Hara, gadis perfeksionis yang lebih mengedepankan logika daripada perasaan itu baru saja mengalami putus cinta dan memutuskan bahwa dirinya tidak akan menjalin hubungan lagi, karena menurutnya itu melelahkan.
Kama, lelaki yang menganggap bahwa komitmen dalam sebuah hubungan hanya dilakukan oleh orang-orang bodoh, membuatnya selalu menerapkan friendzone dengan banyak gadis. Dan bertekad tidak akan menjalin hubungan yang serius.
Mereka bertemu dan merasa saling cocok hingga memutuskan bersama dalam ikatan (boy)friendzone. Namun semuanya berubah saat Nael, mantan kekasih Hara memintanya kembali bersama.
Apakah Hara akan tetap dalam (boy)friendzone-nya dengan Kama atau memutuskan kembali pada Nael? Akankah Kama merubah prinsip yang selama ini dia pegang dan memutuskan menjalin hubungan yang serius dengan Hara?Bisakah mereka sama-sama menemukan cinta atau malah berakhir jatuh cinta bersama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizca Yulianah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sekelumit Kisah
Acara makan malam biasa itu selesai pada pukul sembilan kurang dua puluh menit, bukan acara makannya yang terlalu lama, melainkan basa basinya yang terlalu membosankan.
"Nginep di sini aja kenapa sih?" Mami yang menahan Kama pergi itu pun kembali menyuruhnya tinggal untuk semalam.
Namun Kama hanya diam, tak berniat menerima ajakan tersebut. Pun saat sang nenek memaksanya untuk tinggal, Kama tetap bergeming.
"Ini juga rumah kamu, kayak tamu aja abis makan langsung pulang" Oma melingkarkan tangannya ke lengan Kama, menahannya seolah-olah Kama bisa kabur kapanpun.
"Besok pagi aku ada tugas oma, pagi banget. Kejauhan kalau dari sini" Kama beralasan.
"Nanti mami bangunin deh. Ok honey (sayang)?" Tak ingin melewatkan kesempatan, mami masih saja terus berusaha.
"Atau mau tidur di kamar oma? Pasti Oma bangunin tepat waktu" Oma pun ikut mencoba peruntungannya.
Namun rayuan dari kedua wanita itu tetap tak mampu membuat Kama goyah. Dia tetap ingin pulang ke apartemennya.
"Udah lah boy, nginep di sini aja, itung-itung nyenengin mami sama oma" Kali ini Baskoro, papi Kama ikut merayu.
Kama menatap papinya lekat-lekat, menelisik setiap jengkal dirinya.
"Should i (haruskah)?" Terdengar nada sinis dalam suaranya. "But i'm scared to sleep alone, i think i need a room maid (tapi aku takut tidur sendiri, sepertinya aku butuh di temani)" Seringai Kama kepada papi membuat papi yang semula santai kini sedikit tegang.
(room maid yang di ucapkan kama disini terdengar seperti roommate bagi mami dan oma, karena di ucapkan dengan sedikit bergumam)
"I got you" Kama mengerlingkan mata ke arah papi yang sekarang sudah berwajah pias. "Aku pulang dulu deh mam, oma, udah malem banget nih" Kama memeluk oma dan maminya bergantian, dan hanya anggukan dagu kepada papi yang masih saja berdiri mematung.
"Be careful sweetheart (Hati-hati sayang)" Mami pun akhirnya menyerah, setengah berteriak saat Kama mulai melangkah pergi.
"Wees voorzichtig, schat (Hati-hati sayang)" Oma pun ikut mengeraskan suaranya melepas kepergian Kama.
Tapi tidak dengan Baskoro, wajahnya yang semula pias kini telah menemukan warnanya, merah padam memendam kemarahan. Rahangnya mengeras dengan tangan menggenggam menampilkan buku jari-jarinya yang memutih.
Brengsek
Makinya saat Kama telah sepenuhnya menghilang di kejauhan.
...****************...
Rumah Alisya
Pukul 19.30
"Jangan buru-buru, yang penting kalian harus ngerti cara ngerjainnya" Hara yang sedang mengawasi para bocah-bocah yang kini sedang tekun mengerjakan PR mereka itu pun cuma bisa geleng-geleng kepala.
