Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.
Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.
Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.
Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15 THE BOS
Hari telah berganti. Tapi rasa malu Zia masih tinggal di tubuhnya seperti kelembapan yang enggan mengering. Ia bahkan belum berani melihat pantulan dirinya di cermin. Sejak kejadian di kolam semalam—dengan pakaian basah, rambut acak-acakan, dan... wajah Viren yang terlalu dekat.
Zia menghela napas panjang dari balik pintu kamarnya. Ia tidak tahu harus berjalan ke mana hari ini—selain tidak ke kolam. Atau taman. Atau dapur. Atau... ruang mana pun yang mungkin dilintasi pria itu.
Namun Calligo terlalu besar untuk bersembunyi.
Langkahnya ia arahkan ke lorong depan, berharap udara segar bisa menghilangkan kegugupan. Tapi baru tiga langkah, Zia mendengar suara langkah sepatu dari arah berlawanan.
Deg.
Ia ingin berbalik. Terlambat.
Viren muncul dari balik tikungan. Langkahnya pelan. Tegas. Seperti biasa, ekspresinya datar. Tidak ada kerutan di dahi, tidak ada alis yang naik sedikit pun. Hanya tatapan tajam yang lurus ke depan, seolah udara pun tak sanggup menyela jalannya.
Zia berdiri kaku. Matanya sibuk mencari benda apapun untuk dilihat selain wajah pria itu. Dinding, vas bunga, kaki sendiri.
Tapi langkah Viren terus mendekat.
Dan saat jarak mereka hanya satu meter, pria itu berhenti.
"Kau tidak masuk angin semalam?" tanyanya, datar, nyaris tanpa intonasi.
Zia terdiam. Otaknya mencoba menerjemahkan maksud pertanyaan itu. Tapi suaranya hanya keluar seperti bisikan,
"Tidak... sepertinya..."
Viren menatap ke bawah. Mata tajam itu melirik ke kaki Zia yang sudah tidak diperban lagi. "Kau tak seharusnya berjalan jauh."
Zia menggenggam lengan bajunya sendiri. Entah kenapa, perhatian tanpa emosi itu justru membuat dadanya sesak. "Aku hanya ingin... mencari udara segar."
Viren tidak menjawab. Ia hanya bergeser sedikit ke samping—memberi jalan.
Namun saat Zia hendak melewatinya, pria itu berbicara lagi.
"Kalau kau ingin berenang lagi..."
Nada suaranya tetap datar, tapi kata-katanya membuat jantung Zia nyaris copot.
"...katakan lebih awal. Aku akan siapkan handuk."
Zia menoleh cepat, matanya melebar.
"Siapa yang mau berenang denganmu?" gumamnya, separuh memprotes, separuh panik.
Viren tidak menjawab. Ia hanya berjalan lagi, meninggalkannya dengan langkah ringan namun penuh dominasi. Udara seolah menahan napas setiap kali pria itu lewat.
Zia mematung.
"Ini bukan fair." batinnya.
"Wajah datarnya itu seperti serangan langsung. Dia bahkan tidak harus berusaha."
Dan sejak hari itu, seolah Viren memiliki hobi baru:
Muncul diam-diam di tempat-tempat yang tidak terduga—di dapur saat Zia membuat teh, di balkon saat ia sedang membaca, bahkan di perpustakaan tempat ia kira bisa menyendiri. Selalu muncul saat Zia paling tidak siap, dengan komentar seperlunya yang membuat Zia ingin menjerit hanya karena... ia tak bisa membaca pikirannya.
Lalu menghilang lagi seperti bayangan.
Viren tidak pernah tertawa.
Tapi entah mengapa, Zia merasa... pria itu tahu persis apa yang ia lakukan.
Dan kini, Zia yang semula tidak peduli, mulai memikirkan satu hal setiap kali melewati lorong panjang Calligo:
“Apa dia akan muncul hari ini?”
Sore hari, langit masih mendung. Zia berjalan pelan di lorong panjang menuju balkon dalam ruangan. Ia duduk, membawa satu buku tipis yang belum sempat dibaca. Angin menerpa ringan, dan suara hujan yang menetes dari talang seperti melodi lama yang menenangkan.
“Pindah tempat?”
Zia nyaris menjatuhkan bukunya. Ia menoleh cepat.
Viren berdiri di ambang pintu balkon, masih mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku. Wajahnya tetap tenang. Netral. Tidak ada senyum, tidak ada kerutan.
“Kenapa kau selalu muncul tiba-tiba?” tanya Zia, setengah kesal, setengah gugup.
“Aku tidak muncul. Aku hanya lewat.”
“Kenapa selalu lewat ke tempat aku ada?”
Viren mengangkat alis sedikit. “Kau merasa selalu ada di tempat yang menarik?”
