Kecurigaan Agnes kepada suaminya di hari ulangtahun pernikahannya yang ke enam, membuatnya bertemu dengan pemuda tampan berbadan atletis di ranjang yang sama. Siapakah pemuda itu? Lalu apa kesalahan yang sudah diperbuat oleh suaminya Agnes sehingga Agnes menaruh kecurigaan? Di kala kita menemukan pasangan yang ideal dan pernikahan yang sempurna hanyalah fatamorgana belaka, apa yang akan kita lakukan? Apakah cinta mampu membuat fatamorgana itu menjadi nyata? Ataukah cinta justru membuka mata selebar-lebarnya dan mengikhlaskan fatamorgana itu pelan-pelan menguap bersamaan dengan helaan napas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lizbethsusanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senyum Lebar
Agnes mendorong keras dada Amos.lalu ia melangkah mundur dengan terengah-engah.
"Jangan dorong aku Agnes! Aku sungguh-sungguh mencintai kamu"
"Kamu gila! Aku sudah menikah dan punya anak" Agnes berteriak, menghentak lantai dengan kakinya dan melotot.
Ya, aku gila, Nes. Aku mencintai putrinya Broto Gunawan, orang yang sudah menjebloskan Papaku ke penjara lalu membunuh Papaku. Tapi, aku tidak bisa berhenti mencintai kamu, Nes. Aku memang gila. Amos melangkah maju perlahan.
Agnes melangkah mundur, "Aku terpaksa ke sini untuk memperingatkan kamu agar tidak aneh-aneh lagi karena aku tidak punya nomer ponsel kamu makanya aku ke sini untuk......"
"08......." Amos menyemburkan nomer ponselnya dengan sekali tarikan napas.
"Aku rasa aku tidak akan pernah menyimpan nomer kamu. Ini pertemuan terakhir kita" Geram Agnes.
"Aku rasa kamu akan menyimpannya karena tadi kamu menikmati ciumanku"
"Gila!" Agnes berbalik badan lalu pergi meninggalkan Amos.
Sesampainya di dalam mobil, Agnes menyimpan nomer ponselnya Amos sambil ngedumel, "Emang brengsek tuh anak. Suka banget nyium aku seenaknya dan suka banget ngejar-ngejar aku. Tapi, aku akan simpen nomer ponselnya untuk ngelabrak dia kalau dia aneh-aneh lagi jadi aku tidak harus ke rumahnya"
Amos menatap mobilnya Agnes dengan perasaan dan pikiran yang sangat kacau. "Maafkan aku, Pa. Aku tidak bisa merelakan Agnes. Dia tidak bersalah. Broto Gunawan yang bersalah. Apakah Papa akan menyalahkan aku kalau aku ingin mengejar Agnes sampai dapat dan aku ingin melindungi Agnes? Dia cinta pertamaku, Pa. Aku mohon restui langkahku mengejar Agnes"
Keesokan harinya, Amos pergi ke kampus seperti biasanya bersama Bagaskara dan saat masuk ke dalam kelas ia langsung berlari dan berjongkok di samping Agnes.
"Kamu kenapa?" Amos menyentuh pelan pundak Agnes.
Agnes menepis kasar tangan Amos, "Jangan sentuh aku!"
"Oke, aku nggak akan sentuh kamu, tapi katakan ada apa?"
Agnes berdiri lalu mendelik ke Amos, "Sudah ber-aku-kamu?"
"Dari kemarin aku juga sudah ber-aku-kamu karena aku sudah mencium kamu"
Agnes langsung membungkam mulut Amos dan menoleh ke kanan lalu ke kiri dan terkahir ke belakang. Agnes menarik tangannya dari mulut Amos dengan helaan napas lega karena kelas masih sepi.
"Ada apa?"
"Perutku sakit"
"Kamu salah makan?"
"Tidak dan ini bukan urusan kamu" Agnes berbalik badan lalu melangkah ke mejanya untuk meletakkan buku yang tadi ia peluk sewaktu ia berjongkok.
"Apa kamu datang bulan?" Tanya Amos lugas.
Agnes mendelik ke Amos dengan wajah merona malu.
"Oke, tunggu sebentar" Amos berbalik badan lalu berlari keluar dari dalam kelas.
