👑 Academy Animers, sekolah elit untuk pelajar berkekuatan unik dan bermasalah mental, dijaga Kristal Kehidupan di Crown City. Dipimpin Royal Indra Aragoto, akademi berubah jadi arena Battle Royale brutal karena ambisi dan penyimpangan mental. Indra dan idealis (Akihisa, Miku, Evelia) berjuang mengembalikan misi akademi. Di lima kota inti, di bawah Araya Yamada, ketamakan dan penyalahgunaan kekuatan Kristal merusak moral. Obsesi kekuatan mendorong mereka menuju kehancuran tak terhindarkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PreWedding
Beberapa haru kemudian, kabar gembira menghiasi akademi. Berita itu menyebar secepat kilat di antara para murid dan staf pengajar: Royal Indra Aragoto dan Evelia Namida akan segera menikah. Di tengah duka yang masih terasa dari perang lalu, pengumuman ini menjadi simbol harapan dan masa depan bagi seluruh Sakura Flurry.
Di mana pun mereka muncul, pasangan itu selalu menjadi pusat perhatian. Banyak murid yang menggoda mereka dengan bisikan, senyum usil, dan bahkan tepuk tangan yang meriah.
Saat Indra berjalan melintasi halaman, beberapa murid laki-laki menyenggolnya sambil tertawa. "Selamat, Pangeran! Akhirnya 'Kucing Es' kita meleleh juga!"
"Kalian terlalu banyak bicara," desis Indra, yang tsundere hanya bisa bersikap dingin. Ia mempercepat langkahnya, aura esnya sedikit menguar, mencoba membekukan godaan-godaan itu. "Fokus pada pelajaran kalian. Aku bukan pangeran, aku guru kalian."
Namun, murid-murid itu tidak gentar. Mereka tahu di balik sifat dinginnya, Indra benar-benar bahagia.
Siang itu, di ruang guru, Evelia berjalan mendekati Indra yang sedang memeriksa tugas. Ia membawa dua cangkir teh hangat.
"Tehmu, Guardian," kata Evelia dengan senyum manis, meletakkan cangkir di meja.
Indra mengambil cangkir itu dengan gerakan kaku. "Terima kasih," jawabnya tanpa menatap.
Evelia menyandarkan tangannya di meja, mencondongkan tubuh sedikit. "Kau tahu, para murid itu punya ide bagus. Mereka bilang kita harus melakukan sesi latihan 'pernikahan' di Battle Arena. Mereka ingin melihat apakah Guardian dan Kitsune bisa bertarung sebagai satu unit yang sempurna sebelum janji suci."
Wajah Indra sedikit merona, tetapi ia segera menguasainya. "Ide bodoh. Pernikahan adalah masalah pribadi, bukan tontonan Arena. Dan kita sudah tahu kita adalah unit yang sempurna."
"Oh ya?" goda Evelia, matanya berbinar. "Kalau begitu, tunjukkan padaku. Cium aku di depan mereka semua, dan buktikan bahwa kau tidak lagi takut pada gunjingan."
Evelia selalu punya cara menggodanya. Indra menatap mata Evelia, sejenak kehilangan kata-kata. Ia hanya bisa mendengus kesal, lalu dengan gerakan cepat, ia meraih tangan Evelia dan menariknya keluar ruangan. "Kita ada pertemuan staf mendadak. Ikuti aku." Ia memilih melarikan diri daripada mengakui perasaannya di depan umum, membuat Evelia tertawa kecil.
.
.
.
.
.
.
.
Indra menarik Evelia ke lorong yang sepi di dekat ruang guru, melepaskan genggamannya, dan mengatur napas. Wajahnya kembali ke ekspresi datar, meskipun rona merah samar masih terlihat di telinganya.
"Itu adalah hal yang salah," kata Indra, suaranya kembali dingin dan logis. "Kita adalah pembimbing, Evelia. Akademi adalah tempat kerja, bukan arena untuk drama romantis. Terutama permintaanmu tadi."
Evelia memiringkan kepalanya, memanyunkan bibirnya dengan nada kecewa yang dibuat-buat. "Ayolah, Guardian. Sedikit ciuman saja. Itu akan meningkatkan moral murid-murid."
"Tidak," tolak Indra tegas. "Moral murid ditingkatkan dengan strategi yang solid, bukan adegan romantis di depan umum."
