Siang hari, Aditya Wiranagara adalah definisi kesempurnaan: Dosen sejarah yang karismatik, pewaris konglomerat triliunan rupiah, dan idola kampus.
Tapi malam hari? Dia hanyalah samsak tinju bagi monster-monster kuno.
Di balik jas mahalnya, tubuh Adit penuh memar dan bau minyak urut. Dia adalah SENJA GARDA. Penjaga terakhir yang berdiri di ambang batas antara dunia modern dan dunia mistis Nusantara.
Bersenjatakan keris berteknologi tinggi dan bantuan adiknya yang jenius (tapi menyebalkan), Adit harus berpacu melawan waktu.
Ketika Topeng Batara Kala dicuri, Adit harus memilih: Menyelamatkan Nusantara dari kiamat supranatural, atau datang tepat waktu untuk mengajar kelas pagi.
“Menjadi pahlawan itu mudah. Menjadi dosen saat tulang rusukmu retak? Itu baru neraka.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daniel Wijaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BUNGA BERBUNGA
Waktu: 21.55 WIB.
Lokasi: Gerbong Kargo, Kereta Taksaka Malam.
"Bunga... berbunga..."
Suara itu tidak lagi terdengar seperti suara manusia, pun tidak seperti suara hantu biasa. Itu adalah suara ribuan lembar kertas kering yang digesekkan bersamaan secara agresif—suara birokrasi yang membusuk dan kelaparan.
Di hadapan Aditya dan Fajar, gumpalan terpal biru yang membungkus Joko meledak hancur. Sobekan kain berterbangan di udara seperti konfeti pesta yang salah tempat.
Dari balik debu itu, Joko bangkit. Tapi dia bukan lagi Joko yang kurus kering.
Tubuh ektoplasmanya membengkak dua kali lipat, seolah-olah dia baru saja menelan seluruh inflasi ekonomi negara dalam sekali teguk. Kemeja batik murahannya robek, tidak mampu menahan massa tubuh yang terus membesar.
Namun, yang menggantikan kulitnya bukanlah daging atau otot.
Itu adalah Kertas.
Ribuan lembar kertas tagihan lusuh, surat sita, kwitansi merah, dan materai tempel saling menempel dan memadat, membentuk lapisan armor setebal beton. Dari punggungnya yang bungkuk, sesuatu menyeruak keluar dengan suara sobekan basah.
SRAK! SRAK! SRAK! SRAK!
Empat lengan tambahan muncul. Lengan-lengan itu panjang, pipih, dan tajam, terbentuk dari gulungan manifes utang yang berpilin kaku.
Wajah Joko telah hilang. Lakban hitamnya terlepas, memperlihatkan kekosongan abadi. Tidak ada mata, tidak ada hidung. Hanya ada mulut vertikal yang menganga dari dahi sampai dagu, dipenuhi deretan staples besi berkarat yang berfungsi sebagai gigi.
"Aset... disita..." raung Joko. Uap hitam berbau tinta busuk keluar dari mulutnya.
Aditya mundur selangkah, menelan ludah yang terasa pahit. Kakinya gemetar, bukan karena takut, tapi karena tubuhnya berteriak minta istirahat.
"Luar biasa," batin Aditya, sarkasmenya adalah satu-satunya perisai mental yang tersisa. "Tadinya dia cuma debt collector level kelurahan. Sekarang dia berevolusi jadi Bank Sentral Neraka. Inflasi kekuatan ini benar-benar tidak masuk akal."
Joko mengibaskan salah satu tangan kertasnya.
SWUSH!
Tangan itu memanjang seperti cambuk, menyabet tumpukan kardus di samping Fajar. Kardus tebal berisi alat elektronik itu terbelah dua dengan rapi, seolah dipotong laser. Potongannya halus, tidak bergerigi. Kertas, jika dipadatkan dengan sihir, lebih tajam dari katana.
"Fajar! Tiarap!" teriak Aditya.
Aditya melompat maju, memukul pelat lantai gerbong dengan kakinya untuk menarik aggro (perhatian) monster itu.
"Sini, Tumpukan Sampah Daur Ulang! Buku kasmu tidak seimbang!"
Joko meraung, mengalihkan fokusnya dari Fajar ke Aditya. Dia membuka mulut staplesnya lebar-lebar.
CROTTT!
Sebuah semburan cairan hitam pekat meluncur deras ke arah Aditya.
Aditya menjatuhkan diri, berguling ke samping dengan sisa tenaga. Tulang rusuknya menjerit protes di setiap putaran, rasanya seperti ada pecahan kaca yang menggesek paru-parunya.
Cairan hitam itu mendarat di lantai baja tempat dia tadi berdiri.