Beberapa dari mereka mengerjakannya sambil duduk, namun beberapa lainnya mengerjakan sambil tengkurap, dan beberapa lainnya hanya melihat-lihat, dengan pikiran toh nanti juga di kerjakan bersama-sama oleh kak Hara.
Melihat anak-anak dengan segala macam tingkahnya, membuat Hara seperti bercermin pada dirinya sendiri.
Hara kecil, menurut ibu, adalah anak yang pendiam dan patuh. Pun saat berusia lima tahun dan harus menerima kenyataan bahwa sosok ayah yang selama ini membersamai harus pergi untuk berkerja menjadi tenaga kerja di luar negeri.
"Bapak kepengen nyobak hal anyar nduk (Bapak ingin mencoba hal baru nak)" Jawaban itu lah yang berkali-kali di terima Hara tatkala dia menanyakan alasan kepergian bapak yang berkerja jauh dan tidak pulang-pulang.
"Terus mantukipun kapan buk? (Terus pulangnya kapan bu?)" Namun pertanyaan Hara pun sepertinya tipe pertanyaan template anak-anak juga. Selalu sama dan itu-itu saja.
"Engkok nek driji ne Hara wes nutup kabeh sepuluh, bapak mantuk (Nanti kalau jari-jari sepuluh Hara sudah menutup semua, bapak pulang)" Terang ibu dengan sabar kala itu.
Hara kecil yang saat itu sedang menemani ibu memasak di pawon (dapur/tungku yang terbuat dari tanah dengan bahan bakar kayu) hanya bisa manggut-manggut. Meski tidak paham kapan waktunya menekuk kesepuluh jarinya.
Rumah Hara di bawah lereng gunung merapi yang sudah tidak aktif. Desa terpencil yang sebagian penduduknya masih bermata pencaharian sebagai petani atau peternak.
Sebenarnya keluarga dari pihak ibu Hara bisa di katakan berkecukupan. Kakek Hara dari pihak ibu adalah seorang kepala desa dan memiliki sawah yang cukup luas. Sedangkan kakek dan nenek dari pihak ayah sudah lama meninggal, dan bapak tidak memiliki saudara atau kerabat lagi, entahlah Hara juga tidak terlalu paham dengan silsilah keluarga dari pihak ayahnya.
"Mboten wonten bapak, punopo ibu mboten mantuk ten griyanipun si mbah mawon bu, eco ten mriko (tidak ada bapak, kenapa ibu tidak pulang ke rumah kakek saja, di sana lebih enak)" Hara yang kali ini bermain masak-masakan kembali bertanya kepada ibunya.
Namun jawaban yang Hara dapatkan hanya berupa usapan lembut di puncak kepalanya, dan senyuman serta "Bapak ngendika, ibu kudu njogo omah yen bapak lungo, ibu kudu amanah karo pesene bapak. Hara purun ibu dadi wong seng mboten amanah? (Bapak berpesan, ibu harus menjaga rumah kalau bapak sedang pergi, ibu harus amanah dengan amanat bapak. Hara mau ibu jadi orang yang tidak bisa di percaya?)"
"Mboten bu, mboten purun, ibu kedha amanah (Tidak bu, tidak mau, ibu harus amanah)" Hara kecil menggeleng sekuat tenaga.
Meskipun kehidupan Hara jauh di bawah kata cukup, tapi Hara belum pernah mendengar ibu dan bapak bertengkar, di mata Hara mereka selalu rukun dan kehidupan mereka damai walau serba kekurangan.
Hingga hari raya tiba, saat itulah Hara baru mengetahui alasan ibu yang tidak mau pulang ke rumah kakek.
Hara yang baru pertama kali ini merasakan euforia membeli baju baru di hari raya tentu sangat senang saat ibu mengajaknya pergi ke pasar.