Evelia tertawa pelan, matanya berbinar. Ia mengubah tantangannya. "Baiklah, kalau begitu bagaimana kalau tantangannya di rumahmu saja? Aku tantang kau menciumku di dapurmu, saat kau sedang membuatkan sup miso."
Indra memijat pangkal hidungnya, hanya menghela napas. Dia tahu tidak ada gunanya berdebat langsung dengan Evelia. "Aku hanya ingin melakukannya ketika kita berdua saja," gumam Indra pelan, kata-katanya penuh kerentanan yang jarang ia tunjukkan. "Itu sudah cukup, bukan di tempat yang bisa dilihat atau didengar oleh orang lain."
Evelia tersenyum lembut, menghargai kejujuran Indra. "Baiklah, Pangeran Es-ku yang dingin."
"Dan satu lagi," potong Indra, tiba-tiba terdengar jengkel. "Berhentilah memanggilku 'Guardian'. Aku tidak masalah dengan 'Kucing Es' atau 'Pangeran Es', tapi jangan 'Guardian'."
Evelia memandang Indra dengan mata polos yang besar. "Kenapa? Itu kan nama yang keren, Guardian-sama?"
"Itu... hanya terasa terlalu formal dan penuh beban. Aku tidak suka itu," jelas Indra.
Evelia mengangkat bahu, nadanya dibuat sangat lucu dan kekanak-kanakan, seolah dia yang paling muda. "Oke, baiklah, aku turuti, Oonii-chan (Kakak Tertua)."
Meskipun Indra tahu betul bahwa Evelia tertua di antara mereka berdua-berkat jiwa Kitsune-nya yang abadi-ia hanya bisa mendengus sekali lagi dan pasrah. Paling tidak, Evelia telah mengalihkan topik dari ciuman di tempat umum.
.
.
.
.
Tepat saat Indra dan Evelia hendak beranjak dari lorong sepi itu, langkah mereka terhenti. Dari sudut koridor, Akihisa dan Miku sedang berjalan bersama, tampak baru saja selesai dari kelas mereka.
Akihisa, yang selalu ingin tahu, langsung melongo melihat Indra dan Evelia yang tampak tegang. Ia segera bertanya dengan nada usil.
"Wah, wah, wah! Apa yang sedang dilakukan pasangan Royal kita di lorong sepi ini?" tanya Akihisa, matanya bersinar geli.
Indra memutar matanya, kembali ke mode pertahanan tsundere penuh. "Bukan urusanmu. Kami tidak melakukan apa-apa," sanggah Indra, mencoba terdengar sedingin mungkin. "Kami sedang menuju pertemuan staf."
Miku tertawa kecil, ia segera menghela napas lega. "Syukurlah! Kupikir Pangeran Es kita akhirnya melakukan adegan romantis di tempat umum. Aku tidak mau nanti ada laporan keributan dari Ketua OSIS, Liini," kata Miku, menimpali dengan nada lega yang dibuat-buat.
Namun, Evelia tahu ini adalah kesempatan emas untuk menggoda tunangannya. Ia tersenyum jahil, melingkarkan tangannya di lengan Indra. "Kami memang tidak melakukan apa-apa," katanya lembut, namun ia menambahkan dengan nada menggoda yang jelas, "tapi kami baru 'akan' melakukannya. Di rumahnya, nanti malam."
Sambil berkata demikian, Evelia menarik pipi Indra dengan gemas.
Wajah Indra seketika memerah, dan aura esnya sedikit goyah. Ia berusaha keras menepis tangan Evelia tanpa terlihat kasar. "Evelia, hentikan omong kosong ini!" desis Indra.
Akihisa dan Miku menggoda Indra dengan tawa keras.
"Wiiih! Cepat sekali Pangeran kita melangkah!" goda Akihisa, sambil menyenggol Miku.
"Hati-hati, Indra! Jangan sampai kau melewatkan makan malammu demi hal-hal lain yang... menyenangkan," tambah Miku, menahan tawa.
Evelia hanya tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi jengkel dan malu Indra. "Baiklah, Oonii-chan. Mari kita pergi. Kita harus pulang cepat, bukankah begitu?"
