NovelToon NovelToon
KEPALSUAN

KEPALSUAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Misteri / Action / Persahabatan / Romansa
Popularitas:217
Nilai: 5
Nama Author: yersya

ini adalah cerita tentang seorang anak laki-laki yang mencari jawaban atas keberadaannya sendiri

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yersya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 14

Aku masih terkesima dengan pertarungan tadi. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku. Kutukan laba-laba itu terlalu besar untuk masuk melalui anak tangga sempit itu. Entah bagaimana dia berhasil, tapi seharusnya laba-laba sebesar itu memasang jaring di sekitar sarang atau tempat persembunyiannya. Namun, ketika kami memasuki ruang bawah tanah, tidak ada sehelai jaring pun yang terlihat.

“Ini aneh…” gumam Adelia, matanya menatap tajam mayat kutukan itu. “Mayatnya… tidak menghilang?”

Aku mengerutkan kening. Ingatanku tertuju pada peristiwa sebelumnya—kutukan yang dibunuh oleh elang Adelia langsung lenyap, hancur tanpa jejak. Tapi kali ini… kenapa makhluk ini masih ada?

Tiba-tiba, aku dan Adelia tersentak.

BANG!

Semua daging kutukan itu membengkak dengan cepat, menimbulkan suara retakan dan gesekan yang mencekam. Ruangan seketika dipenuhi bau busuk yang lebih pekat.

“Sial!” gerutu Adelia, matanya menyala dengan panik. “Lindungi kami, Orochi!”

SEEEET!

Dalam sekejap, Orochi muncul. Tubuhnya melesat seperti kabut hitam yang hidup, membentuk lilitan melingkari kami tanpa celah sedikit pun. Daging kutukan yang membesar itu meledak keras, BA-BOOM!, menyemprotkan cairan beracun ke seluruh ruangan.

Orochi mendesis, terdengar seperti SSHHHHHH! sakit di udara pekat. Bangunan tua itu berguncang, kayu dan bata runtuh dengan gemuruh KRRAAAK-CRASH! menimbun kami di bawah puing.

“Sial!” Adelia berteriak sambil menyalakan senter ponselnya. Cahaya tipis dari lampu ponsel menembus kabut debu. “Kau baik-baik saja, Orochi?” tanyanya, suaranya terdengar tegang.

Orochi mendesis pelan, HSSSS…, menunjukkan rasa sakitnya. Tubuhnya bergetar, sebagian sisiknya retak karena ledakan tadi.

“Tolong bertahan sebentar lagi,” ujar Adelia. Matanya menatapku. “Bagaimana denganmu? Kau baik-baik saja, Arya?”

“Ya… aku baik,” jawabku. Suaraku terdengar tegang, tapi aku harus tetap tenang. “Yang lebih penting… kita harus cepat cari jalan keluar dari sini, kalau tidak Orochi akan mati.”

“Aku tahu itu,” ucap Adelia sambil menunduk. Ia berjongkok, menempelkan tangan kirinya ke lantai yang dingin. Gigi-giginya bergesekan, terdengar GRRKK, saat ia berusaha sekuat tenaga memanggil familiarnya. Keringat menetes di pelipisnya, sementara lututnya bergetar lemah, memperlihatkan seberapa tipis tenaga yang tersisa padanya.

Cairan hitam mulai merembes dari lantai, SLUUUURP…, hingga membentuk seekor tikus tanah setinggi setengah meter.

“Gali, Mole!” perintah Adelia dengan tegas.

Tikus itu, bernama Mole, segera menggerakkan cakar depannya, menggali tanah dengan cepat—SCRRRATCH-SCRRRATCH!—mengukir terowongan yang stabil di dalam tanah.

“Cepat masuk!” seru Adelia, suaranya tegang namun tegas.

Aku mengangguk, menunduk, dan merayap masuk lebih dulu ke terowongan sempit itu. Adelia segera menyusul di belakangku, dan sebelum aku sempat menoleh, ia menarik kembali Orochi. Tubuh Orochi bergetar sejenak, lalu berubah menjadi cairan hitam pekat, SLORP…, terserap perlahan ke tubuh Adelia, meninggalkan udara yang hening dan tegang.

Terowongan sempit itu bergoyang saat tanah di bawah kaki kami bergeser dengan bunyi CRRUNCH, tapi Mole terus menggali tanpa henti, mengukir jalan yang cukup aman bagi kami. Setelah lima belas menit merayap di lorong gelap yang lembab dan berbau tanah basah, akhirnya kami muncul di luar—tepat di depan bangunan tua yang sebelumnya tampak runtuh.

Haah… haah… haah…

Adelia terduduk di tanah, lututnya lemah dan tubuhnya terhuyung, napasnya tersengal-sengal, wajahnya basah oleh keringat. Dengan gerakan gemetar, ia menarik Mole kembali, lalu perlahan melepaskan pemisah ruang. Seketika, bangunan yang sebelumnya runtuh… kembali utuh seperti semula, seolah seluruh kehancuran itu hanyalah ilusi atau mimpi buruk yang baru saja kami lalui.

“Kau tidak apa-apa?” tanyaku, khawatir melihat kondisi tubuhnya.

“...Y-ya… begitulah,” jawabnya, suara tersengal, sambil mengusap wajah basahnya dengan lengan sweater.

“Yang lebih penting…” Adelia mencoba berdiri, dan aku segera memegang tangannya agar tidak terjatuh. “…Kita harus segera pergi dari sini!”

Aku terdiam, mataku menatap Adelia yang tampak kelelahan luar biasa. Napasnya berat, dadanya naik-turun dengan cepat seolah setiap helaan napas menuntut seluruh tenaganya. Keringat membasahi wajahnya, rambutnya menempel di kulit, dan lututnya masih gemetaran. Aku ingin bertanya, “Kenapa…?” tapi naluri mengatakan padaku bahwa saat ini bukanlah waktu yang tepat.

Aku menundukkan tubuhku sedikit, dengan cepat menyelipkan satu lengan di bawah lutut Adelia, satu lengan lagi menopang punggungnya. Sebelum ia sempat bereaksi… aku langsung mengangkatnya.

“O-oi! Apa yang kau lakukan?!” bentak Adelia, suara kesalnya bergetar.

“Ini darurat, kan?” jawabku sambil mulai berlari, menggendongnya dengan erat. “Lagipula, aku tidak bisa membiarkanmu berlari dalam kondisi seperti ini.”

Adelia tertegun, matanya melebar. Ia pasrah, tapi jelas menahan kesal di sudut bibirnya.

Aku terus berlari, daun-daun kering berdesir di bawah kaki kami, angin pagi yang dingin menerpa wajah, namun aku tetap menambah kecepatan, fokus menjaga tubuh Adelia tetap aman.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!