NovelToon NovelToon
Takdirku Di Usia 19

Takdirku Di Usia 19

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: Putri Pena

Mentari, seorang gadis pemalu dan pendiam dari Kampung Karet, tumbuh dalam keluarga sederhana yang bekerja di perkebunan. Meskipun terkenal jutek dan tak banyak bicara, Mentari adalah siswa berprestasi di sekolah. Namun, mimpinya untuk melanjutkan pendidikan pupus setelah lulus SMA karena keterbatasan biaya. Dengan tekad yang besar untuk membantu keluarga dan mengubah nasib, Mentari merantau ke Ubud untuk bekerja. Di usia yang masih belia, kehidupan mempertemukannya dengan cinta, kenyataan pahit, dan keputusan besar—menikah di usia 19 karena sebuah kehamilan yang tidak direncanakan. Namun perjalanan Mentari tidak berakhir di sana. Dari titik terendah dalam hidupnya, ia bangkit perlahan. Berbekal hobi menulis diary yang setia menemaninya sejak kecil, Mentari menuliskan setiap luka, pelajaran, dan harapan yang ia alami—hingga akhirnya semua catatan itu menjadi saksi perjalanannya menuju kesuksesan. Takdirku di Usia 19 adalah kisah nyata tentang keberanian, cinta, perjuangan, dan harapan. Sebuah memoar penuh emosi dari seorang gadis muda yang menolak menyerah pada keadaan dan berjuang menjemput takdirnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 34. Mesin Yang Bisa Mengeluarkan Uang

📝 Diary Mentari – Bab 34

Bukan bodoh jika belum tahu, tapi akan tetap bodoh jika enggan belajar.”

— Mentari

...****************...

Tak terasa sudah dua bulan aku bekerja di Bali Tropic Wear. Dua bulan yang terasa seperti sebuah babak baru dalam hidupku—berat, penuh tantangan, tapi juga membuka banyak pintu yang selama ini tak pernah kubayangkan. Dunia di sini benar-benar berbeda dari Kampung Karet. Di kampung, aku akrab dengan aroma tanah, debu jalanan, dan suara kodok di malam hari. Di sini, aku harus terbiasa dengan hiruk-pikuk wisatawan, bahasa asing, dan alat-alat modern yang belum pernah kusentuh sebelumnya.

Hari ini aku masuk shift pagi. Biasanya aku bareng Tina atau Yuli, atau setidaknya ada Eka atau Mbak Ketut yang suka ngajak ngobrol sambil kerja. Tapi Tina sedang cuti tiga hari karena pulang ke kampungnya di Tabanan. Sementara Yuli, Eka, dan Mbak Ketut masuk siang. Jadi pagi ini, aku hanya bersama dua SPG lain yang belum begitu akrab denganku—salah satunya bule berambut pirang yang katanya kerja freelance sebagai SPG musiman.

Aku hanya tersenyum dan bekerja seperti biasa, melayani pelanggan, melipat baju, dan mengepel lantai toko yang mengilap. Sampai tiba-tiba, salah satu temanku berkata dengan nada buru-buru, “Tari, tolong antar tamu ini ke ATM di seberang toko. Kartunya nggak bisa dipakai, dia harus ambil uang cash.”

“ATM apa itu, Mbak?” tanyaku polos. Aku belum pernah ke ATM. Di kampungku, tak ada mesin seperti itu. Uang hanya berpindah tangan secara langsung—lewat keringat, hasil kebun, atau jual beli di pasar.

“Lihat tuh, yang kotak warna abu-abu di seberang,” katanya, menunjuk ke mesin kotak di seberang jalan.

“Oh iya… cuma nganter aja kan, Mbak?” aku bertanya ragu.

Dia mengangguk. “Nanti di dalam ada orangnya. Kamu bilang aja mau ngambil uang.”

Aku mengangguk meski kebingungan. Ada orangnya? Maksudnya gimana? Aku mencoba menyembunyikan kegugupanku. Sambil melangkah ke seberang bersama tamu Jepang yang hanya bisa sedikit berbahasa Inggris, aku berusaha menenangkan diriku. Mungkin orang itu akan membantu, pikirku.