Indra hanya mendengus, menyerah pada godaan mereka. Ia tahu, dalam perang kata-kata, dia selalu kalah melawan Kitsune kesayangannya.
.
.
.
.
.
.
.
Mereka berempat-Indra, Evelia, Akihisa, dan Miku-akhirnya mencapai ruang rapat staf. Begitu memasuki ruangan, aura santai di antara mereka segera berubah menjadi profesional. Mereka memulai rapat dengan para pembimbing lain, membahas masalah Akademi dan sekitarnya, mulai dari laporan keamanan perimeter dari Nuita, hasil pelatihan Battle Arena dari Nina dan Kizana, hingga permintaan penambahan buku strategi dari Akihisa.
Rapat berlangsung serius dan tegang. Setiap orang berbicara tentang pekerjaan mereka dengan dedikasi penuh, menyadari betapa pentingnya peran mereka bagi masa depan Sakura Flurry. Setelah beberapa jam, diiringi kelelahan mental, akhirnya mereka selesai.
Indra mengemas berkasnya dengan cepat, bersiap untuk pergi secepat mungkin. Namun, ia tidak luput dari tatapan usil kedua temannya.
Akihisa dan Miku melambaikan tangan dengan antusias saat meninggalkan ruangan.
"Selamat menikmati malam, Pangeran Es!" goda Akihisa, sambil tersenyum nakal.
"Ya, dan ingat! Strategi adalah kunci, bahkan di rumah!" tambah Miku, menahan tawa. Mereka berdua kemudian pergi meninggalkan Indra dan Evelia, bergegas menuju gerbang utama.
Indra hanya menghela napas berat, membiarkan kelelahan dan rasa jengkelnya menguar. "Dasar tidak tahu sopan santun," gumam Indra, meskipun ia tahu mereka hanya mencoba mencerahkan suasana.
Evelia tersenyum tipis. Ia berjalan mendekati Indra dan melingkarkan lengannya di lengan tunangannya itu. "Ayolah, Oonii-chan. Mereka hanya iri karena mereka tidak punya Guardian yang dingin dan tampan sepertimu."
"Aku tidak tampan," balas Indra otomatis.
"Tentu saja tidak," goda Evelia. "Tapi kau harus mengemudi. Aku lapar dan lelah setelah seharian menjadi guru spiritual."
Mereka berdua berjalan menuju tempat parkir staf. Di sana, sebuah mobil mewah menanti: Lamborghini Aventador bermesin V12 warna putih yang mencolok. Mereka masuk ke dalam mobil, dan Indra mengambil posisi pengemudi.
Sambil mengendarai mobilnya, membelah jalanan kota yang diselimuti senja, Indra merasakan kelegaan. "Kita sudah melewati hari yang panjang," kata Indra, fokus pada jalan.
Evelia menyandarkan kepalanya di bahu Indra, tatapannya lembut. "Ya. Tapi kita melewatinya bersama."
.
.
.
.
.
.
.
.
Laju Lamborghini Aventador putih itu membelah jalanan yang sudah mulai lengang. Di dalam mobil, Evelia menyandarkan kepala di bahu Indra, menikmati momen tenang setelah hari yang panjang.
"Kau tahu," ujar Evelia, suaranya lembut, "Aku sudah mulai membayangkan pernikahan kita. Mungkin kita harus mengadakannya di luar shelter, di alun-alun Crown City. Meskipun... tempat itu penuh kenangan..."
Indra tetap fokus pada jalan, tangannya memegang kemudi dengan kuat. Disambung sesekali oleh Indra yang sedang mengemudi. "Tempat itu masih butuh banyak perbaikan. Dan tidak ada lagi yang tersisa dari alun-alun lama," jawab Indra, suaranya mengandung kesedihan yang samar. "Kita bisa melakukannya di kompleks Istana yang baru saja direkonstruksi."
"Ya, Istana yang baru," Evelia menghela napas pelan. "Aku yakin Nia-sama dan Railord-sama akan bahagia. Mereka pasti senang melihat Guardian yang mereka tinggalkan kini akan menikah dengan Kitsune."
"Jangan gunakan kata 'tinggalkan'," potong Indra cepat, sedikit tegang. "Dan jangan panggil aku Guardian."
Evelia tersenyum, mengerti bahwa Indra sensitif terhadap kata-kata itu. "Baiklah, baiklah. Maaf, Oonii-chan."
