Chen Lin, sang mantan agen rahasia, mendapati dirinya terlempar ke dalam komik kiamat zombie yang ia baca. Sialnya, ia kini adalah karakter umpan meriam yang ditakdirkan mati tragis di tangan Protagonis Wanita asli. Lebih rumit lagi, ia membawa serta adik laki-laki yang baru berusia lima tahun, yang merupakan karakter sampingan dalam komik itu.
Sistem yang seharusnya menjadi panduan malah kabur, hanya mewariskan satu hal: Sebuah Bus Tua . Bus itu ternyata adalah "System's Gift" yang bisa diubah menjadi benteng berjalan dan lahan pertanian sub-dimensi hanya dengan mengumpulkan Inti Kristal dari para zombie.
Untuk menghindari kematiannya yang sudah tertulis dan melindungi adiknya, Chen Lin memutuskan untuk mengubah takdir. Berbekal keterampilan bertahan hidup elit dan Bus System yang terus di-upgrade, ia akan meninggalkan jalur pertempuran dan menjadi pedagang makanan paling aman dan paling dicari di tengah kehancuran akhir zaman!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Si kecil pemimpi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana
Hari Kedua Kiamat
Pagi tiba, tetapi tidak membawa cahaya. Sebaliknya, salju masih turun dengan derasnya dan membawa keheningan yang mematikan.
Di dalam Bus yang terparkir di tempat tersembunyi, semua orang berdiri di dekat jendela. Chen Lin membuka tirai tipis dengan hati-hati.
Kota yang biasanya bising kini diam. Udara terasa berat, dan kabut tipis menyelimuti gedung-gedung tinggi.
Keheningan itu sendiri adalah kengerian, seolah-olah kota itu telah mati dalam tidurnya.
"Sepertinya sudah dimulai," bisik Chen Lin
Tiba-tiba, keheningan itu pecah. Jeritan!
Jeritan tajam seorang wanita terdengar dari jalanan utama, diikuti oleh suara pintu kaca yang pecah.
Sebuah motor jatuh terguling, pemiliknya berlari sambil menjerit meminta tolong.
Wen Tao terpaku.
"Lihat itu… zombie,” bisiknya, suaranya tercekat.
Seseorang mengejar pria pemilik motor itu. Jalannya aneh, seperti terseret dan tidak terkoordinasi.
Kepalanya miring, mulutnya berlumuran darah. Dan ketika dia menangkap korbannya, dia langsung menggigit lehernya tanpa ragu. Darah hitam mulai membasahi aspal putih.
"Ya Tuhan..." gumam Wen Tao dari balik selimut yang ia pegang erat. Ia mengintip dengan satu mata, tetapi segera menutupnya lagi.
Pemandangan itu terlalu brutal untuk mata yang terbiasa melihat layar game penuh warna.
Chen Wei memeluk kakaknya erat. Meskipun ia sudah bersiap secara mental dan kini memiliki kekuatan petir, ia hanyalah anak berusia lima tahun. Trauma melihat kekejaman fisik itu terlalu berat.
Hanya Jin Rang dan Chen Lin yang tetap tenang. Chen Lin menatap pemandangan itu tanpa emosi. Ingatannya dari komik membantunya memproses kengerian itu sebagai 'fakta yang harus dihadapi'.
"Tidak semua orang mendapatkan kekuatan," jelas Chen Lin, suaranya tenang. "Mereka yang bangun tanpa kekuatan, kebanyakan menjadi mangsa pertama karena kebingungan. Tubuh mereka masih lemah karena demam."
Wen Tao: "....."
TibA-tiba, rasa syukur yang luar biasa membanjiri hati Wen Tao.
Terima kasih kepada Ibunya, pikirnya.
Terima kasih karena menitipkannya pada Chen Lin.
Jika tidak, mungkin dia—manusia biasa yang tidak berguna ini—sudah menjadi zombie yang jelek dan berlumuran darah di luar sana.
Setelah melihat wajah buruk rupa zombie dan bagaimana mereka memangsa korban, Wen Tao menyesali pemikiran bodohnya kemarin.
Lebih baik jadi zombie daripada manusia biasa?
Dia tarik kembali kata-katanya!
"Setidaknya aku masih... sangat tampan," gumam Wen Tao, memeluk selimutnya.
Ia memutuskan bahwa menjadi manusia biasa yang tampan jauh lebih baik daripada menjadi monster jelek yang berjalan terseok-seok.
Sebelum mereka sempat memproses, kekacauan meledak dari segala arah.
Mobil saling bertabrakan karena supirnya panik. Ada yang menabrak trotoar, ada yang masuk ke toko, kaca pecah berserakan. Orang-orang berlari sambil membawa tas dan anak kecil. Sebagian memanjat pagar rumah, sebagian lagi menutup pintu rapat-rapat sambil mematikan semua lampu, berharap ini hanyalah mimpi.
Di atas langit, suara gemuruh keras menarik perhatian mereka.
Semua mendongak.
Sebuah pesawat besar melintas rendah sekali, buntutnya mengeluarkan api.
Suaranya memekakkan telinga saat pesawat itu hilang di balik gedung—dan beberapa detik kemudian, ledakan besar mengguncang seluruh kota.
Awan hitam naik ke langit seperti jamur raksasa.
Setelah lama menatap kekacauan dari jendela bus—keempatnya akhirnya berkumpul kembali di sofa panjang bus untuk membahas rencana ke depan.
