" Kamu adalah alasan kenapa aku mengubah diriku, Gus. Dan sekarang, kamu malah mau meninggalkan aku sendirian?" ujar Raya, matanya penuh dengan rasa kecewa dan emosi yang sulit disembunyikan.
Gus Bilal menatapnya dengan lembut, tapi tegas. "Raya, hijrah itu bukan soal aku atau orang lain," ucapnya dengan suara dalam. "Jangan hijrah karena ciptaan-Nya, tetapi hijrahlah karena Pencipta-Nya."
Raya terdiam, tetapi air matanya mulai mengalir. "Tapi kamu yang memotivasi aku, Gus. Tanpa kamu..."
"Ingatlah, Raya," Bilal memotong ucapannya dengan lembut, "Jika hijrahmu hanya karena ciptaan-Nya, suatu saat kau akan goyah. Ketika alasan itu lenyap, kau pun bisa kehilangan arah."
Raya mengusap air matanya, berusaha memahami. "Jadi, aku harus kuat... walau tanpa kamu?"
Gus Bilal tersenyum tipis. "Hijrah itu perjalanan pribadi, Raya. Aku hanya perantara. Tapi tujuanmu harus lebih besar dari sekadar manusia. Tujuanmu harus selalu kembali kepada-Nya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sha whimsy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal Hijrah
Malam hari pukul 20:00, setelah ba'da Isya, Raya tengah mengenakan gamis untuk pertama kalinya. Hampir 15 menit dia berusaha memakai jilbab segitiga, namun tak kunjung rapi. Sementara itu, Aqila, Laras, dan Fatimah sudah menunggunya di teras rumah.
"Ya Allah, ngapain sih si Raya lama banget?" gerutu Aqila tak sabar.
"Jangan-jangan dia tidur lagi," sindir Laras.
"Sabar, dong," ucap Fatimah lembut.
"Udah sabar dari tadi, Fat! Coba gue lihat deh, gimana sih dia pakai jilbab kok lama banget," kata Aqila sambil beranjak dari duduknya.
Tepat saat Aqila hendak masuk ke dalam rumah, Raya muncul di depannya dengan penampilan yang jauh berbeda dari biasanya.
"Ra...ya? Lo?" Aqila tertegun melihat sosok di hadapannya.
"MasyaAllah, Raya, kamu cantik banget!" puji Fatimah tulus.
"Sumpah, ini beneran Raya temen gue, kan? Astaga, astaga, lo beda banget, cantik banget!" seru Laras penuh kagum.
"Ah, biasa aja. Ini susah banget tau nggak, gue sampai pusing ngurusin pentolnya," jawab Raya sambil tersenyum malu-malu.
" Ayok jadi berangkat gak kalian? Apa mau ngobrol aja disini, " Ajak Fatimah.
" Siap, Fat! Kita berangkat sekarang," jawab Aqila dengan semangat, "Udah nggak sabar mau ke pengajian akbar!"
" Alahh gak sabar mau pengajian akbar apa gak sabar mau ketemu Gus Bilal, " Kata Laras.
" Dua-duanya sih, " Kata Aqila.
Malam itu, langit bersih dan angin sepoi-sepoi menemani perjalanan mereka menuju pengajian akbar di masjid desa.
Sepanjang jalan, suara obrolan ringan mengiringi langkah kaki mereka. Aqila tak henti-hentinya menggoda Raya tentang penampilannya yang baru.
"Raya, sumpah lo beneran cantik banget malam ini. Kayaknya nanti di pengajian banyak yang bakal melirik lo deh," goda Aqila sambil tertawa.
"Ah, udahlah, giliran lo kalau dipuji langsung ge-er," balas Raya sambil tersenyum malu.
"Yang penting sekarang kita niatnya ibadah. Udah lama nggak ada acara pengajian sebesar ini, semoga bermanfaat buat kita semua," ujar Fatimah sambil mempercepat langkahnya.
Tak lama kemudian, mereka tiba di masjid besar yang menjadi pusat kegiatan pengajian. Suara lantunan ayat-ayat Al-Qur'an terdengar indah dari pengeras suara, menambah khusyuk suasana malam itu.