"Dan jangan panggil aku 'Oonii-chan'!" desis Indra, kini mulai jengkel dengan panggilan itu. "Kau tahu kau lebih tua dariku ribuan tahun karena jiwa Kitsune-mu! Itu tidak sopan! Berhenti memanggilku seperti itu!"
Evelia terkekeh pelan, tawa yang merdu. Ia tahu reaksi Indra adalah yang paling lucu. "Kenapa? Apa karena kau takut jika aku memanggilmu Oonii-chan di depan para murid, mereka akan berpikir aku adalah adikmu yang manja?"
"Karena itu tidak benar! Dan tidak pantas!" tuntut Indra.
Evelia mengubah panggilannya menjadi lebih romantis dan memajukan wajahnya sedikit, bibirnya nyaris menyentuh telinga Indra. "Baiklah, baiklah. Aku mengerti. Bagaimana kalau aku memanggilmu... 'Suamiku'?"
Meskipun Indra berusaha mempertahankan ekspresi datarnya, Evelia bisa merasakan tubuh Indra sedikit menegang. "Itu... lebih baik," jawab Indra, suaranya lebih pelan, namun pipinya memerah samar di bawah cahaya lampu jalan. Evelia tersenyum puas, menang dalam permainan mereka yang abadi.
.
.
.
.
.
Perjalanan mobil itu berlanjut, dengan mesin V12 bergemuruh lembut. Suasana di dalam mobil kini kembali intim dan reflektif.
Evelia mulai bertanya dengan nada penasaran yang mendalam. Ia memutar cincin pertunangan di jarinya. "Hei, Suamiku," ia menggunakan panggilan baru itu dengan sengaja. "Apakah kau percaya di semesta lainnya akan ada diriku versi lain? Maksudku, versi Kitsune yang berbeda, atau bahkan aku yang masih manusia biasa, atau bahkan aku yang tidak pernah bertemu denganmu?"
Indra menggeser pandangannya sekilas dari jalan ke wajah Evelia, matanya yang dingin memantulkan cahaya lampu jalan. Ia menjawab dengan tenang, tidak terkejut dengan pertanyaan filosofis itu.
"Di dunia sihir dan dimensi kita, teori multiverse bukanlah sekadar hipotesis. Jadi, ya, aku percaya ada kemungkinan versi lain dari kita," jawab Indra. "Mungkin ada Indra yang lebih ceroboh, atau Evelia yang tidak pernah menguasai energi Kitsune."
"Lalu, bagaimana denganmu?" tanya Evelia, menopang dagu di bahu Indra. "Jika kau menemukan Evelia versi lain, apakah kau akan tetap memilihku?"
Indra tersenyum tipis-senyum langka yang hanya ditunjukkannya pada Evelia. "Jika benar ada, aku akan memastikan untuk tetap menjadi pasangannya," jawab Indra tegas. "Bukan karena dia Kitsune atau karena takdir. Tetapi karena setiap versi 'aku' pasti akan mencari dan mengenali setiap versi 'dirimu', terlepas dari semesta mana pun."
Evelia terkekeh senang. Jawaban itu, yang begitu dingin dan logis, namun penuh kepastian, selalu berhasil membuatnya luluh.
"Wah, itu terdengar seperti kau seolah bisa berpindah Universe dengan seenaknya," goda Evelia. "Jika begitu, aku harap kau tidak lupa jalan pulang ke semesta ini. Karena aku tidak mau berbagi Suamiku dengan Evelia yang lain."
Indra menyentuh tangan Evelia yang melingkari lengannya. "Jiwaku sudah terikat pada semesta ini, dan pada dirimu. Aku tidak akan pernah lupa jalan pulang."
.
.
.
.
.
.
.
.
Beberapa minggu berlalu dengan cepat. Akademi Sakura tenggelam dalam suasana ceria menjelang pernikahan Royal Indra dan Evelia. Koridor dipenuhi bisik-bisik gembira para murid, dan aura positif menyelimuti seluruh Shirayuki Sakura.
Namun, di tengah kegembiraan ini, satu orang tetap waspada. Shiera tidak pernah mengendurkan pengawasannya. Pria berambut putih yang mengenakan pakaian formal serba putih itu ternyata diterima sebagai guru tamu, mengajar mata kuliah filosofi dan strategi kuno.