Suasana di dalam Bus seharusnya tegang, mengingat baru saja mereka menyaksikan kengerian di luar jendela.
Anehnya, justru Chen Lin yang terlihat paling santai. Ia merogoh saku bajunya dan mengeluarkan sekantong biji kuaci.
Ia membagikan sebagiannya kepada adiknya. Chen Wei dengan senang hati mulai mengupas kuaci tersebut, lalu menyerahkan isinya yang sudah bersih kepada kakaknya.
Chen Lin menerimanya dengan senang hati, lalu menoleh pada dua pria dewasa di depannya.
"Kalian mau?" tanyanya santai pada Jin Rang dan Wen Tao.
Wen Tao hanya bisa menelan ludah. Bagaimana mungkin ia bisa makan setelah melihat adegan berdarah barusan? Ia hanya ingin muntah. Jin Rang hanya menggelengkan kepalanya dengan heran.
Chen Lin mengangkat bahu acuh tak acuh, lalu kembali menikmati kuaci yang dikupas oleh adiknya.
Chen Lin memulai, menatap mereka dengan santai, seolah-olah mereka sedang merencanakan piknik akhir pekan.
"Jadi, apa rencana kalian? Aku tidak berniat tinggal di pangkalan mana pun," kata Chen Lin. Ia menyilangkan kaki. "Aku lebih suka berjalan-jalan keliling dunia dengan Bus-ku."
Wen Tao: "....."
Jin Rang: "....."
Mereka saling pandang. Sirkuit otak Chen Lin sungguh berbeda dengan manusia normal lainnya. Di saat orang lain memilih berlindung di bunker atau pangkalan, Chen Lin berbicara seolah-olah kiamat ini hanyalah kesempatan untuk liburan keliling dunia dengan rumah berjalan pribadinya.
Chen Wei, di samping kakaknya, berkata dengan serius, "Wei Wei akan mengikuti Kakak ke mana pun Kakak pergi. Wei Wei ingin jadi liontin kaki Kakak!"
Chen Lin mengangguk puas. "Anak pintar."
Tapi, tunggu....
"Dari mana kamu dapat kata-kata berantakan itu?" tanya Chen Lin, mengernyit.
Chen Wei menunjuk Wen Tao dengan jari kecilnya. "Sepupu."
Chen Lin menatap Wen Tao dengan tatapan tajam.
Wen Tao langsung memalingkan wajah ke langit-langit bus, penuh rasa bersalah.
Dia benar-benar lupa pernah mengajarkan kata-kata tidak bermoral itu.
Chen Lin menghela napas dan berkata tegas kepada adiknya,
“Jangan dengarkan kata-kata berantakan begitu lagi. Ngerti?”
Chen Wei mengangguk cepat seperti ayam mematuk nasi. “Mengerti.”
Giliran Wen Tao mendapat tatapan Chen Lin.
“Kalau Tao Tao bagaimana?”
Wen Tao sebenarnya ingin komplen dengan nama panggilannya, dia merasa panggilan 'Tao-Tao' itu sangat aneh.
Wen Tao menarik napas panjang. “Aku… mau menjemput ibu dan ayahku. Jadi aku ikut denganmu dulu.”
Untungnya internet belum terputus, jadi Wen Tao sempat menelepon orang tuanya. Kabar baik: kedua orang tuanya selamat dan bahkan mendapatkan kekuatan—ibunya tipe kayu, ayahnya tipe logam.
Kabar buruk untuk Wen Tao sendiri:
dia satu-satunya di keluarga yang tidak mendapat kekuatan.
Dia menunduk, wajahnya muram.
Apakah… dia anak haram?
Chen Lin mengira Wen Tao sedih karena khawatir dengan keadaan orang tuanya. Dia menepuk bahunya pelan dan berkata dengan penuh niat baik,
“Tenang. Kebetulan aku sedang butuh liontin kaki tambahan.”
Wen Tao: “…”
Dia merasa ditembak di tempat.
Jin Rang menatap langit-langit.
…Aku tidak melihat apa pun
Chen Wei mengangguk pelan, penuh rasa iri.
Chen Lin mengalihkan pandangannya ke pria terakhir yang belum bicara.
“Xiao Rang, bagaimana denganmu?”
Jin Rang mengangkat alis, tenang seperti biasa.
“Aku dua tahun lebih tua darimu.”
Chen Lin terdiam. “…Benarkah? Padahal wajahmu kelihatan muda. Bahkan lebih muda dari Tao Tao.”
Wen Tao refleks memegang wajahnya sendiri.
Wen Tao:…
Apa dia terlihat tua?!
Chen Lin, tanpa rasa bersalah sedikit pun, langsung memperbaiki panggilannya.
“Baiklah, Rang Rang. Begitu lebih cocok?”
Jin Rang menatapnya lama. “…Terserah.”
Kemudian dia menjawab perlahan,
“Aku… lihat nanti saja.”
Chen Lin tidak menyahut, tapi dalam hatinya dia sudah membuat rencana licik:
Kalau bisa, dia ingin mempertahankan Jin Rang sebagai koki pribadi.
Harus dipikirkan cara supaya pria itu tidak kabur, hehe
“Oke,” Chen Lin menepuk sofa, “sekarang kita bahas sewa bus.”
Wen Tao bertanya dengan terkejut.
“Eee… masih ada sewa??”
...****************...
Chen Lin: Ayo rekomen kita akan healing kemana dulu
Chen Wei: Taman Safari
Wen Tao: !!!!!