HISS…
Lantai baja setebal lima milimeter itu mendesis, berbuih, dan meleleh dalam hitungan detik, mengeluarkan asap putih berbau amoniak yang menyengat mata.
Tinta Asam.
"Jangan kena ludahnya, Jar!" teriak Aditya, suaranya parau. "Itu asam korosif! Bisa bikin lo jadi bubur instan!"
"Gue tau! Baunya kayak got neraka!" balas Fajar yang merangkak panik di kolong meja paket, memeluk tas kameranya seperti bayi. "Lo punya rencana nggak sih?!"
"Rencananya adalah tidak mati!"
Joko tidak memberi jeda. Dia menerjang. Enam tangannya—dua tangan asli yang melar dan empat tangan kertas yang tajam—bergerak liar seperti baling-baling maut.
Dia mengangkat sebuah sepeda motor matic yang terparkir di dekatnya seolah itu mainan plastik, lalu melemparkannya ke arah Aditya dengan kecepatan peluru.
Aditya tidak bisa menangkis benda seberat itu. Dia melakukan sliding putus asa di lantai yang licin.
BRAKK!
Motor itu menghantam dinding gerbong di belakang Aditya sampai hancur berkeping-keping. Shockbreaker-nya patah, bensin tumpah ke mana-mana.
Aditya mencoba menyerang balik. Dia melihat celah di perut Joko saat monster itu mengangkat tangan.
Aditya mengalirkan sisa daya listrik di sarung tangannya, lalu menusukkan tinjunya ke perut gembung Joko.
BUKK!
Pukulannya mendarat telak. Tapi rasanya salah.
Rasanya bukan memukul daging atau hantu, tapi seperti memukul tumpukan buku telepon setebal satu meter. Padat. Keras. Menyerap benturan. Listrik 50.000 volt yang Aditya alirkan hanya merambat di permukaan kertas tanpa melukai intinya.
"Isolator," umpat Aditya dalam hati. "Dia terbuat dari kertas. Listrik tidak mempan."
"Bunga... majemuk..." geram Joko.
Joko memutar tubuh bagian atasnya 360 derajat. Keempat tangan kertasnya memukul Aditya secara bersamaan dari arah berbeda.
BUAGH!
Aditya tidak sempat menangkis semuanya. Satu pukulan telak menghantam dada kirinya.
Rasanya bukan seperti dipukul tangan, tapi seperti dihantam balok beton. Aditya terpental melayang melintasi gerbong, punggungnya menghantam dinding baja dengan suara DANG yang keras dan menyedihkan.
"Uhuk!"
Aditya jatuh merosot ke lantai. Dia memuntahkan darah segar. Rusuknya yang tadi retak, kini rasanya sudah hancur jadi serbuk. Napasnya pendek, setiap tarikan napas terasa seperti menghirup api.
Pandangannya berkunang-kunang. Dunia miring. Suara bising kereta api terdengar menjauh.
"Sialan," batin Aditya, kesadarannya mulai timbul tenggelam. "Aku sudah menghabiskan miliaran rupiah untuk gadget dan latihan, tapi aku akan mati dipukuli oleh tumpukan kwitansi di gerbong kargo. Ini kematian yang sangat memalukan. Arya pasti akan menulis 'Gagal Investasi' di batu nisanku."
Joko merayap mendekat, siap memberikan eksekusi terakhir. Tangan-tangan kertasnya terangkat tinggi, ujung-ujungnya runcing membentuk tombak. Mulut staplesnya bergemeletuk lapar.
Aditya mencoba bangkit, tapi kakinya mati rasa. Armornya penyok.
"Pikir, Adit. Pikir," rutuknya pada diri sendiri, memaksakan otaknya yang gegar ringan untuk bekerja. "Jangan pakai otot. Kau kalah otot. Kau kalah jumlah tangan. Pakai otak sejarawanmu. Apa kelemahan kontrak? Apa yang mengikat sebuah utang?"
Matanya yang buram menangkap sesuatu yang ganjil.
Setiap kali Aditya bergerak menyerang tadi, Joko membalas dengan brutal. Dia tidak peduli kakinya diserang. Dia tidak peduli kepalanya dipukul.
Tapi... ada satu titik yang selalu dilindungi oleh tangan aslinya. Satu titik yang tidak pernah dia gunakan untuk menyerang.
Di tengah dada Joko yang terbuka dan penuh lapisan kertas tagihan itu, ada sisa saku kemeja batik aslinya yang masih utuh. Dan di dalam saku itu, menyembul ujung sebuah buku kecil berwarna merah darah.
Buku Besar Utang.
Itu jantungnya. Itu kontraknya. Itu sumber kekuatannya.
Tapi Joko melindunginya dengan pertahanan mutlak empat tangan kertas. Aditya butuh celah. Dia butuh gangguan yang masif untuk membuka pertahanan itu.