Agnes menatap punggung Amos dengan helaan napas kasar. "Dasar bocah gila"
Dosen cantik itu mulai membaca buku-buku di depannya untuk mengalihkan rasa nyeri di perutnya.
Satu jam kemudian Amos berdiri di depan mejanya Agnes, "Kompres perut kamu dengan ini sebelum kelas dimulai. Isinya air hangat dan aku sudah beli obat pereda nyeri juga, aman"
Amos mengabaikan tatapan beberapa mahasiswa yang mengarah penuh tanda tanya ke punggungnya. Agnes yang sontak berdiri dan menggeram lirih, "Semua mata mengarah ke sini bodoh!"
"Bodo amat! Buruan kompres perut kamu dengan ini" Amos lalu melangkah ke meja yang masih kosong dengan cueknya.
Agnes langsung menarik turun kantong kompres sambil duduk dan meletakkan kantong kompres itu ke perutnya.
Amos selalu sedia alat kompres di dalam kotak obat-obatannya dan tadi ia lari bolak balik ke parkiran mobil lalu ke kantin untuk membeli air hangat dan obat pereda nyeri yang aman terjual di pasaran untuk pertolongan pertama. Kemudian pria tampan itu berlari ke kelas.
Amos ikut tersenyum lega melihat perempuan yang ia cintai mengulas senyum lega.
Amos menoleh ke belakang saat pundaknya ditepuk.
"Bu Agnes kenapa?" Tanya laki-laki berkacamata tebal dan berrambut klimis dengan mata sipit.
"Perutnya sakit"
"Kamu akrab sama Bu Agnes, ya?"
Amos memilih untuk menggelengkan kepala. Dia tidak sepenuhnya bohong karena ia memang tidak begitu akrab dengan Agnes.
"Kok, kamu kasih Bu Agnes kompresan dan obat?"
"Kalau ada orang kesakitan apa kamu akan diam saja?" Amos menyipitkan mata.
Laki-laki yang duduk di belakang bangkunya Agnes meringis lalu berkata, "Iya, juga, ya"
Amos menoleh ke kiri saat ia merasakan punggungnya ditepuk pelan.
"Kamu udah datang dari tadi? Kok tahu Bu Agnes perutnya sakit?"
Astaga! Mulut plus enam dua emang lemes-lemes semua, ya, nggak cowok nggak cewek. Termasuk Gue juga dong, hehehehe, Gue juga lahir di plus enam dua. Amos menghela napas panjang lalu berkata, "Iya, aku nggak bisa tidur semalam"
"Kenapa? Nggak ada tugas, kan? Kenapa nggak bisa tidur?"
Amos menoleh ke kanan, "Nonton kucing tetangga kawinan. Kucing kalau kawin kan berisik"
Perempuan yang duduk di bangku sisi kanan bangkunya Agnes terkekeh geli.
"Kamu bukan hanya tampan tapi lucu juga, ya"
Amos menoleh ke kiri, "Gue merasa nggak lucu karena yang bilang Gue lucu bukan cewek Gue"
"Oh, kamu udah punya pacar? Baru aja aku mau minta nomer WA kamu"
Belum sempat Amos mengeluarkan kata, suara Ayu melengking tajam, "Gue ceweknya Amos. Nama Gue Ayu"
Amos sontak mengarahkan pandangannya ke Agnes karena ia khawatir Agnes salah paham. Tapi, ternyata dia yang terlalu khawatir. Agnes masih fokus dengan buku-bukunya.
Amos langsung mendelik ke Ayu dan bersuara keras agar Agnes mendengarnya, "Gue bukan pacar Lo"
Ayu menepuk pundak Amos, "Bentar lagi juga jadian" Ayu mengedipkan sebelah mata dengan senyum menggoda lalu melangkah menuju bangku yang masih kosong.
Amos mendengus kesal sambil mengeluarkan bukunya. Amos terus menatap Agnes dan tersenyum lega saat ia melihat Agnes sudah bisa berdiri tegak dan wajahnya tidak lesu lagi.
Agnes memulai kelasnya sambil membatin, kenapa aku merasa senang mendengar Amos berkata bahwa cewek yang bernama Ayu itu bukan pacarnya Amos.