Begitu masuk ke ruangan sempit berpendingin itu, aku celingukan. Tidak ada siapa-siapa.

Kosong.

Sunyi.

Hanya ada mesin besar dengan layar dan banyak tombol. Aku menoleh ke tamu yang berdiri kebingungan. Dia mengeluarkan kartu, lalu menunjukkannya padaku, berharap aku tahu apa yang harus dilakukan.

Dengan tangan gemetar, aku terima kartunya dan memasukkan ke slot kecil di mesin itu, mengikuti tulisan-tulisan yang kulihat di layar.

Tarik tunai.

Pilih nominal.

299.000.

Aku tekan angka satu per satu. Tapi ketika jari jariku menyentuh tombol “Enter”, tiba-tiba mesin itu berbunyi: Tit tit tit tit! Aku langsung panik. Aku takut aku salah pencet. Apa aku merusak mesinnya?

Kartu itu keluar lagi secara otomatis. Kami berdua terdiam. Si tamu segera mengambil kartunya dan pergi begitu saja. Aku masih berdiri di sana, keringat dingin mengalir di pelipis. Apakah aku salah? Apakah uangnya akan keluar? Atau… mesin ini marah padaku?

Aku keluar dari bilik ATM itu dengan kepala tertunduk dan wajah tegang. Jantungku berdetak kencang. Tapi dari kejauhan, aku melihat teman-temanku berdiri di depan toko sambil tertawa keras. Mereka menepuk-nepuk pundak satu sama lain sambil menunjuk ke arahku.

Salah satu dari mereka, si rambut pirang, berteriak sambil terpingkal, “Gimana, Tari? Ketemu orangnya di dalam mesin? Ada tuyul nggak?”

Aku tercekat. Jadi… mereka hanya bercanda?

“Emang di ATM ada orangnya, Mbak?” tanyaku lugu saat sudah berdiri di depan toko.

“Ya ada donk… Tuyul! Yang keluarin uang itu!” Mereka semua kembali tertawa, keras sekali, sampai beberapa pengunjung toko menoleh.

Aku merasa hancur.

Dadaku panas. Tenggorokanku tercekat.

Aku tahu aku terlihat bodoh. Tapi mereka tidak tahu… betapa terbatasnya duniaku sebelum ini. Tidak ada mesin ATM di Kampung Karet. Tidak ada yang pernah mengajarkanku soal kartu, PIN, atau tarik tunai. Aku tumbuh dengan belajar di bawah sinar lampu minyak, dan kini aku diseret ke dunia penuh lampu neon dan layar sentuh—tanpa siapa pun yang memanduku.

Aku berbalik, berlari ke gudang belakang sambil menahan air mata yang mulai menggenang. Di sana aku duduk, memeluk lututku, membiarkan sesenggukan kecil lolos tanpa suara. Aku tidak ingin siapa pun mendengarku menangis.

Aku hanya ingin… dimengerti.

Apakah salah jika aku tidak tahu? Apakah kekuranganku jadi bahan tertawaan?

Di sela tangisku, aku menatap tanganku yang masih gemetar. Aku sadar, aku harus belajar. Aku tidak bisa terus jadi gadis lugu dari kampung. Dunia ini kejam bagi yang tidak paham. Dunia ini tertawa untuk mereka yang tertinggal.

Hari itu aku berjanji—tidak akan ada lagi mesin atau hal modern yang membuatku merasa bodoh. Aku akan belajar. Aku akan memahami semuanya. Aku akan mengejar dunia, tak peduli seberapa cepat lajunya.

Karena aku, Mentari, bukan lagi anak kampung yang bisa diremehkan.

...****************...

Setelah tangis itu reda, aku kembali ke dalam toko dengan wajah yang kubasuh air. Tidak ada yang bertanya apa-apa. Bahkan tidak ada yang peduli aku pergi cukup lama. Mungkin mereka pikir aku hanya sedang ngambek atau pura-pura sibuk.