Berbekal jalan kaki menuju terminal yang jaraknya cukup jauh pun tidak mengurangi rasa bahagia yang membuncah di hati Hara kecil. Sesampainya mereka di pasar, baru kali ini Hara melihat ibu membeli begitu banyak barang, mulai dari baju baru, mukenah baru, sandal, hingga aneka kue khas hari raya. Dan jumlahnya tidak sedikit.
"Wah kuatah buk! (Wah, banyak sekali bu!)" Hara melompat-lompat kegirangan saat melihat banyak sekali kardus bertumpuk di pinggir jalan. Kali ini mereka pulang dengan menyewa dua buah becak. Satu untuk mereka naiki, dan satu lagi untuk membawa barang-barang.
Setelah abang tukang becak selesai menaikkan belanjaan mereka, dan mengikatnya dengan kencang agar tidak sampai jatuh. Barulah mereka pergi meninggalkan pasar, tapi bukan menuju ke arah rumah. Melainkan langsung ke rumah si mbah juga seluruh keluarga besar dari pihak ibu.
"Langsung ten griyanipun si mbah nggeh buk?(Langsung pergi ke rumah kakek nenek ya bu?)" Hara kecil yang terlampau antusias itu pun tak henti-hentinya bertanya kepada ibu.
Bagaimana tidak, semua pengalaman ini adalah yang pertama baginya, beli baju baru, sandal baru, mukenah baru, dan terlebih lagi dia bisa ater-ater (memberikan makanan atau kue ke rumah saudara yang lebih tua dan kemudian mendapatkan uang saku). Jadi nanti saat dia dan teman-temannya saling bercerita tentang hiruk pikuk hari raya, dia bisa ikut menyumbangkan cerita versinya.
"Mangke kulo nggeh buk sing maringaken dateng si mbah, kersane angsal sangu (Nanti aku saja yang memberikannya kepada kakek, biar nanti bisa dapat uang saku)" Hara kecil bolak balik mengingatkan ibunya, takut kalau ibunya terlupa.
"Nggeh nduk cah ayu (Iya anak cantik)" Ibu pun dengan sabar meladeni semua permintaan Hara kali ini.
Namun, bayangan Hara yang sudah kadung membumbung tinggi di awan harus di hempaskan jatuh ke dasar tanah oleh kenyataan. Bahkan mungkin menembus inti bumi.
Kakek yang dia kira akan menerima ater-ater dari Hara dengan penuh sukacita, nyatanya malah melempar balik semua kardus-kardus yang di turunkan abang becak.
"Ora sudi aku nampani wewehan mu! (Tidak sudi aku menerima pemberian mu)" Kakek menendang kardus yang di ingat Hara berisi aneka kue dalam toples.
Hara yang bingung melihat situasi itupun hanya bisa melolong nanar. Euforia hari rayanya menguap begitu saja, di gantikan oleh kabut mendung yang bergayut di matanya.
Ketakutan melihat Kakek yang sebegitu kejamnya melempar semua niat tulus mereka, Hara kecil bersembunyi di balik punggung ibu.
Meskipun Hara tidak bisa melihat air mata ibu, tapi Hara yakin ibu saat ini sedang menangis hebat. Punggung ibu yang bergetar naik turun adalah bukti nyata bahwa tidak hanya dirinya yang ketakutan dan juga kecewa kepada Kakek.
"Gowonen balik kabeh dunyo mu kui, ojok mancik omah ku maneh. Aku ora nduwe anak koyok kowe. (Bawa kembali semua barang-barang mu itu, jangan pernah injakkan kaki di rumah ku lagi. Aku sudah tidak punya anak seperti kamu)" Dengan bergulung emosi, Kakek mengusir ibu dan Hara, lalu kemudian masuk ke dalam rumah dan membanting pintu. Mengabaikan semua air mata ibu dan Hara yang kini sudah banjir menganak sungai.
"Buk?" Cicit Hara beralih ke hadapan ibu.
"Pun pun, si mbah lagi gering, makane moreng-moreng (sudah, sudah, kakek sedang sakit, makanya marah-marah)" Ibu buru-buru menghapus air matanya. Namun mata merah dan sembab ibu tak mungkin bisa di sembunyikan.