Aditya melihat sekeliling. Tidak ada senjata. Tidak ada bom.
Tapi ada fisika.
Kertas... lemah terhadap angin.
Mata Aditya tertuju pada tuas pintu gerbong kargo yang besar di samping (pintu loading). Pintu itu tertutup rapat.
"Fajar!" teriak Aditya, darah menyembur dari sela giginya. "Pintu samping! Buka pintu loading itu!"
Fajar menyembulkan kepalanya dari balik tumpukan paket. Wajahnya pucat. "Hah? Gila lo! Kereta lagi jalan 100 kilo per jam! Anginnya bakal—"
"LAKUKAN ATAU KITA MATI DI SINI! BUKA PINTUNYA!"
Teriakan Aditya penuh keputusasaan yang jarang dia tunjukkan.
Fajar mengumpat kasar, lalu berlari merangkak menuju tuas pintu kargo yang besar. Dia menarik tuas berkarat itu sekuat tenaga dengan wajah memerah.
KLAK.
Tuas terlepas. Pintu besi besar itu bergeser terbuka di relnya.
WUUUUUSHHH!
Dunia meledak dalam kebisingan.
Angin malam yang ganas langsung menyerbu masuk ke dalam gerbong seperti badai topan. Tekanan udara berubah drastis. Suara bising roda kereta yang beradu dengan rel memekakkan telinga. Sampah plastik dan kardus kecil langsung tersedot keluar.
Efeknya terhadap Joko sesuai perhitungan fisika Aditya.
Tubuh Joko yang sebagian besar terdiri dari lembaran-lembaran kertas langsung goyah. Aerodinamikanya hancur. Tangan-tangan kertasnya yang tadi tajam dan mematikan kini berkibar liar tertiup angin kencang, saling membelit, sulit dikendalikan. Tubuhnya terdorong ke belakang.
"ARGHHH! ANGINNN!" raung Joko. Kakinya terangkat sedikit dari lantai, berusaha menahan tubuhnya yang ringan agar tidak terbang keluar gerbong.
Pertahanannya terbuka lebar. Dada tengahnya terekspos.
"Sekarang," bisik Aditya.
Dia memaksakan tubuhnya yang hancur untuk bergerak. Adrenaline terakhir membanjiri sistem sarafnya.
Dia mengaktifkan mode Overdrive pada sarung tangan listriknya. Baterai di sabuknya berdenging tinggi—suara whine kapasitor yang dipaksa bekerja di luar batas—mengalirkan sisa daya terakhir ke kepalan tangannya.
Aditya tidak lari lurus ke arah Joko. Dia lari ke dinding gerbong.
Dia melakukan Wall Run tiga langkah, melompati jangkauan tangan Joko yang sedang kacau ditiup angin, lalu meluncur di udara. Waktu seolah melambat.
Dia melihat saku kemeja batik itu. Dia melihat buku merah itu berdenyut seperti jantung.
"Transaksi ditolak," desis Aditya dingin.
Dia menghujamkan tangannya yang dialiri listrik 50.000 volt tepat ke buku itu.
JLEB!
Tangan Aditya menembus dada ektoplasma Joko, mencengkeram buku merah itu, dan melepaskan muatan listriknya.
"TIDAAAAK! REKENINGKU DIBEKUKAAAAN!"
Teriakan Joko memecahkan kaca lampu neon di gerbong.
Tubuhnya mengejang hebat. Cahaya biru merambat dari dada ke seluruh tubuhnya, membakar kertas-kertas tagihan itu menjadi abu hitam. Kontraknya hangus.
BOOM!
Ledakan energi ektoplasma melempar Aditya ke belakang. Dia jatuh berguling di lantai gerbong.
Joko hancur. Tidak ada darah, tidak ada daging. Hantu penagih utang itu meledak menjadi jutaan serpihan abu kertas yang langsung tersapu angin malam keluar dari pintu gerbong yang terbuka, menghilang ke dalam kegelapan malam Jawa Tengah.
Hening.
Hanya suara angin menderu dan roda kereta yang tersisa.
Aditya terbaring telentang, menatap langit-langit gerbong yang kini gelap. Napasnya putus-putus. Seluruh badannya mati rasa.
Dia mengangkat tangannya yang berasap.
"Lunas," bisiknya, sebelum membiarkan tangannya jatuh kembali ke lantai.
luar biasa!!!
tak kirimi☕semangat💪
💪💪💪thor
jodoh ya thor🤭
makhluk luar angkasa, bukan makhluk halus🤭
💪💪💪adit
tp yakin sg bener tetep menang
was", deg"an, penasaran iki dadi 1
💪💪💪dit
jar, ojo lali kameramu di on ke
💪💪💪 dit