Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.
Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat satu hari sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.
Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.
Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.
Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 15 - Keputusan
Tidak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Tahu-tahu sudah tengah malam. Aku masih duduk bersandar, dihadapanku laptop menyala—masih di laman yang sama, akun mendiang kakak angkatku.
Perlahan aku menggosok mata yang mulai terasa perih dan sedikit lengket, lalu mendongak dan melakukan peregangan sesaat. Menatap jam yang sudah menunjukkan pukul satu malam.
Gorden di samping aku tarik sedikit, membiarkan cahaya rembulan menerobos masuk. Gemerlap permukaan laut yang terkena sinarnya pun sedikit membuat jenuh yang kurasa berkurang.
Sejurus kemudian aku menutup laptop. Kusudahi aktivitasku yang setia memantau apa saja yang ada di akun sosial media Soraya. Ketika sampai di ujung beranda, aku tidak begitu banyak mendapatkan informasi.
“Hoamm ... hanya ini?” Aku menutup mulut, mataku yang berair kembali aku usap-usap.
Setelah berjam-jam menghadapi laptop hanya segelintir informasi yang kudapat—itu pun sebagian aku menerka-nerka sendiri. Tapi yang jelas, aku sangat amat yakin bahwa dua tahun terakhir ini Soraya memang menjalin dengan pria itu.
Pria yang masih belum diketahui wajahnya dan mungkin pria itu yang dimaksud oleh Darius. Setelah ini, aku akan melanjutkan pencarian informasi. Mungkin dengan mendatangi rumah ibu dan ayah? Mengulik kamar Soraya yang bisa saja memberi petunjuk.
Ketika selimut sudah aku tarik dan hendak mengambil posisi yang nyaman untuk tidur, mendadak mataku melotot saat mendengar sesuatu yang pecah. Rasa-rasanya itu dari arah dapur, dengan perasaan malas bercampur penasaran aku pun bergerak menuju ranjang.
“Kamu terbangun?” katanya sambil memunguti pecahan gelas yang berceceran.
Aku sudah berada di ambang pintu dapur, mendapati Darius dengan muka pucat—berjongkok, memasang tampang linglung.
Segera aku pun menghampirinya, berjongkok dihadapannya. Aku menepis tangannya ketika menyadari darah mengucur tetapi ia tetap memunguti pecahan beling tersebut.
“Aku tidak bermaksud membangunkanmu, aku—”
“Aku belum tidur,” selaku sambil menuntunnya untuk berdiri.
Mengajaknya duduk di kursi, aku sigap mencari kotak P3K, langsung menaruhnya di atas meja makan. Sekalipun aku tak memandanginya, tapi aku tahu matanya itu membidik setiap pergerakanku.
“Kenapa ini bisa terjadi?” tanyaku untuk membelah fokusnya.
Aku meliriknya sekilas. Darius menatap jemari telunjuknya yang sedang dibebat perban olehku. Lalu tiba-tiba menggaruk pelipis.
“Oh, ini. Tadi kan terkena pecahan gelas, aku—”
“Maksudku, apa yang membuatmu sampai seperti ini? Berjalan ke dapur dan memecahkan gelas, kamu tidak sengaja melakukannya, kan?” serobotku lagi untuk memperjelas.
Kepala Darius tertekuk, kini yang ia usap adalah dahinya. “Aku ... merasa tersiksa di sini.”
Aku menghela napas mendengarnya. Aku bukan ahli dalam bidang ini, pun tak bisa sembarang menerka. Tetapi mungkin rumah ini ada kaitannya ingatan yang hilang dan memengaruhi psikisnya—bisa saja rumah ini memiliki arti ‘sesuatu’ sebelum Darius kehilangan ingatannya.
“Bagaimana, ya, setiap kali terbangun di pagi hari ... aku selalu merasa ada sesuatu yang hilang. Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana detailnya, tapi aku seperti kehilangan sesuatu di rumah ini atau sesuatu hal yang belum aku ketahui,” katanya menjelaskan.
Usai mengobati luka di jari telunjuknya, aku mengambil segelas air. Memberinya padanya. Lalu perlahan aku menarik kursi—duduk dihadapannya.
“Dokter memang sudah bilang kan? Kondisimu belum stabil, Mas. Meskipun kamu terlihat baik-baik saja, tapi mungkin sesuatu dalam dirimu belum sembuh seutuhnya,” jawabku seadanya.
“Iya, aku tahu, Soraya.” Suaranya terdengar melemah.
Helaan napas panjang tertahan dalam dada, persis ketika aku mengembuskannya segera aku bicara kembali, “Mau kembali ke rumahmu? Sambil menjalani perawatan lagi. Kita pastikan kita kembali lagi sampai benar-benar kamu bisa tinggal di sini, Mas.”
