Milea, Gadis yang tak tahu apa-apa menjadi sasaran empuk gio untuk membalas dendam pada Alessandro , kakak kandung Milea.
Alessandro dianggap menjadi penyebab kecacatan otak pada adik Gio. Maka dari itu, Gio akan melakukan hal yang sama pada Milea agar Alessandro merasakan apa yang di rasakan nya selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SelsaAulia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Mentari mulai merunduk di ufuk barat, menghujani paviliun megah itu dengan cahaya keemasan. Gio memasuki ruangan, diikuti oleh para pengawal yang membawa empat troli mainan—harta karun Dominic. Ia menunduk, menatap Dominic yang tengah asyik bermain. "Sayang, kamu main dulu sama Sus, ya. Paman ingin menjenguk Ibumu dulu," katanya, suara lembutnya berusaha menyembunyikan beban yang ia pikul.
Langkah Gio terarah ke kamar Berlin, kamar yang dipenuhi aroma obat-obatan dan harum bunga-bunga segar.
Di sana, Dr. Gisela, wanita berambut cokelat dengan mata yang penuh empati, sedang memeriksa Berlin. Gisela, teman masa kecil Gio, adalah pahlawan yang telah menyelamatkan nyawa Berlin saat ditemukan dalam keadaan kritis, sebelum akhirnya Berlin terjatuh ke dalam koma panjang. Selama berbulan-bulan bertahun-tahun, Gisela yang setia menjaga, merawat, dan memantau setiap perubahan kondisi Berlin.
"Gio," sapa Gisela, suaranya lembut, menyapa kedatangan pria yang diam-diam ia cintai. Matanya, yang biasanya cerah, tampak sayu, mencerminkan beban tanggung jawab yang dipikulnya.
Gio hanya berdehem, wajahnya datar, menutupi kekhawatiran yang menggerogoti hatinya. "Hmm. Bagaimana keadaan adikku?" tanyanya, suaranya terdengar dingin, namun di balik itu tersirat keprihatinan yang mendalam.
"Belum ada perubahan. Ia masih belum bisa merespon lingkungan sekitar," jawab Gisela, suaranya sendu, mencerminkan keputusasaan yang mulai menggerogoti hatinya. Ia telah melakukan semua yang ia bisa, namun keajaiban belum juga datang.
"Apa pemeriksaannya sudah selesai?" Gio bertanya, suaranya mendesak, ia tak ingin berlama-lama di ruangan itu dengan wanita lain.
"Sudah, Gio. Kalau begitu, aku akan pulang. Besok aku akan kembali ke sini," jawab Gisela, mencoba tersenyum manis.
"Hmm, terima kasih atas kerja kerasmu," kata Gio, suaranya masih datar, namun ada rasa terima kasih yang tulus di balik kata-katanya.
Gisela berpamitan, meninggalkan Gio sendirian di kamar itu. Gio menatap wajah pucat Berlin, adik perempuannya yang tercinta. Ia mengusap lembut tangan Berlin, berharap keajaiban akan datang, berharap Berlin akan kembali seperti dulu, akan kembali ke pelukannya, sehat dan ceria. Ia berdoa, dalam diam, memohon keajaiban.
*
*
*
Kejenuhan merayap dalam jiwa Milea. Udara di dalam mansion terasa pengap, mencekik. Ia memutuskan untuk keluar, melangkahkan kaki menuju taman yang terhampar luas di belakang mansion megah itu.
Para pengawal, yang kemarin menghalangi langkahnya, kini anya memberi hormat singkat, mengiyakan kebebasannya kali ini. Mungkin Gio lah yang memerintahkan mereka agar tak menghalangi Milea.
Dengan langkah pelan dan anggun, layaknya putri kerajaan, Milea berjalan menyusuri taman. Bunga-bunga bermekaran, menghiasi taman dengan warna-warna cerah, namun keindahan itu tak mampu mengusir rasa bosan yang menggerogoti hatinya.
Matanya terpaku pada seorang wanita yang berjalan menuju gerbang utama. Wanita itu tampak anggun, namun Milea tak bisa melihat wajahnya, hanya punggungnya yang menjauh, menghilang di balik gerbang besar.