Dari posisinya di atap atau melalui celah di antara rak perpustakaan, Shiera masih mengawasi pria tersebut.
Ia melihat pria itu berinteraksi dengan para murid-ramah, sabar, dan sangat karismatik. Para murid memujinya, membandingkan pendekatannya yang terbuka dengan ajaran keras Indra.
Shiera bergumam, menekan tombol zoom pada perangkat tersembunyinya. "Dia sempurna. Terlalu sempurna. Aura malaikat itu semakin kuat, tapi aku tahu kegelapan di bawahnya juga semakin dalam."
Saat itu, temannya yang juga anggota OSIS, mendekat. "Shiera-chan, kenapa kau masih mengawasi Guru Tamu itu? Dia sangat baik. Murid-murid menyukainya, dan tidak ada laporan aneh. Dia bahkan membantu Akihisa-sensei mengatur rak buku."
Shiera mematikan perangkatnya. "Itu masalahnya. Dia tidak meninggalkan jejak. Tidak ada kesalahan. Tidak ada kelelahan. Seorang guru yang sempurna di Akademi yang penuh dengan pejuang yang trauma. Itu mencurigakan."
"Mungkin kau terlalu tegang karena laporanmu tidak ditanggapi serius oleh Nuita-sensei?" tanya temannya pelan.
Shiera menghela napas. "Nuita-sensei percaya pada data, dan data menunjukkan dia bersih. Tapi instingku... instingku tidak pernah salah. Dia bukan guru. Dia sedang menunggu sesuatu."
"Menunggu apa?"
Shiera mengencangkan genggamannya pada sarung katana-nya. "Menunggu saat di mana perhatian kita semua teralih sepenuhnya. Menunggu momen perayaan puncak kita."
"Pernikahan Pangeran Indra?" tebak temannya.
"Tepat," jawab Shiera, matanya menajam. "Setiap pahlawan akan sibuk dengan perayaan dan duka yang dilalui. Dia akan bergerak saat kita semua paling lemah."
.
.
.
Shiera menarik pandangannya dari kejauhan. Ia kembali ke fokus utamanya: meskipun pria berambut putih itu adalah ancaman yang nyata, ada Guardian tak terlihat yang melindungi Akademi.
Namun Shiera yakin, jika pernikahan mereka akan tetap aman bukan karena kekuatan Indra atau Evelia, tetapi karena ia tahu ada Araya di sana. Wakil Kepala Akademi, Araya Yamada, adalah bayangan yang menguasai teknologi pertahanan dan intelijen.
"Pria itu mungkin bisa mengelabui sensor Nuita-sensei dan pandangan kami, tapi dia tidak akan pernah bisa lolos dari pandangan Araya-sensei," gumam Shiera pada dirinya sendiri, sebuah keyakinan mutlak.
Shiera tahu bahwa sangat sedikit murid, mungkin hanya 2% dari populasi Akademi, yang tahu keberadaan Araya sebagai Wakil Kepala Akademi-dan Shiera adalah salah satunya, berkat posisinya yang strategis di OSIS.
"Jadi, aku tidak perlu mengawasi pesta pernikahan mereka," putusnya. Ia akhirnya berencana mengawasi di Akademi saja. Di sinilah pria itu akan merasa aman dan mungkin bergerak.
Ia berbalik, melihat temannya yang masih menunggu di dekat tangga. "Baiklah, pengawasan selesai. Tidak ada aktivitas mencurigakan lagi. Setidaknya untuk satu jam ke depan."
Temannya tersenyum lega. "Hebat! Jadi, kita bisa beristirahat? Aku sudah haus sekali."
"Tentu," jawab Shiera, lalu ia mengajak temannya kembali ke ruang OSIS. "Aku ada pekerjaan administrasi yang harus diselesaikan, dan aku butuh sesuatu yang dingin."
Ia memimpin jalan menuruni tangga. "Ayo. Aku ingin membeli boba. Rasa brown sugar. Aku butuh gula untuk membuat otakku bekerja lebih cepat menghadapi intrik politik di Akademi ini."
Temannya tertawa. "Akhirnya! Ide bagus, Shiera-chan! Aku tahu kau butuh sedikit manis setelah berurusan dengan aura-aura jahat itu."