Sepulang kerja malam itu, aku langsung merebahkan tubuh di kasur kecil beralaskan bedcover Barbie yang mulai pudar warnanya. Kamar kos ini memang sederhana, tapi sudah menjadi tempat paling aman bagiku sejak tinggal di Ubud. Di sinilah aku bisa menjadi diriku sendiri. Tempat aku menyimpan tangis, lelah, dan juga tawa kecil yang datang tiba-tiba.

Malam itu aku tidak langsung tidur. Rasa malu dan pertanyaan tentang ATM masih menggantung di pikiranku. Aku tidak bisa tidur sebelum tahu bagaimana sebenarnya mesin itu bekerja. Apakah benar ada orang di dalamnya? Kalau tidak, bagaimana bisa keluar uang?

Dengan ragu, aku mengambil ponsel Nokia tuaku dan menekan nomor Kak Raka—satu-satunya sepupu yang selama ini paling sering membantuku saat bingung dengan hal-hal baru.

“Halo, Kak Raka?” suaraku lirih.

“Halo, Tan-Tan. Ada apa malam-malam gini?” jawabnya santai.

Aku langsung bercerita. Tentang kejadian siang tadi. Tentang ATM. Tentang bunyi tititit yang membuatku panik. Tentang temanku yang mempermainkanku dengan bilang ada orang di dalam mesin itu.

Di ujung telepon terdengar tawa Kak Raka meledak.

“Hahahaha! Astaga Tan, kamu tuh pinter di sekolah tapi kok bisa bodoh banget ya? Dibodohi gituan doang.”

Aku tersenyum malu sambil memeluk bantal. “Aku beneran nggak tau, Kak. Di kampung nggak ada ATM. Aku pikir beneran ada orang yang ngasih uang dari dalamnya.”

“Hadeh, dasar anak kampung satu ini. Harusnya kamu nggak usah panik. Di layar ATM itu ada pilihan uangnya kan? Biasanya Rp100.000 atau Rp50.000. Nah, tinggal pilih yang mendekati jumlah yang dimau.”

“Tapi tamunya mau ambil Rp299.000, Kak. Terus aku pencet satu-satu… tapi malah bunyi…”

“Yaaa kamu harusnya bulatin aja, jadi Rp300.000. Namanya juga ATM, nggak bisa keluarin seribu-seribu, apalagi recehan,” katanya sambil tertawa lagi. “Untung tamunya sabar.”

Aku mengangguk-ngangguk walau Kak Raka tak bisa melihat. “Terus… tapi Kak, bener nggak sih… ada orang di dalam mesin itu?” tanyaku ragu, jujur dari dalam hati.

Suara di ujung telepon mendadak terdiam.

“Serius nanya, Tan?” Nada suara Kak Raka berubah jadi agak tinggi.

“Iya… soalnya aku masih nggak ngerti. Kalau nggak ada orang, siapa yang ngeluarin uangnya?”

“Pikir aja sendiri, emang ada orang hidup di dalam mesin? Emang cukup ruangnya? Terus makan di mana? Tidur gimana?”

Aku tertawa kecil. “Iya sih…”

“Nanti aku jelasin teknologinya kapan-kapan. Tapi mulai sekarang kamu harus banyak baca ya. Dunia di luar kampung itu luas, Tan. Jangan sampai kamu jadi bahan ketawaan terus. Harus belajar.”

Belum sempat aku menjawab, suara di telepon langsung menghilang. Kak Raka menutup panggilan.

Aku terdiam. Tapi bukannya tersinggung, aku justru merasa bersyukur. Kak Raka memang keras, tapi selalu jujur. Ucapannya kadang menampar, tapi itu yang aku butuhkan. Aku tidak ingin selamanya jadi gadis kampung yang tak tahu apa-apa.

