manggut-manggut penuh harap.
“Wah bagus tuh. Kalau ada pembinaan rohani, bisa memperkuat karakter karyawan.”
“Setuju. Selama ini kita terlalu sibuk sama angka.”
Kia menatap Damar sambil berbisik pelan tapi tajam, “Selamat datang di kantor suamiku.”
Damar hanya bisa menunduk pasrah. Dalam hati, dia membatin, Baru juga kerja bareng sehari, udah dikerjain begini.
Salah satu dewan direksi senior, Pak Fadli—yang dikenal santai tapi suka nyeletuk—tiba-tiba berseru sambil menepuk meja ringan, “Wah, kebetulan banget hari ini hari Jumat, Bu Kia!”
Kia langsung mengangguk pelan sambil memiringkan kepala dan menyunggingkan senyum licik khasnya.
“Betul, Pak Fadli. Saya juga baru ingat. Berarti Mas Damar bisa langsung mulai pembinaan rohaninya hari ini. Kultum sebelum salat Jumat, ya?”
Damar langsung menoleh cepat.
“Hah?” gumamnya nyaris tak terdengar.
Tapi Kia pura-pura tak dengar. “Tolong siapkan ruangan lantai 10, ya. Biasanya kita salat Jumat di sana, kan? Dan Pak Damar—eh maksud saya, Ustadz Damar—akan memberi kultum singkat sebelum khutbah.”
Seketika, semua direktur dan staf mengangguk-angguk semangat. Pak Budi yang duduk di sebelah Damar bahkan menepuk bahunya sambil berbisik, “Selamat ya, Ustadz. Ini rezeki, loh. Istri mendukung dakwah, perusahaan mendukung kegiatan rohani. Jarang banget!”
Damar cuma bisa tersenyum kaku.
Sementara Kia menatapnya puas, lalu berkata dengan nada pelan namun cukup menusuk.
“Anggap aja ini bagian dari cinta istri… yang nggak ingin ilmunya Mas Damar disia-siakan.”
Damar hanya menghela napas.
“Baiklah,” katanya lirih sambil meneguk air mineralnya pelan-pelan, seolah sedang menenangkan jiwanya sebelum naik ke podium nanti.
Ruangan lantai 10 mulai dipenuhi para karyawan dan direksi. Kursi-kursi disingkirkan. Karpet sajadah digelar rapi. Kia duduk di sisi belakang, menyilangkan tangan sambil mengamati suaminya yang berdiri kikuk di depan.
Damar mengenakan kemeja putih sederhana, tanpa jas. Raut wajahnya tenang tapi ia sengaja menunduk beberapa saat, memberi kesan gugup, meski di dalam hatinya lautan ilmu dan ketenangan mengalir deras.
Beberapa karyawan tampak membisikkan, “Itu suaminya Bu Kia? Ganteng juga, ya... Tapi kayaknya belum biasa bicara di sini.”
Kia tersenyum dalam hati. “Tunggu aja. Masih banyak yang belum kalian tahu.”
Damar mengangkat wajahnya perlahan, suara adzan Dzuhur masih menggema samar dari masjid kota yang terbawa angin lewat jendela terbuka.
Ia menarik napas, lalu mengucap salam dengan suara pelan tapi mantap.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...”
Semua hadirin terdiam.
Damar membuka kultum dengan menyebut nama Allah dan salawat. Nada bicaranya tenang, penuh makna, dan tak terburu-buru.
“Bapak dan Ibu yang saya hormati. Hari ini, saya ingin menyampaikan sesuatu yang ringan tapi semoga membekas. Tentang amanah. Karena sesungguhnya, dalam dunia kerja, amanah itu bukan sekadar tanggung jawab di atas kertas. Tapi juga bentuk ibadah.”
Kia mengangkat wajahnya. Tadi ia berpikir Damar akan bicara soal akhlak remaja, atau hukum shalat. Ternyata...
“Kita datang ke sini dengan banyak peran. Ada yang pemimpin. Ada yang pelaksana. Ada yang teknisi. Ada yang manajer. Tapi semua sejatinya sama hamba yang diuji. Dan tempat kerja ini, bisa menjadi ladang amal atau justru jadi tempat kita terpeleset.”
Damar melangkah kecil ke depan, suara lembutnya menggema. Tidak satu pun gadget berbunyi. Semua mendengarkan.
“Rasulullah berkata, ‘Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.’ Maka di sinilah letak kehormatan kita sebagai pekerja: bukan dari jabatan tapi dari kejujuran, dan ketulusan kita.”
Mata Kia tak berkedip. Hatinya seperti ditarik pelan-pelan ke ruang yang asing. Ada bagian dari dirinya yang terasa disentuh. Dulu, semua hal tentang kerja selalu tentang prestise, pencapaian, atau warisan keluarga. Tapi siang ini, Damar menjadikannya ladang pahala.
“Saya tidak kenal kalian satu per satu. Tapi saya percaya, di sini ada orang-orang hebat. Yang hanya butuh diingatkan bahwa kerja itu bukan beban. Tapi jalan pulang menuju ridha Tuhan.”
Beberapa staf perempuan di sisi kiri Kia menunduk, diam-diam menyeka air mata.
Dan Kia...
Ia menunduk pelan. Genggaman tangannya mengendur. Tatapan tajamnya luntur oleh bening air mata yang menolak jatuh.
“Mas Damar... siapa kamu sebenarnya?” bisiknya dalam hati.
Saat Damar menutup kultumnya dengan doa, suaranya tetap lembut. Tak ada kesan menggurui, justru mengajak.
“Ya Allah... jadikan kami orang-orang yang jujur di meja kerja, yang amanah di depan laporan, dan yang tak silau oleh dunia. Jadikan perusahaan ini bukan sekadar tempat cari uang, tapi tempat kami mendekat pada-Mu.”
Suasana hening. Tak ada tepuk tangan. Tapi justru karena itulah semua terasa lebih khusyuk.
kia ni ustadz bukan kaleng" kia jdi ngk udah banyak drama 🤣🤣🤣🤣