.
.
.
.
.
.
.
.
Shiera dan temannya menuruni tangga menuju lantai dasar, tempat keramaian dan kantin berada. Tak lama setelah berbelok di koridor utama, mereka berdua tiba-tiba berhenti.
Tepat di hadapan mereka, Shiera bahkan berpapasan dengan pria tersebut-guru tamu berambut putih dengan pakaian serba putih itu. Pria itu tampak baru saja keluar dari ruang rapat guru.
Berbeda dengan sebagian besar murid Akademi yang terpesona atau takut-takut, Shiera hanya memancarkan ketenangan. Shiera berbeda dengan murid Akademi lainnya; ia tidak tertarik pada karisma pria itu. Perhatiannya hanya tertuju pada Indra dan Evelia, yang ia kagumi. Ia memandang pria itu dengan tatapan yang tajam dan analitis.
Mereka saling bertatapan sejenak. Tatapan Shiera penuh pertanyaan tersembunyi, mencari celah di balik aura malaikat pria itu. Tatapan pria itu terasa lebih dalam, seolah ia sedang menganalisis setiap rune pertahanan di tubuh Shiera. Keheningan singkat itu terasa panjang dan penuh energi yang berbenturan.
.
.
.
..
.
...
.
.
Hingga Shiera bertanya, memecah keheningan itu. "Ada apa ya, Sensei? Apakah Anda mencari sesuatu di sini?"
Pria tersebut membenarkan kacamatanya-gerakan kecil yang terasa disengaja. Ia tersenyum tipis. "Ah, maafkan saya. Saya hanya sedang mencari jalan pintas ke kantor Kepala Akademi. Saya tersesat. Apakah lorong ini mengarah ke sana?"
"Tidak, Sensei," jawab Shiera dengan suara tenang. "Kantor Kepala Akademi ada di sebelah kiri. Tapi Anda harus mengambil tangga di ujung koridor sana."
Pria tersebut meminta maaf lagi dengan anggukan yang sopan. "Terima kasih banyak, Nona. Sungguh beruntung bertemu dengan murid yang sangat membantu."
Shiera hanya mengangguk singkat. Setelah itu, mereka pergi ke arah berlawanan. Shiera menuju kantin, sementara pria itu berbelok ke koridor yang ditunjukkan Shiera. Namun, Shiera merasa yakin: ada sesuatu yang disembunyikan dalam permintaan maaf dan senyum yang terlalu sopan itu.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
....
.
.
.
.
Meninggalkan keseriusan Akademi sejenak, Indra dan Evelia kini berada di pinggir pantai yang indah. Mereka sedang menjalani sesi pemotretan untuk pernikahan mereka. Indra mengenakan setelan jas putih yang kontras dengan rambut merah-nya, sementara Evelia tampak memukau dengan gaun putih sederhana yang berpadu sempurna dengan rambutnya yang pirang-keemasan.
Fotografer terus memberikan arahan, tetapi Indra tampak kaku. "Pangeran Indra, tolong lebih rileks! Bayangkan Anda sedang membekukan es krim favorit Anda, tapi dengan senyuman!"
Evelia, yang sudah terbiasa dengan sifat tsundere Indra, tertawa lembut. Ia meraih wajah Indra dengan kedua tangannya. "Lihat aku, Suamiku," bisiknya. "Tidak ada demon di sini. Hanya ada pantai dan kita. Tersenyumlah, demi aku."
Indra menatap mata Evelia, dan perlahan, senyum tipis yang tulus muncul di wajahnya. Fotografer itu berseru gembira.
Di sisi lain, tak jauh dari sana, suasana jauh lebih gaduh dan santai. Akihisa, Miku, Kizana, dan Nina sedang bermain bersama di bibir pantai, menikmati waktu luang yang langka.
Akihisa, yang entah bagaimana berhasil menghindari air, duduk di atas handuk, sibuk membangun kastil pasir yang rumit. "Ini adalah strategi pertahanan Level Lima!" serunya bangga. "Aku membuat tembok ini tebal dan berlapis!"
Miku, yang mengenakan gaun pantai ringan, terkikik. Ia mengambil segenggam pasir basah dan melemparkannya ke kastil Akihisa. "Serangan mendadak! Pertahananmu gagal, Akihisa-sensei!"