Hara memang masih kecil, tapi bukan berarti Hara tidak bisa membedakan orang sakit dan orang sehat. Di matanya, Kakek terlihat sangat sangat sehat, saking sehatnya, beliau bahkan sanggup menendang jauh kardus berisi enam buah kaleng bhong kuan yang berukuran besar. Dan jangan lupakan adegan membanting pintu. Orang sakit mana kuat membanting pintu sekeras itu.
Dan kejadian seperti itu terus berulang di setiap tahunnya, yang semula hanya menghina bapak, kemudian merembet ke ibu, dan sekarang menyentuh ke Hara.
"Hara peringkat setunggal mbah kakung (Hara peringkat satu kek)" Ucap Hara saat berkunjung di hari raya di tahun ketiga bapak pergi.
"Pinter-pinter nggo opo nek jebule salah milih lanangan (buat apa pintar, kalau salah pilih lelaki)" Jawaban si mbah yang kala itu masih tidak di mengerti Hara hanya dia anggap keluhan si mbah yang sudah bertambah tua dan sakit, begitu ibu memberi tahu Hara agar maklum dengan si mbah.
"Kulo lulus NEM paling tinggi piyambak mbah kakung (Aku lulus dengan nilai NEM tertinggi sendiri kek)" Kali ini Hara memberikan informasi terkaitan kelulusan sekolah dasarnya. Dan saat itu Bapak sudah berkumpul bersama keluarga lagi.
Berniat meminta restu untuk jenjang pendidikan selanjutnya, Bapak sekeluarga mengajak ibu dan Hara untuk berkunjung ke rumah handai taulan dengan membawa sedikit bingkisan.
Tapi meski setelah dasawarsa berlalu, kekerasan hati si mbah tak kunjung luluh. Kehidupan ekonomi keluarga Hara telah jauh membaik.
Berkat kerja keras bapak di negeri orang selama sepuluh tahun, dan juga kesabaran serta kebijaksanaan ibu yang mengatur uang kiriman Bapak. Hara kini bisa memiliki hidup yang layak.
Bapak dan ibu mampu membeli beberapa hektar sawah, dan juga lahan untuk berternak. Di samping itu, ibu juga telah mampu membuka toko yang cukup besar dan lengkap untuk ukuran desa yang sedikit terpencil. Sehingga para warga setempat juga desa tetangga, lebih memilih berbelanja di sana daripada harus jauh-jauh ke pasar.
"Terus kapan rabi?(Terus kapan menikah?)" Pertanyaan si mbah kali ini berhasil mengusik bapak dan ibu. Selama ini mereka hanya diam menerima setiap kata-kata menyakitkan si mbah.
"Tasih alit pak, niki ajeng nerusaken ten SMP (Masih kecil pak, ini rencananya akan meneruskan ke SMP)" Bapak tetap berusaha sopan.
"Sekolah duwur-duwur nggo opo? Wong wedok ki panggonane nang pawon. Mumpung iseh nom, iseh akeh seng arep, mendak dadi perawan tuwek ora onok seng doyan. Kae anak e pak wiryo wes cukup umur gawe rabi. Bapak wes ngomong nang pak wiryo, cepakne wae Hara. Jeneng angele eram, kementus (Sekolah tinggi-tinggi buat apa? Perempuan itu tempatnya di dapur. Mumpung masih muda, masih banyak yang mau, kalau sudah jadi perawab tua tidak ada yang mau. Itu ada anaknya pak Wiryo yang sudah cukup umur untuk menikah. Bapak sudah ngobrol dengan pak Wiryo, siapkan saja Hara. Lagian nama kok susah sekali, sombong)" Si mbak yang duduk dengan kaki sebelah di angkat serta bolak balik menyemburkan asap rokok itu seolah sudah benar-benar tidak menganggap keluarga Bapak lagi. Apapun kata Bapak, sama sekali tidak di anggap.
"Kak Hara!" Hara merasakan guncangan di pundaknya. Dia tersentak kaget dan bingung. Melihat sekelilingnya yang telah ramai oleh di kerubuti bocah-bocah.
"Hayo ngelamunin pacar ya?" Ledek Ica.