Raya menjadi pusat perhatian orang orang, bagaimana tidak seorang gadis bar bar yang hobi nya memakai celana pendek dan tak pernah sekalipun pergi ke masjid. Sekarang datang dengan pakaian gamis dan tertutup.
" Eh itu Fatimah, Aqila, Laras, sama satu lagi siapa orang baru kah? " Kata Mira berbisik kepada Sinta.
"Kok mirip Raya ya, eh apa iya itu Raya? " Sinta sendiri tak percaya dengan penglihatannya.
Sementara itu, di sudut masjid, perhatian sebagian besar kaum hawa tertuju pada Gus Bilal. Dia bukan hanya dikenal sebagai penceramah yang cerdas, tapi juga memiliki paras yang tampan, membuatnya menjadi pusat perhatian. Aqila melirik sekilas dan tersenyum kecil, lalu berbisik ke Laras, "Nggak cuma pengajian, gue juga nungguin Gus Bilal, nih."
Laras hanya terkekeh mendengar candaan sahabatnya.
Tak lama kemudian, MC acara membuka pengajian dengan suara lembut namun tegas, mengundang seluruh jamaah untuk memasuki suasana penuh hikmah. Gus Bilal naik ke podium dengan langkah mantap, lalu menyapa jamaah dengan senyuman yang menyejukkan hati. Malam itu, tema ceramahnya adalah "Pentingnya Menutup Aurat."
Raya, yang duduk di antara jamaah, tak bisa melepaskan pandangannya dari sosok Gus Bilal. Dia tampak lebih dari sekadar penceramah malam itu. Hati Raya bergetar saat menatapnya dari jauh. "Kak Bilal..." bisiknya dalam hati, tak disadari oleh siapa pun.
Tanpa alasan yang jelas, di tengah keramaian itu, Bilal merasa ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Pandangannya tiba-tiba tertuju pada seorang gadis di antara jamaah. "Siapa gadis itu? Mengapa aku merasa mengenalnya?" pikir Bilal, tak mampu mengalihkan tatapannya.
Mereka saling bertukar pandang sejenak, tanpa kata, seolah sedang berbicara dalam hati. Raya menundukkan kepala, hatinya berdesir, "Nanti kamu harus menjawab dengan jujur, Kak. Kenapa kamu harus membohongiku?" gumamnya dalam hati, perasaan lamanya yang terpendam muncul kembali. Batin mereka seakan terlibat dalam pertempuran diam-diam yang hanya mereka berdua rasakan.
Namun, meski pikirannya berkecamuk, Gus Bilal segera kembali fokus dan memulai ceramahnya dengan nada lembut namun penuh wibawa.
“Saudara-saudaraku yang dirahmati Allah, malam ini kita akan membahas tentang pentingnya menutup aurat, bukan hanya sebagai kewajiban, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan terhadap diri kita sendiri. Allah berfirman dalam surah Al-Ahzab ayat 59, 'Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.'
Menutup aurat bukan hanya soal pakaian fisik, tapi juga menjaga kehormatan dan kemuliaan diri. Ketika kita menutup aurat, kita sedang menjaga anugerah yang Allah berikan kepada kita. Aurat bukanlah sesuatu yang harus dipamerkan atau direndahkan oleh pandangan orang lain. Ia adalah perhiasan yang harus dijaga dan dilindungi.”
Raya mendengarkan setiap kata yang keluar dari Gus Bilal, seakan ceramah itu langsung ditujukan untuknya. Hatinya berdebar-debar. Bilal melanjutkan dengan lebih dalam, “Dalam proses kita menutup aurat, mungkin ada banyak godaan dan rasa tidak percaya diri. Mungkin kita merasa belum siap, atau takut dengan pandangan orang lain. Tapi ingatlah, perubahan adalah proses. Allah selalu memberi jalan bagi mereka yang berniat untuk berhijrah.”