Amos selalu berusaha menarik perhatiannya Agnes selama kelas berlangsung dengan cara banyak bertanya. Agnes terpaksa mengarahkan ke Amos beberapa kali untuk menjawab pertanyaannya Amos dan membuat Amos ingin terbang ke angkasa diberi tatapan dan pujian untuk semua pertanyaannya yang dinilai Agnes cerdas dan berbobot.
Saat kelas usai, Agnes meletakkan kantong kompres ke mejanya Amos sambil berkata, "Terima kasih"
Amos bangkit berdiri lalu memasukkan kantong kompres ke dalam tas ranselnya sambil berkata, "Besok aku siapkan lagi"
Dia peduli banget. Mas Ronald aja nggak pernah merhatiin aku kalau aku nyeri datang bulan. Yeeaahh, mas Ronald terlalu sibuk.
Batin Agnes sambil menatap intens wajah tampannya Amos alih-alih merespons ucapannya Amos.
Amos tersenyum melihat Agens mematung dengan tampang lugunya. Lalu, pria tampan itu menjauhkan wajahnya untuk berbisik di telinga Agnes, "Kalau kamu masih berdiri terus di depanku seperti ini, aku akan nekat mencium kamu"
Agnes mengerjap kaget lalu ia mendorong dada Amos dan bergegas berbalik badan.
Amos terkekeh geli melihat Agnes berlari kecil meninggalkan kelas.
Ayu menepuk punggung Amos sambil berkata, "Apa yang kamu bisikkan ke dosen cantik tadi? Aku cemburu lho"
Amos melangkah keluar dari balik mejanya sambil berkata, "Bodo amat!" Lalu Amos bergegas berlari kencang sebelum Ayu menggenggam tangannya.
Ayu langsung berteriak, "Amos tunggu!" Sambil berlari menyusul Amos.
Amos menerobos masuk ke jok belakang mobilnya Agnes.
Agnes menoleh ke belakang, "Kenapa kamu masuk ke mobilku, hah?!"
"Tolong lakukan saja mobilnya. Aku tidak mau Ayu menemukan aku"
Agnes menuruti permintaan Amos sambil berkata, "Ini karena kamu udah menolong aku nyeri datang bulan, tapi di pos satpam kamu harus turun!"
"Iya, iya" Sahut Amos sambil menoleh ke belakang, ia menghela napas panjang saat ia melihat Ayu celingukan mencari dirinya.
"Ada hubungan apa kamu dengan cewek yang bernama Ayu itu. Akrab banget kalian"
Amos mengarahkan pandangannya ke depan lalu tersenyum lebar dan bertanya, "Kenapa? Kamu cemburu?"
Ckiiiiitttt! Agnes sontak mengerem mobilnya lalu berteriak, "Turun!"
Amos membuka pintu mobil dengan wajah kusut, tapi ia menghentikan langkahnya untuk keluar dari dalam mobil saat ponselnya Agnes mengeluarkan suaranya Archie, "Ma, kalau Mama ketemu Om Amos, tolong tanya apa Om Amos bisa ke sini karena kemarin Om Amos janji mau......."
Sebelum Agnes berkata tidak ketemu dengan Amos, Amos buru-buru berteriak kencang, "Bisa, Om Amos ke rumah Archie sekarang"
Terdengar suara sorak sorainya Archie di ponsel saat Agnes melotot ke jok belakang tepat di bola matanya Amos.
Amos nyengir lalu berkata, "Harus memberi contoh ke anak, Bu. Janji harus ditepati. Saya kemarin janji ke rumah Archie untuk menemani Archie menggambar"
"Giliran ada maunya kamu pakai saya lagi" Agnes mendengus kesal. "Tutup pintunya!"
"Saya akan pindah ke depan"
"Nggak perlu! Duduk saja di sana dan tutup pintunya!" Teriak Agnes kesal.
Amos meringis sangat lebar saking bahagianya. Dia bisa ke rumah Agnes lagi dan kali ini dia akan mulai mencari bukti-bukti terkait bisnis ilegalnya Ronald. Sambil menyelam minum air.
Ayo laksanakan P tiga, Pedekate plus Pede aja lagi mengejar gebetan plus Profesional cari bukti, hehehehe. Amos melebarkan senyumannya.