“Jangan sok suci, Kayuna! Kalau bukan aku yang menikahimu, kau hanya akan menjadi gadis murahan yang berkeliling menjual diri!”
Demi melunasi hutang ayahnya, Kayuna terpaksa menikah dengan Niko — CEO kejam nan tempramental. Ia kerap menerima hinaan dan siksaan fisik dari suaminya.
Setelah kehilangan bayinya dan mengetahui Niko bermain belakang dengan wanita lain. Tak hanya depresi, hidup Kayuna pun hancur sepenuhnya.
Namun, di titik terendahnya, muncul Shadow Cure — geng misterius yang membantunya bangkit. Dari gadis lemah, Kayuna berubah menjadi sosok yang siap membalas dendam terhadap orang-orang yang menghancurkannya.
Akankah Kayuna mampu menuntaskan dendamnya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SooYuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 14
Panci kecil mendesis pelan di atas kompor, wangi masakan yang sudah siap saji menyeruak di ruangan. Suara sendok dan piring beradu kala Kayuna tengah mencucinya di wastafel.
Dibantu oleh Mbok Surti, keduanya sibuk menyiapkan sarapan. Sementara Vena dan putri kesayangannya duduk dengan raut wajah yang masam di meja makan.
“Perempuan gila itu … sudah membuatku malu di depan umum kemarin,” dengus Vena dengan tatapan sengitnya.
“Ada apa emangnya, Ma?” tanya Safira penasaran.
Vena menghela napas berat, sorot matanya masih menajam — menatap punggung menantunya. “Kayuna bikin Mama darah tinggi, sampai Mama nggak bisa kontrol emosi di rumah sakit kemarin. Terus datang seorang dokter muda ngusir Mama gara-gara bikin keributan, malu banget tau nggak!”
“Mama sama Kayuna bertengkar di rumah sakit?”
“Mama cuma ngasih saran karena kandungannya lemah, eh tuh mulut perempuan malah nyolot ke Mama, ya Mama emosi dong,” balas Vena menceritakan fakta yang jelas-jelas direkayasa.
Tak lama, langkah kaki pelan terdengar — mendekati dua wanita yang tengah berbincang panas. “Siapa perempuan yang Mama maksud?”
Vena dan Safira sontak menoleh bersamaan.
“Niko?” ucap Vena pelan. “Kamu sudah enakan badannya?” tanyanya penuh perhatian pada anak laki-lakinya itu.
Sudah dua hari Niko absen tidak ke kantor dengan alasan sakit, dia diserang demam setelah menghabiskan malam bergairah bersama sekretaris pribadinya.
Niko mengangguk sambil merebahkan bokongnya di kursi. Tangannya meraih gelas teh hangat yang sudah disiapkan oleh Kayuna. “Siapa perempuan yang berani nyolot ke Mama?”
“Siapa lagi kalau bukan istrimu itu!” cetus Safira sengaja meninggikan suaranya.
Niko menghentikan tangannya, lalu mendongak menatap adik perempuannya. “Kayuna?” tanyanya seolah tak percaya.
Safira mengangguk. “Emangnya Kakak punya berapa istri?”
Niko menoleh sekilas, melihat bahu Kayuna yang tampak tenang menyelesaikan tugasnya di dapur. Seolah acuh pada suara yang terus menggunjing dirinya.
“Dia memang wanita tegas, tapi aku nggak yakin dia berani bentak Mama,” ujar Niko sambil menyeruput pelan tehnya.
“Maksud kamu Mama bohong?! Niko … kamu nggak percaya sama Mama?” balas Vena menekankan suaranya.
Niko terdiam sejenak, matanya menyipit mengingat kejadian-kejadian belakangan ini. “Kayuna … memang cukup berani akhir-akhir ini, dia bahkan menendang perkututku yang berharga,” gumamnya sambil menunduk — menatap perkututnya.
“Apa katamu?” tanya Vena.