Di tengah ceramahnya, Bilal kembali mencuri pandang ke arah Raya. Ada sesuatu dalam tatapan gadis itu yang membuatnya semakin yakin bahwa mereka memiliki ikatan yang lebih dari sekadar jamaah dan penceramah. Namun, malam itu bukanlah saatnya untuk menjawab pertanyaan yang menghantui pikirannya. Ceramah itu harus diselesaikan dengan khusyuk.
“Semoga Allah memudahkan setiap langkah kita dalam memperbaiki diri, dalam menutup aurat, dan dalam mendekatkan diri kepada-Nya,” Gus Bilal mengakhiri ceramahnya dengan doa dan harapan yang tulus.
Ketika acara berakhir dan jamaah mulai bubar, Bilal masih tak bisa melupakan tatapan itu. Raya pun sama—dia merasa malam ini bukan kebetulan, tapi bagian dari rencana yang lebih besar.
Selesai sesi ceramah, para jamaah dipersilakan untuk menikmati makanan dan minuman yang telah disediakan. Raya berjalan menuju arah barat, tanpa menyadari bahwa Bilal sedang melangkah ke arah yang berlawanan. Dalam kekuranghati-hatiannya, Raya tersandung sebuah kabel yang tergeletak di lantai.
“Hap!” Seseorang dengan cepat menangkapnya, menarik Raya ke dalam pelukannya untuk mencegahnya jatuh. Dengan hati-hati, Raya mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang telah menolongnya. Deg! Jantungnya berdegup kencang saat pandangannya bertemu dengan sosok laki-laki yang selama ini diam-diam ia kagumi. Gus Bilal.
Dialah alasan mengapa Raya datang ke masjid malam ini. Dialah alasan mengapa ia mengenakan jilbab untuk pertama kalinya.
"Raya...? Apa kamu Raya?" tanya Bilal, mencoba memastikan sambil perlahan melepaskan pelukannya.
Raya, yang masih tersipu malu, hanya bisa mengangguk singkat, lalu buru-buru mundur selangkah dari Bilal.
"Sejak kapan kamu masuk Islam?" tanya Bilal tiba-tiba, dengan ekspresi penasaran.
“Hah?!” Raya terkejut mendengar pertanyaan itu. "Kak, apa saya kelihatan seperti non-Muslim? Saya lahir Muslim, kok. Islam dari janin, Kak! Hahaha." Raya tertawa pelan, mencoba mencairkan suasana yang terasa canggung.
Bilal terdiam sejenak, merasa malu atas kesalahpahamannya. Ternyata selama ini, dugaannya keliru. Ia mengira Raya seorang non-Muslim yang baru saja berhijrah. Namun, mengetahui bahwa mereka berdua memiliki keyakinan yang sama, Bilal merasakan perasaan hangat yang sulit dijelaskan. Ada rasa senang yang menyelinap di hatinya.
Namun, secepat perasaan itu muncul, pikirannya kembali kepada kenyataan. Bilal teringat statusnya yang sudah menjalani proses ta'aruf dengan Naila, gadis yang telah disetujui oleh keluarganya. Naila tidak tahu apa-apa tentang pertemuannya dengan Raya, dan Bilal berniat menjaga semuanya tetap terhormat.
Dia menatap Raya dengan penuh pertimbangan, mencoba menempatkannya dalam kategori aman di pikirannya. "Mungkin aku harus menganggapnya sebagai teman... atau adik," pikir Bilal. Tapi ada sesuatu yang sulit ia tepis—tatapan kagum di mata Raya yang tak bisa ia abaikan.
Raya, di sisi lain, berusaha menyembunyikan kegugupannya. Ia menatap Bilal dengan perasaan yang lebih dari sekadar kekaguman. Namun, ia sadar ada batas yang tak bisa dilangkahi. Dia tahu Bilal bukan seseorang yang bisa dengan mudah ia gapai.
Bilal menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum. “Maaf ya, Raya. Aku nggak bermaksud menyinggung. Senang melihat kamu di sini. Teruslah semangat dalam berhijrah dan mendekatkan diri pada Allah. Semoga kita semua selalu diberkahi."
Raya hanya bisa mengangguk, senyumnya samar tapi penuh rasa. “Terima kasih, Kak. Saya akan berusaha.”