Aku duduk bersandar pada dinding, lalu meraih buku diary baru yang kubeli sebulan lalu dari kios kecil di pojok pasar Ubud. Sampulnya bergambar bunga teratai dengan benang emas di pinggirnya. Masih kosong banyak halamannya. Tapi malam ini aku ingin menulis sesuatu. Tentang pengalaman pertamaku berurusan dengan dunia modern. Tentang ATM. Tentang rasa malu, dan juga rasa ingin tahu.

Aku membuka halaman pertama dan mulai menulis:

Hari ini aku bertemu dengan mesin yang bisa mengeluarkan uang. Tapi tidak ada orang di dalamnya. Katanya, yang memberi uang itu adalah mesin. Dunia ini sungguh aneh. Tapi aku ingin memahaminya. Aku tidak ingin jadi gadis lugu yang selalu tertinggal. Aku ingin tahu segalanya. Pelan-pelan. Tapi pasti.

Aku menulis lebih banyak malam itu. Tentang rasa sakit karena ditertawakan. Tentang rasa takut ketika mendengar suara mesin. Tentang betapa lucunya dunia baru ini yang sering tidak bisa kupahami. Tapi satu hal yang kutahu pasti: aku tidak boleh berhenti belajar.

Aku menatap langit-langit kamar yang dihiasi stiker bintang-bintang fosfor yang menempel sejak dulu. Aku tahu besok akan ada hari baru. Aku tahu besok aku harus kembali ke toko, menghadapi orang-orang yang mungkin masih akan mengejekku. Tapi tak apa.

Karena aku sedang tumbuh.

Dan setiap pertumbuhan, katanya, memang menyakitkan.

“Aku bukan bodoh. Aku hanya belum tahu. Tapi aku akan tahu, dan itu janjiku.”

— Mentari

1
Komang Arianti
kapan tarii bahagiaa nya?
Komang Arianti
ngeenesss bangettt ini si mentarii😢😢
Putu Suciptawati
jadi inget wkt adikku potong rambut pendek, kakekku juga marah, katanya gadis bali ga boleh berambut pendek/Facepalm/
K.M
Ditunggu lanjutannya ya kk makasi udah ngikutin ☺️
Putu Suciptawati
/Sob//Sob//Sob//Sob//Sob//Sob//Sob/
K.M: Auto mewek ya kk
total 1 replies
Putu Suciptawati
yah kukiora tari akan menerima bintang, ternyata oh ternyata ga sesuai ekspektasiku
Arbai
Karya yang keren dan setiap bab di lengkapi kalimat menyentuh.
Terimakasih untuk Author nya sudah berbagi kisah, semoga karya ini terbit
K.M: Terima kasih dukungannya kk ☺️
total 1 replies
Putu Suciptawati
ayolah tari buka hatimu unt bintang lupakan cinta monyetmu...kamu berhak bahagia
Putu Suciptawati
senengnya mentari punya hp walaupun hp jdul
Putu Suciptawati
semangat tari kamu pasti bisa
Putu Suciptawati
puisinya keren/Good//Good//Good//Good/
Putu Suciptawati
karya yg sangat bagus, bahasanya mudah diterima.....pokoknya keren/Good//Good//Good//Good/
K.M: Terima kasih banyak sudah menyukai mentari kk ❤️❤️
total 1 replies
Putu Suciptawati
betul mentari tdk semua perpisahan melukai tdk semua cinta hrs memiliki
rarariri
aq suka karyamu thor,mewek trus aq bacanya
rarariri
/Sob//Sob//Sob/
Wanita Aries
Kok bs gk seperhatian itu
Wanita Aries
Paling gk enak kl gk ada tmpt utk mengadu atau skedar bertukar cerita berkeluh kesah.
Aku selalu bilang ke ankq utk terbuka hal apapun dan jgn memendam.
Wanita Aries
Kok ba ngumpul smua dsitu dan org tua mentari menanggung beban
Wanita Aries
Mampir thor cerita menarik
Putu Suciptawati
betul mentari, rumah atau kamar tidak harus besar dan luas yang terpenting bs membuat kita nyaman
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!