Niko segera menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa, Ma,” jawabnya. “Maklumin aja, mungkin bawaan bayinya.”
Vena menyunggingkan bibirnya. “Kamu jadi memihak dia sekarang? Cuma karena dia mengandung bayimu?!”
“Mama benar, Kak Niko sekarang jadi aneh, kayak makin luluh sama tuh perempuan. Padahal, belum tentu juga bayi itu anaknya Kak Niko.” Safira ikut menimpali dengan ucapan miris.
Kayuna berdiri memegang semangkuk bubur panas di belakang Niko. “Jaga ucapanmu, Safira!” hardiknya dengan wajah yang penuh amarah.
Safira menelan ludah, namun tatapan terus menantang pada Kakak iparnya. “Logika aja. Kakakku nggak pernah mencintaimu, tapi kau tiba-tiba hamil? Nggak masuk akal, kan?!”
“Apa kami perlu melapor saat tengah bercinta? Apa kalian tahu yang terjadi selama dua tahun lebih kami menikah? Aku dan Kakakmu sudah —”
“Kayuna!” Niko memotong cepat ucapan istrinya. “Apa perlu dijelaskan hal seperti itu?”
Kayuna meletakkan mangkuknya dengan keras di depan Niko. “Mulutmu yang hanya terus diam, itu sebabnya banyak fitnah yang menyerangku, Mas!”
Niko mengangkat wajahnya, menatap tajam istrinya. “Nikmati saja, lagipula aku memang nggak pernah mengharap seorang bayi dari rahimmu, Kayuna.”
Vena dan Safira sontak tersenyum puas kala mendengar ucapan Niko. “Rasain!” celetuk keduanya.
“Oh ya?” Kayuna menyeringai, meski bibirnya tampak bergetar. “Kalau begitu, tak masalah jika aku menggugurkan bayi ini, kan?” cetusnya tanpa berpikir panjang.
Brak! Niko menggebrak meja dengan kuat.
“Kau gila?!” bentaknya pada Kayuna yang berdiri dengan tatapan nyalang di hadapannya.
“Dasar perempuan gila!” timpal Vena dengan suara lantangnya.
“Bukankah ini yang kalian mau?” tanya Kayuna seraya menatap satu per satu wajah yang ada di meja makan.
“Kau, wanita —”
“Bisakah kalian semua diam?!” hardik Niko memotong kalimat ibunya. “Kalian … merusak pagiku saja.”
Kayuna mengepalkan tangan, pelupuk matanya sudah basah, batinnya jelas hancur setelah mendengar kalimat menusuk dari mulut suaminya. “Dengar kalian semua … aku selama ini diam bukan karena bodoh, tapi hanya malas meladeni manusia-manusia jahanam seperti kalian.”
“Tapi sekali saja aku dengar kalian menghina anakku yang bahkan belum dilahirkan. Aku … tidak akan tinggal diam. Terutama kau Safira! Jaga bicaramu!” ucap Kayuna tajam.
“Dan kau, Mas Niko … aku akan membuat perhitungan denganmu.” Kayuna menyunggingkan bibirnya sebelum berbalik pergi dari ruangan itu.
“Nyonya ….” Mbok Surti hanya bisa bergumam pelan, tak berani mengejar Kayuna yang berlari dengan raut wajah menyedihkan. “Kalau saya kejar, si Nenek Lampir pasti akan memecat saya.”
Mengetahui kedekatannya dengan Kayuna. Vena memberi teguran pada Mbok Surti, agar tak terlalu ikut campur persoalan keluarganya, termasuk urusan Kayuna. Dia membungkam dengan ancaman, agar wanita baya itu tak membocorkan kejadian saat Kayuna nyaris meregang nyawa karena ulah anak laki-lakinya.
Di kegelapan malam yang menyerang kesunyian, sorot lampu dari luar jendela menerobos masuk — menerpa dinding berwarna cerah elegan.