Akihisa menjerit dramatis. "Serangan tanpa teori! Kau menghancurkan karya seni! Kau harus menulis esai lima ribu kata tentang kegagalan taktikmu!"
Kizana dan Nina berdiri di tepi air, bersiap untuk beraksi. Kizana memegang tongkat kayu yang ia gunakan seperti shinai, sementara Nina mengaktifkan sedikit energi air.
"Kizana, aku butuh perlindungan! Aku akan menggunakan elemen air untuk menyerang Akihisa dan Miku!" seru Nina, tertawa jahat.
"Siap, Nina-chan!" balas Kizana, mengayunkan tongkat kayunya di udara.
Melihat ancaman itu, Akihisa segera mengabaikan kastilnya, bangkit dan berlari ke arah pohon kelapa terdekat. "Miku, kita harus kabur! Mereka sudah gila!"
Miku tertawa terbahak-bahak saat mereka berdua berlari dari serangan air Nina. Di tengah tawa dan keceriaan itu, momen kebahagiaan sejati menyelimuti para pahlawan yang telah melalui banyak hal.
Keceriaan di pantai berlanjut, tetapi bagi sebagian orang, bersantai berarti bertarung.
Di sisi lain pantai yang lebih sepi, tempat ombak memecah lembut, Akihisa dan Kizana masih sibuk bertarung dengan semangat yang tak terpadamkan. Mereka berdua telah menanggalkan alas kaki dan hanya mengenakan celana pendek. Akihisa memegang sebatang kayu yang ia temukan, dan Kizana melakukan hal yang sama.
...
...
"Siap, Akihisa-sensei!" seru Kizana, memegang kayu yang mereka temukan di sekitar pantai layaknya shinai. Wajahnya memancarkan fokus penuh.
"Tunggu, tunggu!" teriak Akihisa, bergerak mundur. "Kau serius sekali! Ini hanya permainan! Jangan gunakan kecepatan Kendo tingkat dewa-mu padaku!"
Kizana terkekeh. "Dalam pertarungan, tidak ada permainan, Sensei! Kau mengajariku itu! Sekarang, seranglah! Aku akan menguji pertahanan Shape-Shifter-mu!"
Akihisa menghela napas dramatis. "Baiklah, baiklah! Tapi jangan salahkan aku jika pertahanan Level Lima-ku menghancurkan kayu murahmu!"
Akihisa melompat dan mencoba menyerang dengan gerakan cepat yang rumit, namun Kizana menangkisnya dengan gerakan yang jauh lebih sederhana dan efektif. Brak! Kayu Kizana menghantam kayu Akihisa dengan keras.
"Gagal!" seru Kizana. "Terlalu banyak trik, kurangnya fondasi! Seperti yang selalu dikatakan Nina-chan!"
"Aku tahu, aku tahu!" keluh Akihisa, sambil mundur. "Tapi Kizana! Kita sedang liburan! Tidak bisakah kita minum es kelapa dan melupakan Battle Arena selama satu jam saja?"
"Tidak bisa!" balas Kizana tegas. "Jika Amon menyerang saat kau minum es kelapa, kau akan menyesal karena kehilangan momen latihan ini! Lanjutkan! Lawan aku dengan niat membunuh!"
Akihisa hanya bisa menggelengkan kepala. "Aku tidak bisa menang melawan murid yang terlalu serius." Namun, meskipun mengeluh, ia kembali ke posisi bertarung, menikmati sesi latihan tak terduga yang menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup mereka.
.
.
.
.
.
Di tepi pantai, tak jauh dari Akihisa dan Kizana yang sibuk berduel dengan kayu, Miku dan Nina berbincang dengan tenang. Mereka berjalan santai menyusuri bibir pantai, menikmati suara deburan ombak. Miku mengenakan gaun pantai ringan, dan Nina mengenakan bikini dengan sarong merah.
...
...
"Aku masih tidak percaya kita semua akan menikah," ujar Miku, suaranya lembut, sambil mengayunkan topi jeraminya. "Rasanya baru kemarin kita semua berjuang mati-matian di Crown City."
Nina menghela napas, tatapannya menerawang jauh ke lautan. "Aku tahu. Rasanya seperti mimpi. Terlalu banyak hal buruk yang terjadi, dan sekarang, tiba-tiba ada begitu banyak kebahagiaan."