Namun Darius menggeleng, raut wajahnya terlihat suram. “Aku merasa berdosa ketika aku melakukannya.”
Tentu aku langsung mengerutkan kening. “Maksud kamu, Mas?”
Akhirnya Darius duduk dengan benar—punggungnya ia tegapkan, kini mantap menatapku tanpa pandangannya yang berlarian.
Saat dimintai pertanggungjawaban atas perkataannya tadi, Darius malah tertawa yang dipaksakan. Dia seperti kebingungan, punggungnya bersandar pada sandaran kursi.
“Aku hanya mencoba membandingkan,” katanya, yang tetap membuatku masih belum mengerti.
Kemudian Darius melipat kedua tangannya, dia menatapku dengan tatapan yang mengandung maksud tertentu.
“Kamu sangat berbeda sekali saat di sini, Soraya. Aku sangat ingat jelas sekali, saat pertama kali kita bertemu usai mengalami kecelakaan fatal, kamu tidak pernah seperti di sini. Eskpresimu, nada bicaramu, tingkah lakumu.”
Aku memutus kontak mata, menyapu pandangan ke sembarang arah.
“Seperti yang kamu katakan, kamu sangat menyukai tempat ini. Dan mungkin saja itu yang menjadi alasannya,” tambah Darius yang akhirnya membuatku angguk-angguk.
Sekarang aku paham ke mana muara pembicaraan ini. Aku tahu, mungkin Darius merasa tak enak hati denganku jikalau harus meninggalkan tempat ini. Tetapi kenapa? Kalau ditelisik pun Darius sama denganku.
Ketika berada di rumah ini, kami hampir tak pernah berdebat panjang yang membuatku sakit hati dengan perkataannya—maksudku dia lebih tenang dan tindakannya minim memicu konflik.
“Aku memang suka tempat ini,” kataku dengan ancang-ancang mencoba untuk mengambil keputusan, “Tapi aku tidak masalah jika sementara waktu kita kembali ke kota, tinggal di sana sampai kamu membaik.”
Bukan tanpa alasan aku berkata demikian. Seperti rencanaku sebelumnya—untuk menggali informasi terkait mendiang Soraya yang menjadi benang merah atas semua ini, tentunya akan menjadi pilihan yang tepat jika aku kembali ke sana.
“Tapi, aku—”
“Sudahlah, Mas.” Aku memotong pembicaraan seraya beringsut dari kursi, hendak membersihkan pecahan gelas yang masih berceceran di lantai sana.
“Saat itu aku masih syok, sama sepertimu. Kita sama-sama mengalami kecelakaan, meskipun aku tak begitu parah, tapi jangan begitu tega dengan menganggapku baik-baik saja,” ungkapku sambil meraih sapu dan sekop.
“Soraya, aku—”
“Kalau memungkinkan, besok pagi kita berangkat, Mas,” ujarku lagi sambil menoleh padanya, memberi tatapan yang berhasil membuatnya membeku di tempat.
Ah, andai saja aku tak perlu memiliki rasa penasaran dan perasaan tanggung jawab dalam situasi ini—mencari informasi terkait kematian mendiang kakak angkatku yang menjadi benang merah dalam permasalahan ini.
Jika itu terjadi, mungkin aku dengan egois memilih diam di sini—tak peduli jika pria itu harus tersiksa, toh lihat saja, dengan berada di sini pelan-pelan aku bisa mengimbanginya.
“Baiklah, tapi kita jangan tinggal di rumah orang tuaku,” timpalnya yang juga sudah beranjak dari kursi.
Aku menengok sepenuhnya. “Kenapa?”
Darius juga menatapku. “Memangnya kamu mau tinggal bersama mereka? Yang jelas-jelas memiliki muka banyak yang bisa membuat kamu merasa tertekan? Kamu lebih tahu tentang itu, Soraya. Aku hanya memberimu sedikit keringanan.”
Sedikit aku bisa memahaminya. Memang sejak awal—ketika pertama kali bertemu dengan mereka, aku bisa merasakan itu; ketidaksukaan.
Setelah mendengar alasannya itu pun aku segera angguk-angguk. “Baiklah. Kalau begitu, kita akan tinggal di mana?”
Darius berjalan menuju lemari es, matanya seperti mencari-cari sesuatu. “Soal itu, biar aku yang memikirkannya.”
Aku kembali menaruh fokusku pada sapu dan sekop di tangan kanan dan kiriku. Sampai ketika suara sebuah gelas ditaruh di meja, aku melongok sekejap—mendapati Darius tengah minum sesuatu.
“Aku akan segera tidur,” kataku usai membersihkan serpihan beling di sana.
“... pastikan untuk tidak memecahkan sesuatu lagi.”
Setelahnya dia memang tidak memecahkan barang-barang atau perabotan di dapur lagi. Tetapi dia memecahkan sesuatu yang lain...
***