Mereka berdua berjalan menjauh, dengan langkah-langkah yang berbeda. Masing-masing tenggelam dalam pikiran dan perasaan yang rumit. Bagi Raya, malam itu adalah awal dari perubahan. Tapi bagi Bilal, itu adalah pertemuan yang memaksanya mengingat batasan dan komitmen yang sudah ia buat.
Raya menoleh ke belakang, menatap Bilal yang berjalan menjauh. Dalam hatinya, ada banyak pertanyaan yang belum terjawab. "Ah, aku lupa menanyakan kenapa kamu harus berbohong kepada adikmu, Fatimah, tentang pertemuan kita, Kak. Tapi... mungkin lebih baik aku tak usah bertanya. Biar kau sendiri yang menjelaskan suatu hari nanti. Aku yakin, kau pasti punya alasan," ucap Raya pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan pikirannya.
Tiba-tiba, suara familiar terdengar di belakangnya.
"Woii, Raya! Ternyata lo di sini! Kita nyariin lo dari tadi!" seru Laras yang muncul bersama Fatimah dan Aqila, keduanya tampak khawatir.
"Iya nih, ngilang aja," tambah Aqila dengan nada sedikit kesal.
"Kamu dari mana, Ray?" tanya Fatimah lembut.
Raya dengan santai menjawab, "Dari toilet tadi. Ah, ngapain sih nyari-nyari gue?"
"Kami cuma khawatir, siapa tahu lo pulang duluan karena nggak betah di masjid," balas Laras, melirik Raya dengan tatapan canda.
Raya tertawa kecil, "Halah, mana mungkin gue kabur. Gue udah di sini, kan? Santai aja. Lagian, acaranya seru kok."
Fatimah tersenyum lega, "Alhamdulillah, syukurlah kalau kamu betah, Ray. Aku juga seneng kamu bisa ikut acara ini."
"Iya, betul," tambah Aqila, "Tapi tadi gue lihat lo ngobrol sama siapa, ya? Kayak lagi serius gitu."
Raya mengalihkan pandangan, tak ingin menjawab dengan jujur soal pertemuannya dengan Bilal. "Nggak, cuma ketemu temen lama aja," ujarnya ringan, berusaha menutupi kegugupannya.
Laras melirik curiga, "Hmmm... temen lama, ya? Kayak ada yang lo sembunyiin deh. Tapi yaudah lah, kita balik ke tempat makan aja, mumpung belum habis."
Mereka pun berjalan bersama kembali ke arah kerumunan jamaah yang sedang menikmati hidangan. Di sepanjang jalan, Raya berusaha menenangkan pikirannya, berdoa agar suatu saat Bilal bisa menjelaskan semuanya. Namun, di sudut hatinya, dia tetap tak bisa menghilangkan perasaan hangat setiap kali teringat sosok Bilal.
Bilal seperti biasa dikerubungi oleh para jamaah perempuan yang bersemangat untuk sekadar mendekat, mencari perhatiannya, dan beberapa bahkan meminta foto bersama. Senyumnya yang ramah dan sikapnya yang sopan membuat dirinya semakin menjadi pusat perhatian. Dari kejauhan, Raya memperhatikan pemandangan itu dengan tatapan kosong. Laras dan Aqila, yang duduk di sebelah Fatimah, sibuk menanyakan segala hal tentang Bilal.
"Fat, gimana sih Kak Bilal itu? Dia udah punya calon belum?" tanya Laras penuh penasaran, sambil menatap ke arah Bilal.
"Iya, Fat. Masa dia belum ada yang deket? Kan cowok kayak dia pasti banyak yang naksir," tambah Aqila, ikut-ikutan penasaran.
Fatimah hanya tersenyum kecil. "Kalian ini kebanyakan gosip. Udah, yang penting fokus aja dulu sama ceramahnya tadi. Jangan malah ke Kak Bilal terus pikirannya."
Sementara itu, Raya duduk tenang, berusaha terlihat seperti tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Dalam hatinya, dia tahu ada perasaan yang bergejolak setiap kali melihat Bilal dikelilingi oleh banyak perempuan.
