Nadia mengira melarikan diri adalah jalan keluar setelah ia terbangun di hotel mewah, hamil, dan membawa benih dari Bramantyo Dirgantara—seorang CEO berkuasa yang sudah beristri. Ia menolak uang bayaran pria itu, tetapi ia tidak bisa menolak takdir yang tumbuh di rahimnya.
Saat kabar kehamilan itu bocor, Bramantyo tidak ragu. Ia menculik Nadia, mengurungnya di sebuah rumah terpencil di tengah hutan, mengubahnya menjadi simpanan yang terpenjara demi mengamankan ahli warisnya.
Ketika Bramantyo dihadapkan pada ancaman perceraian dan kehancuran reputasi, ia mengajukan keputusan dingin: ia akan menceraikan istrinya dan menikahi Nadia. Pernikahan ini bukanlah cinta, melainkan kontrak kejam yang mengangkat Nadia .
‼️warning‼️
jangan mengcopy saya cape mikir soalnya heheh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Celyzia Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Ughh" nadiya baru saja terbangun dari tidurnya
dia menguap bahkan meregangkan tubuhnya yang polos tanpa sehelai benang pun dengan selimut tebal yang menyelimutinya , dia merasa ada yang aneh dengan tubunya saat di gerakkan bagian bawahnya terasa sakit membuat kania refleks bangun."akhhh aduhhh sakit "nadia merasa bagian bawahnya sangat perih serta bagian pinggannya pun tersa seperti mati rasa.
Nadia yang melihat tempatnya sekarang bingung.
" ini dimana ya ,terus kenapa bagian bawahku sakit ".
nadia sibuk mengingat kejadian semalam.
" apa iya semalem aku sama om om itu naninu cok" saat berhasil mengingat kejadian semalam mata nadia membola dia menoleh kesana kemari mencari seseorang tapi hanya dirinya seorang diri di ruangan ini. Tanpa nadia ketahui seorang pria baru saja keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang gagah dihiasi roti sobek wajah sangar tapi tampannya membuat siapa saja yang melihatnya akan terpana termasuk nadiya .
*gentengnya,lihat badanya beh mantap, tatonya keren eeh apaan sih nadiya dosa lo"nadiya berucap dalam hati tanpa mengalihkan pandangan dari pria yang berdiri di depannya sedang menggunakan pakaiannya .*di kamar mandi kan bisa *.
Sadar dengan apa yang dia lihat nadiya memalingkan wajanya malu. Tapi pria itu malah tak memedulikan nadiya setelah mengenakan stelan jas hitamnya kembali dia menatap nadiya dengan tatapan dingin lalu pergi begitu saja.
Nadia tercekat. Detak jantungnya langsung berpacu tak karuan, bukan lagi karena rasa sakit, tapi karena kekecewaan yang menusuk. Ia merasakan pipinya memanas, bukan karena malu, melainkan karena perlakuan pria itu.
Dia... dia pergi begitu saja? benaknya menjerit. Tidak ada sapaan, tidak ada penjelasan, bahkan sehelai kertas pun tidak. Hanya tatapan mata dingin yang menusuk, seolah Nadia adalah benda yang sudah habis masa pakainya.
Nadia memaksakan dirinya untuk duduk, meredam erangan perih dari bagian bawah tubuhnya. Ia menarik selimut tebal itu hingga menutupi dadanya yang terekspos, mencoba mencari perlindungan dari rasa hampa yang tiba-tiba melingkupinya.
Ruangan itu sunyi. Terlalu sunyi. Aroma maskulin yang kuat, campuran cologne mahal dan sedikit bau tembakau, perlahan menghilang bersama kepergian pria tadi. Nadia memperhatikan sekeliling. Itu adalah kamar hotel mewah. Dindingnya berwarna krem dengan aksen emas minimalis, lampu kristal menggantung elegan, dan jendela besar yang menampilkan pemandangan kota metropolitan di pagi hari yang cerah.
Sebuah dompet kulit tergeletak di meja samping tempat tidur. Di sebelahnya, setumpuk uang kertas seratus ribuan yang tebal, diletakkan dengan cara yang kejam—seperti biaya sewa untuk malam yang sudah berlalu.
Mata Nadia mulai berkaca-kaca. Hatinya seperti diremas. Ia meraih uang itu, tangannya gemetar.
"Sialan," bisiknya getir, suaranya parau. "Aku... aku bukan pelacur!"
Malam tadi, yang ia ingat adalah keramaian kelab malam, segelas minuman yang terasa aneh, dan pandangan mata tajam pria itu saat mendekatinya. Ada sedikit bujukan, sedikit paksaan, dan kabut tebal yang membuatnya hilang kesadaran. Ia kira itu adalah petualangan liar yang mendebarkan, tapi kenyataannya terasa seperti transaksi yang kotor.
Dengan sisa tenaganya, Nadia bangkit dari tempat tidur, menahan ringisan. Ia mencari pakaiannya yang berserakan di lantai. Celana jinsnya sobek di bagian lutut, blusnya kusut dan kehilangan satu kancing. Pakaian yang dikenakan semalam tampak menyedihkan, kontras dengan kemewahan kamar ini.
Saat ia sedang berjuang memakai pakaiannya, pandangannya tertuju pada selembar kartu nama berwarna hitam yang terselip di bawah tumpukan uang tadi. Ia mengambilnya.
Tertulis nama, tebal dan berwibawa: "Bramantyo Dirgantara - CEO Dirgantara Group"
Nadia menelan ludah. Jadi, pria itu bukan sekadar "Om-Om" tampan sembarangan. Dia adalah seorang pengusaha besar, konglomerat yang namanya sering muncul di berita bisnis.
Ia menatap tumpukan uang itu lagi, lalu ke kartu nama di tangannya. Tiba-tiba, api kemarahan menggantikan kesedihan.
"Terserah kau CEO atau bukan," gumam Nadia, suaranya mengeras. "Kau tidak bisa memperlakukanku seperti ini. Aku bukan barang yang bisa kau bayar lalu kau buang!"
Ia mengambil kunci kamarnya, merapikan rambutnya sebentar di depan cermin, lalu berjalan terseok-seok menuju pintu. Ia tidak menyentuh uang itu. Ia meninggalkannya begitu saja, di samping kartu nama milik pria arogan itu, sebagai penolakan yang membisu dan penuh amarah.
Ia tahu, begitu ia keluar dari pintu itu, ia akan masuk ke dunia yang berbeda. Dunia yang baru saja hancur berantakan. Nadia menarik napas dalam-dalam, menguatkan hatinya, dan membuka pintu, melangkah keluar meninggalkan bau maskulin yang dingin dan sunyi yang menyaksikan betapa ganasnya pergulatan mereka semalam.
Jika da kata yang typo saya minta maaf 🙏
karna saya adalah pemula dan ini merupakan karya pertama yang akan saya selesaikan dengan semangat.
Dan selamat membaca 📖