Di dunia tempat kepercayaan bisa menjadi kutukan, Izara terjebak dalam permainan kelam yang tak pernah ia pilih. Gadis biasa yang tak tahu-menahu tentang urusan gelap ayahnya, mendadak menjadi buruan pria paling berbahaya di dunia bawah tanah—Kael.
Kael bukan sekadar mafia. Ia adalah badai dalam wujud manusia, dingin, bengis, dan nyaris tak punya nurani.
Bagi dunia, dia adalah penguasa bayangan. Namun di balik mata tajamnya, tersembunyi luka yang tak pernah sembuh—dan Izara, tanpa sadar, menyentuh bagian itu.
Ia menculiknya. Menyiksanya. Menggenggam tubuh lemah Izara dalam genggaman kekuasaan dan kemarahan. Tapi setiap jerit dan tatapan melawan dari gadis itu, justru memecah sisi dirinya yang sudah lama terkubur. Izara ingin membenci. Kael ingin menghancurkan. Tapi takdir punya caranya sendiri.
Pertanyaannya bukan lagi siapa yang akan menang.
Melainkan... siapa yang akan bertahan.
Karena terkadang, musuh terbesarmu bukan orang di hadapanmu—melainkan perasaanmu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia risti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hujan di tengah luka
“Izara, kau kenapa?” tanyanya pelan.
Bukan nada kasar yang biasa ia gunakan. Nada itu... terlalu lembut untuk seorang pria seperti dia.
Izara perlahan menengadah, menatap Kael dengan mata sembab dan napas tersengal. Tubuhnya masih gemetar, dan dia ingin mundur. Tapi kakinya terlalu lemah. Dan emosinya sudah lebih dulu roboh.
Kael segera berjongkok di hadapannya, melepaskan jas yang dikenakannya dan menyampirkannya di bahu Izara.
“Apa kau sakit?”
tanyanya, pelan tapi tegas.
Izara tak menjawab. Matanya menatap lurus ke jalan basah di hadapannya, sementara tubuhnya masih bergetar di balik lapisan kain tebal itu.
Kael menyentuh pelan lengannya, tapi gadis itu langsung mengejut dan menarik diri.
“Jangan sentuh saya,” ucap Izara, suaranya parau, nyaris patah.
“Aku hanya khawatir,” katanya akhirnya. “Kau duduk di tengah trotoar, menangis, menggigil. Izara....”
Izara mendongak perlahan, menatap wajah pria itu.
Izara mendongak perlahan, menatap wajah pria itu dengan mata merah dan penuh amarah yang telah lama terpendam.
“Lalu apa urusannya denganmu?” ucapnya getir. “Semua ini karena kau. Tak cukup kau menghancurkan saya?!”
Suara Izara pecah di udara dingin, nyaring dan penuh luka. Untuk sesaat, orang-orang yang berlalu di trotoar menoleh, tapi cepat-cepat berpaling, seperti tak ingin ikut dalam tragedi yang bukan milik mereka.
Kael tetap diam. Sorot matanya suram. Dalam.
Maafkan aku, Izara...” katanya akhirnya.
Suaranya serak. Penuh penyesalan.
“Kau tidak mengerti…” gumamnya, pelan namun tajam. Lalu, dengan tenaga yang tersisa, ia mendorong dada Kael agar menjauh darinya.
“Jangan ikuti saya. Jangan sentuh saya. Dan jangan pernah lagi muncul dalam hidup saya.”
Kael tak melawan. Ia hanya menatap Izara dalam diam.
Izara bangkit perlahan. Kakinya masih gemetar, tubuhnya masih basah oleh gerimis yang mulai turun. Tapi langkahnya teguh. Menjauh. Pergi.
Namun, dengan cepat Kael menarik tangannya, gadis itu tertarik hingga tubuhnya jatuh pada Kael.
"Aku tidak peduli, kau mau atau tidak, sekarang kondisimu tidak baik-baik saja." Katanya segera mengendong Izara.
Gadis itu tidak mau, dia memberontak keras. Kael berusaha menahannya tidak peduli dengan Izara yang memberontak.
"TURUNKAN SAYA!!.... LEPAS!!!" Teriaknya.
"Tidak, aku bilang aku tidak peduli."
Kael mengendong Izara hendak membawanya kedalam mobil, namun belum juga sampai tiba-tiba Kai datang berdiri dihadapannya .
"Apa yang kau lakukan? Turunkan dia, Kael." ucap Kai tajam.
Kael menurunkannya. Seketika, Izara berlari bersembunyi di balik tubuh Kai. Tangannya menggenggam erat sisi jaket pria itu.
"Kau sudah kelewatan!" Kai meledak. "Aku sudah bilang—berhenti menyakiti Izara! Apa kau belum cukup puas?!" Wajah kai memerah.
"Kau selalu salah paham padaku, aku hanya ingin membantu, apa itu sebuah kesalahan?" Sahut Kael tak kalah marah.
Kai bersiap membalas, namun gerakan lembut Izara menghentikannya. Ia menarik ujung baju Kai dan menggeleng.
“Saya ingin pulang,” gumamnya lirih.
“Tapi Izara, dia barusan—”
“Saya mohon. Saya tidak ingin berlama-lama dengan dia,” ucapnya sambil menatap Kael dengan mata muak dan penuh luka.
Kai menatap Kael lama sebelum berkata,
"Aku harap ini yang terakhir. Karena mulai sekarang, aku yang akan menjaganya. Termasuk darimu."
Lalu Kai pergi, memapah Izara dengan hati-hati. Langkah mereka menjauh.
Kael berdiri membatu. Matanya menatap punggung mereka—dan tanpa sadar, ia mengepalkan tangannya. Kencang. Napasnya memburu.