Zia mengatupkan bibirnya. Tidak tahu harus membalas apa.
Pria itu berjalan mendekat, tanpa tergesa. Lalu duduk di kursi di seberangnya.
Mereka terdiam lama.
Zia ingin bicara, tapi tenggorokannya kering. Ingin pergi, tapi kakinya menolak.
Viren mengambil ponselnya lalu meletakkannya di atas meja kecil di dekat mereka.
"Apa ini?" tanya Zia.
"Berikan nomormu," ucap Viren, masih datar—namun bagi Zia, itu seperti perintah mutlak.
Dengan tangan gemetar, Zia mengambil ponsel itu, mengetikkan nomornya, lalu meletakkannya kembali.
"Sudah."
Viren mengambilnya kembali, mengetik sebuah nama lalu menyimpan kontak itu. Setelah itu, ia bangkit dan berjalan pergi begitu saja.
Zia hanya memperhatikan punggung pria itu, enggan berkata-kata. Terkadang, terlalu banyak bicara hanya akan membuatnya malu di hadapan pria seperti Viren. Ia menatap kakinya. Sudah satu minggu berlalu, dan bengkak di kakinya mulai hilang. Ia mengetik pesan singkat kepada Ami, lalu membuka kembali buku yang ada di pangkuannya.
Langkah kaki di lorong membuat fokus Zia terganggu, tapi ia tetap berpura-pura membaca. Dari ujung matanya, ia melihat Viren.
Pria itu lewat dengan pakaian berbeda—setelan serba gelap, lengkap dengan topi dan kacamata yang membingkai matanya. Ia menatap Zia sekilas, lalu pergi tanpa sepatah kata pun.
Zia menurunkan bukunya, menatap punggung Viren yang semakin menjauh. Ia hendak bangkit, namun hatinya berkata, "Untuk apa?" Niat itu pun ia urungkan.
"Dia pergi ke mana?" gumamnya pelan. Ketika ia melihat dari balkon pria itu masuk ke dalam mobil.
Jam menunjukkan pukul lima sore. Waktunya mandi dan bersih-bersih.
Sementara itu, Viren menjauh dari Caligo menuju markas Cinderline. Ia ingin melihat keadaan Samuel yang telah dipindahkan beberapa hari lalu. Kabarnya pria itu jauh lebih baik.
Perjalanan memakan waktu sekitar tiga puluh menit. Sepanjang perjalanan, Viren hanya diam. Tatapannya tajam ke depan, namun pikirannya berkelana ke banyak tempat—salah satunya, luka yang belum sempat ia jahit dengan kakaknya.
Setibanya di sana, beberapa orang langsung membuka pintu untuknya. Semua menunduk hormat saat ia melewati lorong menuju dalam. Langkahnya tenang, tapi tekanan dalam setiap langkah terasa berat, seolah membawa beban yang lebih dari sekadar kepemimpinan.
Kali ini, Viren tidak menuju ruang utama, melainkan langsung ke lantai atas—tempat Samuel dirawat. Setiap sudut ruangan sunyi, seperti menyesuaikan diri dengan atmosfer hati yang sedang retak.
Xin, otak utama sistem Cinderline, keluar dari ruangan. Ia menunduk hormat saat berpapasan.
"Keadaannya berangsur membaik," ucapnya singkat, lalu melangkah pergi tanpa banyak bicara. Seolah tahu, kata-kata tak akan cukup di antara dua saudara yang tak pernah benar-benar akrab.
Viren masuk, menatap wajah Samuel yang tampak pucat, dengan beberapa luka lebam dan robekan di sudut bibirnya. Untuk beberapa saat, ia hanya berdiri di sana. Tak bergerak. Tak bicara. Matanya menatap kakaknya seolah mencoba membaca kembali sosok yang dulu dikenalnya sebagai pelindung, dan kini terbaring lemah.
"Malam," sapa Samuel dengan lambaian kecil, suaranya serak namun berusaha terdengar ringan.
Viren tak langsung menjawab. Ia duduk di samping ranjang. Diam. Tatapannya dalam, menembus luka yang tak hanya ada di tubuh Samuel, tapi juga di hati mereka.
"Kenapa kau pergi tanpa memberitahuku?" gumamnya pelan, suaranya nyaris patah.
"Aku hanya pergi sebentar," jawab Samuel. Ada keengganan dalam nadanya, seperti seorang anak yang tahu ia bersalah tapi tak ingin menjelaskan.
"Sebentar yang hampir merenggut nyawamu?"
"Itu di luar dugaan. Aku tidak menduga bahwa dia salah satu alat orang lain," jawabnya lagi. Kali ini nadanya lebih rendah. Ada rasa malu yang tersembunyi.
Viren menghela napas. Ia menunduk, kedua tangannya mengepal di atas lutut.