Sebuah pertanyaan menusuk hatinya, tajam bagai belati. "Siapa dia? Sepertinya bukan pelayan. Apa dia teman Gio? Atau… kekasihnya?" Kata-kata itu bergema dalam benaknya, membawa serta rasa cemburu yang menggigit. Rasa cemburu yang tak terduga, yang tiba-tiba muncul dan menguasai hatinya.
Milea mengepalkan tangannya, merasakan gelombang emosi yang tak terkendali. Bayangan wanita itu, bayangan punggung yang menjauh, terus menghantui pikirannya. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan.
Mentari sore menyinari Taman Mawar, seharusnya tempat itu menjadi pelarian bagi Milea dari hiruk-pikuk emosi yang menggerogoti hatinya. Namun, wanita yang baru saja di lihat nya kekasih justru semakin mengacaukan perasaannya.
Kecewa, Milea berbalik, melangkah gontai menuju mansion megah nan sunyi itu. Langkahnya baru beberapa meter, sebuah tangan kekar mencekal pergelangannya. Ia menoleh, jantungnya berdebar tak menentu.
"Gio?" bisikan itu lolos dari bibirnya, sebuah nama yang kini terasa asing sekaligus dekat.
"Kenapa kamu tidak jadi ke taman?" Suara Gio, lembut, menyapa telinganya. Ia melihat Milea datang, lalu berbalik pergi. Sebuah pengamatan yang membuatnya penasaran.
"Tidak apa-apa," jawab Milea, suaranya datar, tanpa emosi. "Udara… kurang bagus. Aku ingin kembali ke dalam." Bohong. Udara taman terasa sesak oleh kekecewaan yang membuncah.
"Ayo ke taman," Gio membalas, tangannya masih menggenggam tangan Milea, sentuhannya lembut, penuh pengertian. "Aku akan menemani kamu."
Milea merasakan sebuah gelombang mual. Sikap Gio yang berubah-ubah membuatnya frustasi.
Pagi tadi, sepulang dari rumah sakit, wajah Gio masih dingin, menusuk hatinya. Kini, ia tiba-tiba berubah menjadi lembut, perhatian. Perubahan yang drastis, tak terduga.
Milea bertanya-tanya, apa yang akan terjadi malam nanti? Akankah Gio kembali menjadi dingin, atau kelembutan ini hanya topeng semu.
Ketidakpastian itu terasa mencekik. Malam ini, seperti bayangan yang menghantui, menebar rasa takut dan ketidakpercayaan di dalam hatinya.
Dengan lembut, Gio menuntun Milea ke sebuah ayunan taman, ayunan kayu tua yang dicat putih, sedikit terkelupas oleh usia.
Ia mendorongnya pelan dari belakang, gerakannya hati-hati, seakan takut melukai Milea. Milea duduk dengan tenang, membiarkan angin sore menerpa wajahnya, membelai rambutnya yang terurai.
Bau harum bunga mawar dan tanah basah memenuhi indranya, namun tak mampu menenangkan hatinya yang masih bergejolak.
"Sekarang, katakan," suara Gio mengalun lembut, memecah kesunyian. "Kenapa tadi kamu ingin kembali ke mansion?" Pertanyaannya diiringi dengan sebuah kekhawatiran yang tersirat.
"Aku pikir… cuaca tidak terlalu bagus," jawab Milea, suaranya datar, tanpa sedikitpun perubahan dari jawaban sebelumnya.
Kata-kata itu terdengar seperti tameng, melindungi dirinya dari pertanyaan-pertanyaan yang lebih dalam.
Gio menghela napas pelan, tak ingin memaksa. Ia diam, hanya mendorong ayunan itu dengan lembut, gerakan ritmis yang menciptakan sebuah irama sunyi. Irama yang seakan mewakili kegelisahan yang terpendam di antara mereka berdua, sebuah keheningan yang lebih bermakna daripada kata-kata.
Semangat terus kak 💪
di tunggu back nya 🥰