Kayuna bersimpuh di dekat ranjangnya, hampir seharian ia tak keluar kamar, setelah mendapat cibiran menyakitkan dari orang-orang di sekitarnya.
Air matanya terus terjatuh tak tertahan. Ia meremas kuat dadanya. “Ya Allah … sesakit inikah —”
Ucapannya terputus oleh napas yang tersengal, bahunya bergetar, tangisnya pecah dalam kesendirian.
***
Dering dari sebuah pesan masuk di ponsel Niko, menarik rasa penasaran Kayuna. Padahal, selama ini ia sama sekali tak pernah menyentuh ponsel suaminya. Tapi firasatnya yang kuat — mendorongnya untuk menyelidiki kecurigaannya.
Pagi itu. Niko sedang mandi, ponselnya tergeletak di meja kamar. Kayuna berdiri, mendekati meja dan meraih ponsel tersebut.
“Sial! Apa sandinya?” gumamnya sambil berusaha menebak.
Kayuna terus mengutak-atik hingga akhirnya berhasil memecahkan kode ponsel suaminya. Ia segera memeriksa pesan dari jendela notifikasi.
Mas … apa kamu sudah baikan? Berangkat kerja kan hari ini? Isi pesan itu dari kontak Airin.
“Airin?” Kayuna mengangkat alisnya. “Bukan Pak atau Bos, tapi dia manggil Mas Niko dengan sebutan Mas?”
Kepalanya mulai dipenuhi spekulasi liar. Namun, sebelum ia benar-benar membuka pesan. Niko sudah keluar dari kamar mandi, dengan tergesa, Kayuna meletakkan kembali ponsel di tempat semula.
Kayuna menelan ludah sambil menggigit bibir bawahnya — gugup, cemas kalau Niko memergoki dirinya yang memeriksa ponsel itu.
“Ada apa?” tanya Niko datar, matanya menyipit memperhatikan tingkah kikuk istrinya.
“B-bukan, Mas ….”
Niko menyeringai. “Akhirnya kau tau kesalahanmu? Mau minta maaf tapi nggak berani?” ucapnya.
Kayuna mendongak, lalu berdeham pelan. “Benar, Mas. Aku tahu kemarin sudah berlebihan, maaf,” kilahnya.
“Sudah kuduga, keberanianmu tidak akan bertahan lama. Kau hanya bisa menggertak saja, lalu kembali berlutut di depanku memohon ampunan,” ujar Niko tajam seraya meremas dagu istrinya. “Berhentilah bertingkah, Kayuna. Cepat siap-siap, ikut aku keluar.” Pria itu melepas cengkeramannya.
Kayuna terbatuk pelan. “Ke mana, Mas?” tanyanya sambil menyentuh dagu yang baru saja dicengkeram suaminya.
“Yudha ingin menemuimu sebelum tanda tangan kontrak kerja sama,” balas Niko sambil merapikan kemejanya.
“Yudha?”
“Dia temanku, dia tahu alasan kita menikah. Nggak perlu berpura-pura di depannya nanti.” Tanpa sadar Niko menjawab tiap pertanyaan istrinya, lalu menoleh dengan tatapan tajam. “Cepat bersiap, kenapa kau cerewet sekali?”
Niko lalu keluar kamar setelah memakai jasnya. “Aku tunggu di mobil.”
Kayuna berdiri dengan wajah curiga, dahinya mengerut. “Yudha? Ah bodo amat siapa dia, aku harus fokus cari tahu soal Airin. Firasatku kali ini sangat kuat,” gumamnya sembari menyipitkan mata, seolah sedang menyusun rencana di kepala.
“Tidak perlu berpura-pura katanya …,” bisik Kayuna sambil menyeringai — mengingat ucapan suaminya barusan. Lalu menatap tajam dirinya di depan kaca. “Baiklah, saatnya kau tunjukan dirimu yang sebenarnya, Kayuna.”
*
*
Bersambung ….