"Meskipun kita satu darah, bukan berarti kau bisa seenaknya hanya karena kau sulung." Nadanya rendah, namun penuh dengan ketegasan dan luka lama yang belum sembuh.
Ya, Samuel adalah kakaknya—satu-satunya keluarga yang tersisa. Nama belakang mereka berbeda. Viren memakai nama ibunya, sedangkan Samuel nama ayah mereka. Tak ada yang tahu hubungan darah mereka. Yang orang tahu: Samuel adalah bos Cinderline, dan Viren hanyalah CEO Kairotek.
Mereka juga tampak berbeda—Samuel dengan rambut kuning seperti ibunya, sedangkan Viren berambut hitam seperti ayahnya. Perbedaan yang tampak kecil tapi membawa jarak di antara mereka.
"Aku tidak akan memaafkanmu jika kau pergi tanpa izin lagi," ucapnya setengah emosi, matanya masih menatap luka di wajah kakaknya.
Ketukan pelan di pintu memecah keheningan.
"Maaf mengganggu waktunya, Tuan," ucap pria berambut keriting dan kulit agak gelap—Dem. "Ada data yang harus Anda lihat."
Viren mengangguk. Ia berdiri perlahan, menatap Samuel sekali lagi sebelum berkata, "Aku akan kembali."
Ia lalu berjalan memimpin Dem menuju ruangan pusat kendali—tempat jantung Cinderline berdetak.
Pintu terbuka. Ruangan itu gelap, hanya cahaya biru dari layar besar yang menerangi wajahnya. Suara ketikan keyboard terdengar dari ujung ruangan. Beberapa staf teknis bekerja dalam diam.
Layar menampilkan tulisan besar: NEXUX.
Viren menggeser tampilan untuk melihat data tragedi Batako secara lengkap. Jake sudah menunggunya di sana.
Tragedi Batako – 5 November 2016 Terbakarnya pabrik senjata milik Cinderline.
Seorang saksi menyatakan ada beberapa ledakan terdengar sore itu. Entah uji coba senjata, atau perburuan berdarah dari dalam. Yang pasti, sekitar pukul lima, ledakan mulai terdengar.
Kelompok yang disebutkan terlibat:
Keluarga Blinder
Kelompok Maria
Keluarga Nimart
Asosiasi pemerintah tahun itu
"Kirimkan semuanya ke surel pribadiku," ucap Viren, wajahnya masih fokus menatap layar.
Lyn segera mengetik cepat setelah mendengar perintah itu.
"Seleksi lebih ketat semua klien. Aku tidak mau kejadian seperti ini terulang dua kali," tegasnya, lalu pergi meninggalkan ruangan.
Viren kembali masuk ke ruangan Samuel dengan sebotol minuman di tangannya. Ia duduk, lalu meneguknya perlahan. Matanya menatap langit-langit, seperti menimbang dunia yang ia jalani kini.
"Kau kembali untuk minum di depanku?" kesal Samuel.
"Tidak," jawab Viren. "Aku datang untuk berbicara tentang Leo."
Alis Samuel terangkat. “Kau membuatku seperti prajurit di hadapan Aoyama, dan sekarang kau seperti mengajakku bermitra. Apa maksudmu itu, adik kecil?”
"Cukup dia yang tahu Cinderline di bawah kendaliku langsung. Dan biarkan dunia tahu bahwa Cinderline adalah milikmu," jelas Viren.
"Bagaimana dengan SPEKTRA?"
"Sesuatu dengan rencana," jawabnya.
Samuel memutar wajah, menatap langit-langit ruangan. “Aku tidak akan sering menemuimu... karena Noah pasti sudah mengadu tentang dirimu.”
"Biarkan Cinderline kembali denganku. Kau urus saja Kairotekmu itu!" tegas Samuel, suaranya kini sedikit gemetar, bukan karena lemah, tapi karena takut kehilangan kendali atas satu-satunya warisan yang ia lindungi.
Malam kembali menyelimuti kota. Lampu-lampu kendaraan membentuk garis merah dan putih di jalanan utama. Gedung-gedung menjulang seperti penjaga diam yang memperindah langit malam dengan pantulan cahaya.
Di sebuah apartemen tinggi, seorang pria duduk sendiri dalam gelap. Hanya pantulan lampu kota yang menggambar siluet tubuhnya.
Noah memejamkan mata, tapi pikirannya tak henti berputar. Rasa sakit dan takut masih menjalar di tubuhnya meskipun ia sudah membaik setelah dirawat beberapa hari.
Wajah itu. Tatapan itu. Bukan wajah yang ia kenal. Tapi pria itu telah membuatnya tertekuk.
Dan jika benar pria itu yang kini memimpin...
Maka ia harus tahu siapa sebenarnya yang sedang ia hadapi.