"Cieee cieee kak Hara punya pacar" Anton ikut menimpali
"Pacaran.. Pacaran..." Yang lain bertepuk-tepuk tangan dengan kompak sambil berteriak-teriak.
"Sstttt" Hara meletakkan telunjuk di bibirnya. "Masih kecil nggak boleh ngomong-ngomong pacaran, sekolah dulu yang bener" Hara mengeraskan suaranya agar terdengar oleh anak-anak yang masih cekikikan.
"Ayo mana PR nya di kumpulin, biar kakak cek" Perintah Hara yang di sambut lenguhan panjang anak-anak.
"Kak Hara nggak asik, kayak bu guru aja" Teriakan protes keluar dari mulut Ridho, yang sedari tadi hanya diam memperhatikan teman-temannya yang lain mengerjakan tapi membiarkan buku PRnya kosong.
"Huuuuu" Koor teman-teman yang lain ke arah Ridho sembari mengacungkan jempol terbalik.
"Eh sudah... Sudah" Hara berusaha menengahi keributan kecil para bocah. "Nanti keburu malam loh" Hara melihat jam tangannya, sudah pukul delapan lebih lima belas menit, tersisa empat puluh lima menit dari waktu mengajar lesnya agar anak-anak bisa tidur tepat waktu.
"Kak Hara ngoreksi matematika kalian, sedangkan kalian kerjakan pr bahasa inggrisnya. Ok?" Perintah Hara kepada mereka semua yang di sambut teriakan kompak.
"Siaaap kak Hara"
Hara berkonsentrasi penuh mengecek hasil PR para bocah, mengabaikan kenangannya tentang si mbah yang mendadak muncul.
Si mbah kui lagi sakit nduk, mangkane nek ngomong kadang ngawur. Hara iki kan seng mboten sakit, seng paham nggeh nduk kalian si mbah (Kakek itu sedang sakit nak, jadi kalau ngomong kadang suka asal. Hara kan sedang tidak sakit, jadi tolong di pahami ya nak dengan kondisi Kakek).
Begitu terus selama ini ibu menasehati Hara. Setelah dewasa barulah Hara tau, sakit yang di maksud ibu adalah sakit hati.
Kakek yang tergolong orang berkecukupan menolak lamaran bapak yang seorang yatim piatu yang hanya seorang buruh di sawah milik Kakek.
Kere munggah mbale (Orang miskin hendak jadi orang kaya)
Begitu si mbah menyebut Bapak. Kakek yang kala itu berharap pada ibu yang merupakan anak perempuan satu-satunya dari enam bersaudara, menikah dengan anak kepala desa sebelah, ternyata lebih memilih bapak.
Saat si mbah menentang habis-habisan, ibu malah nekat kabur ke rumah saudara kalau keinginannya tidak di penuhi. Bapak yang jelas kalah oleh tangisan mbah uti dan juga kekeras kepalaan ibu akhirnya mau tidak mau menuruti keinginan ibu.
Tapi rupanya kebencian kakek sudah terlanjur mendarah daging. Meskipun telah memiliki Hara, kakek juga masih tidak pernah menganggap bapak sebagai menantunya. Dan ibu selalu mendapat kata-kata kasar dan perlakuan buruk dari si mbah juga seluruh kakak-kakaknya.
Hara menghela napas panjang dan berat, setiap kali mengingat sejarah panjang keluarganya, dadanya selalu saja sesak seolah di himpit tempok besar tak kasat mata.
"Kak Hara ponselnya getar tuh" Lagi-lagi suara Ica membuyarkan lamunan Hara. Dia melihat layar ponselnya.
"Hm?" Hara mengerutkan keningnya melihat nama yang muncul.
kasih kesempatan sama Kama dong,buat taklukkin Hara😁😁
menjaga pujaan hati jangan sampai di bawa lari cowok lain🤣🤣🤣
Nggak kuat aku lihat Kama tersiksa sama Hara🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
aku bakalan nungguin kamu yang bucin duluan sama Hara😁😁😁
tiba-tiba banget Pak Polici kirim buket bunga pagi' 😁😁😁😁😁
tapi kenapa tiba-tiba Hara telp ya????