"Aku nggak boleh terbawa perasaan. Kak Bilal bukan untukku... dia punya hidupnya sendiri," batinnya, mencoba menguatkan diri.
Namun, meski bibirnya diam dan wajahnya tenang, matanya tak bisa sepenuhnya mengalihkan pandangan dari sosok yang membuatnya mulai memikirkan hal-hal yang sebelumnya tak pernah ia pikirkan.
"Raya, lo kok diem aja? Nggak tertarik ikut nimbrung sama cewek-cewek di sana?" tanya Laras, mencoba menggoda.
"Males lah rame gitu. Ntar gue kena tabrak orang-orang lagi. Ntar aja gue samperin kalau udah sepi," jawab Raya santai.
"Hmm, awas jangan bar-bar lo," kata Laras sambil tertawa kecil.
Belum sempat Raya menanggapi, tiba-tiba Leo, teman sekolah sekaligus tetangganya, muncul dari kerumunan. "Hai, Raya! Lo beda banget malam ini, tapi cantik sih," pujinya dengan nada setengah gugup.
Raya menoleh dan tersenyum tipis, "Makasih, Leo. Tumben muncul di acara kayak gini."
Sebetulnya, Leo sudah lama menyimpan perasaan untuk Raya. Namun, setiap kali berusaha mengungkapkannya, ada saja yang membuatnya ragu. Mereka sudah berteman sejak SMP, dan Leo merasa tidak ingin merusak hubungan yang sudah terjalin baik selama ini. Namun, melihat Raya malam itu dengan penampilan yang berbeda, hatinya kembali berdebar.
"Eh, iya, gue... ikut sama bokap nyokap. Mereka di depan, gue ketinggalan gara-gara nyariin lo," jawab Leo sambil garuk-garuk kepala, mencoba mencari alasan agar tidak terlihat aneh.
"Nyariin gue? Ada apa?" tanya Raya, penasaran.
"Enggak... gue cuma mau bilang lo kelihatan beda malam ini. Kayaknya udah lama gue nggak lihat lo kayak gini, lebih dewasa gitu," jawab Leo sambil berusaha tetap tenang.
Raya hanya tersenyum mendengar pujian Leo, tanpa menyadari ada perasaan yang lebih dalam di balik kata-kata sederhana itu. Leo menatapnya sejenak, mencoba mencari keberanian untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan selama ini, tapi kerumunan di sekeliling mereka membuatnya mengurungkan niat.
Saat itu, tanpa Raya sadari, Bilal tengah memperhatikan dari kejauhan. Matanya tak bisa sepenuhnya berpaling dari keakraban yang terlihat di antara Raya dan Leo. Bilal merasakan ada sesuatu yang aneh di hatinya. "Siapa laki-laki itu? Apa temannya Raya?" pikirnya, merasa tak nyaman.
Namun, Bilal segera menarik napas dalam, mencoba mengabaikan perasaannya. "Ah, kenapa aku malah mengurus hal seperti ini? Raya punya hak berteman dengan siapa saja. Aku tidak punya alasan untuk merasa aneh," gumamnya dalam hati, berusaha menenangkan diri. Tapi meski pikirannya berusaha logis, hatinya tak bisa sepenuhnya menepis rasa penasaran yang tiba-tiba muncul.
"Yaudah, gue balik dulu ke nyokap bokap, takut mereka nyariin. Sampai ketemu lagi, Ray," ucap Leo, sebelum berbalik dan melangkah pergi.
Raya mengangguk sambil mengamati kepergian Leo. Dalam hati, ia merasa ada yang aneh, tapi tak mau memikirkannya terlalu dalam. "Dia kok kayaknya aneh ya malam ini?" batinnya.
Sementara itu, Laras yang menyaksikan percakapan dari samping, menepuk pundak Raya sambil tersenyum penuh arti. "Eh, Raya, ada yang lagi modus tuh. Si Leo keliatan canggung banget tadi."
"Ah, apaan sih, Laras. Udah biasa kali dia begitu," balas Raya sambil memutar matanya.