Mereka saling bertukar cerita dengan asik. Miku bercerita tentang kebahagiaan Akihisa saat berhasil menyelesaikan kastil pasir Level Lima-nya sebelum dihancurkan oleh ombak.
"Akihisa benar-benar seperti anak kecil. Dia bilang dia akan menuntut ombak itu karena merusak 'pertahanan strategis Level Lima'-nya," kata Miku, tertawa pelan.
"Dia memang selalu begitu. Tapi setidaknya dia bahagia," balas Nina. "Aku sendiri masih terkejut dengan Kizana. Aku tidak menyangka dia secepat itu mengajakku menikah setelah Indra dan Evelia mengumumkan mereka. Dia tidak pernah memikirkan hal lain selain kendo dan Battle Arena."
"Itu karena dia mencintaimu, Nina-chan. Dan dia melihat kita semua membutuhkan sesuatu untuk diperjuangkan, selain hanya melawan iblis," ujar Miku, berhenti berjalan.
Nina menatap Miku, matanya yang tajam kini dipenuhi kehangatan. "Kau benar. Kami semua butuh ini. Setelah semua yang hilang, setidaknya kami bisa membangun kembali. Dan aku senang kita bisa melakukannya bersama, Miku. Aku senang kau dan Akihisa akan selalu ada di sini."
"Tentu saja," jawab Miku, memeluk Nina sekilas. "Kami adalah tim. Selamanya."
.
.
.
.
.
.
.
Sesi pemotretan akhirnya selesai. Fotografer menghela napas lega, puas dengan hasil bidikan langka senyum Indra. Indra dan Evelia berjalan santai menuju tempat teman-teman mereka bermain.
Begitu sampai, mereka langsung dihampiri ke empat temannya. Akihisa, Miku, Kizana, dan Nina segera berkumpul, wajah mereka penuh pujian.
"Wah, wah, wah! Aku harus akui, Pangeran Es, kau terlihat seperti Raja sungguhan dalam jas itu!" goda Akihisa, menyenggol bahu Indra.
"Dan Evelia, kau sungguh cantik! Gaun itu sempurna untuk Kitsune!" tambah Miku dengan tulus.
Indra hanya mengangguk kecil. "Terima kasih," jawabnya singkat. Evelia tersenyum lebar.
"Kalian terlihat sangat serasi. Melihat kalian membuat kami jadi tidak sabar," kata Nina, menatap Kizana.
Kizana mengangguk. "Ya, kami berdua juga punya pengumuman." Kizana dan Nina juga mengabarkan jika mereka akan segera menikah, wajah Kizana bersemu merah.
Indra, meskipun tsundere, menunjukkan ekspresi terkejut dan senang yang langka. "Sungguh? Itu kabar baik."
Tak mau kalah, Akihisa dan Miku juga berkata demikian. Akihisa merangkul Miku. "Kami juga! Kami memutuskan untuk mengikuti jejak Royal. Kami akan menikah di Istana juga, setelah kalian."
Kebahagiaan seketika menyelimuti kelompok itu. Indra dan Evelia terlihat senang, melihat teman-teman terdekat mereka menemukan kedamaian dan cinta setelah semua trauma yang mereka lalui.
"Ini... Ini luar biasa," ujar Evelia, matanya berkaca-kaca. "Ini adalah awal baru bagi kita semua."
"Baiklah, kalau begitu," kata Akihisa, mengeluarkan ponselnya. "Karena kita sudah lama tidak punya foto bersama yang bagus, dan karena ini adalah momen bersejarah... Mari kita berfoto bersama!"
Mereka berenam berkumpul di tepi pantai. Indra berdiri di samping Evelia, senyum tipisnya bertahan. Di sebelahnya, Kizana dan Nina saling berpegangan tangan, begitu pula Akihisa dan Miku. Cahaya matahari terbenam menjadi latar belakang sempurna bagi kebahagiaan para pahlawan itu.
Setelah sesi foto yang penuh tawa, mereka berpisah, membawa pulang kenangan indah. Di udara, terasa janji akan masa depan yang lebih cerah. Kini, hanya hitungan beberapa minggu menjelang pernikahan Indra dan Evelia, dan harapan menyelimuti seluruh Sakura Flurry.