NovelToon NovelToon
SATU MALAM YANG MENINGGALKAN TRAUMA

SATU MALAM YANG MENINGGALKAN TRAUMA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Dikelilingi wanita cantik / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:286
Nilai: 5
Nama Author: ScarletWrittes

Helen Hari merupakan seorang wanita yang masih berusia 19 tahun pada saat itu. Ia membantu keluarganya dengan bekerja hingga akhirnya dirinya dijual oleh pamannya sendiri. Helen sudah tidak memiliki orang tua karena keduanya telah meninggal dunia. Ia tinggal bersama paman dan bibinya, namun bibinya pun kemudian meninggal.

Ketika hendak dijual kepada seorang pria tua, Helen berhasil melawan dan melarikan diri. Namun tanpa sengaja, ia masuk ke sebuah ruangan yang salah — ruangan milik pria bernama Xavier Erlan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 14

“Aku merasa, ketika disayang sama Bapak, seperti mendapatkan kasih sayang dari orang tua yang tidak pernah aku dapatkan.”

“Tuh kan, kamu menganggap saya om-om. Makanya kamu bilang saya seperti itu.”

“Kan emang benar, Bapak udah tua. Kenapa sih Bapak marah-marah? Orang saya cuma berbicara yang sesungguhnya kok. Lagian, saya nggak mungkin ngomong kalau bukan fakta. Buat apa ngomong kalau bukan fakta? Malah nambah-nambahin, itu lebih nggak baik lagi, tahu, Pak.”

“Tapi saya nggak setua yang kamu bilang, tahu! Saya itu masih muda. Kamu kira saya setua apa?”

“Umur Bapak pasti kurang lebih 40, kan?”

“Kata siapa? Umur saya masih 30-an. Kamu mau lihat KTP saya?”

Helen terdiam mendengar itu dan tidak percaya, tapi dirinya mau melihat KTP sang bos.

“Boleh, kalau Bapak kasih lihat, kenapa tidak?”

“Nih, kamu lihat ya KTP saya. Kamu lihat umurnya berapa, dan jangan kamu bohongin, karena itu kenyataannya seperti itu.”

Xavier memberikan KTP-nya kepada Helen.

Helen yang melihat itu merasa kaget dan tidak menyangka kalau yang dikatakan oleh Pak Bos benar, tidak ada yang dibohongi atau dilebih-lebihkan.

“Loh, iya! Bapak baru umur 30, ya? Saya kira Bapak udah 40, lho. Maaf ya, Pak. Saya kira rambut Bapak putih itu karena uban. Kenapa sih Bapak ngecat rambutnya warna putih?”

“Ini bukan putih, sayang. Ini tuh silver, sebenarnya. Cuma karena salah warna jadinya putih. Karena udah lama nggak dicat mungkin.”

“Ya udahlah, Pak, cat aja warna hitam biar Bapak kelihatan lebih muda. Daripada cat warna putih kayak gitu, aneh-aneh aja. Buat apa sih cat warna kayak begitu?”

Xavier hanya mengikuti tren masa kini saja. Sekarang banyak orang yang suka mewarnai rambut, jadi dia juga ingin mencoba, sekadar tahu apakah cocok untuk dirinya sendiri.

“Emangnya kamu nggak lihat ya, banyak orang yang lagi warnain rambut sekarang? Menurut saya, ya ikut tren aja, biar tahu rasanya kayak apa sih kalau mengikuti tren.”

“Idih, Bapak fomo. Ngapain sih fomo sama orang? Nggak usah fomo-fomo, lah.”

Xavier bingung dengan kata “fomo” itu.

“Yang kamu bilang itu apa sih? Saya nggak ngerti.”

“Fomo itu artinya ikut-ikutan. Makanya, bahasa tren tuh, kan. Bapak udah tua banget, deh. Di mana saya jelasin coba. Saya nggak bilang umur Bapak 40, tapi buktinya Bapak aja nggak paham tren anak muda.”

“Ya maaf deh, yang anak muda. Saya kan kerja terus, jadi nggak pernah mikirin kata-kata aneh kayak gitu. Nanti kalau saya seperti itu, dikiranya sok asik.”

Helen tertawa dan berpikir, “Iya juga sih. Kalau Bapak kayak gitu, pasti diketawain orang.”

“Tapi Bapak bener sih, kalau misalnya Bapak begitu, pasti diketawain. Dan saya orang pertama yang bakal ketawain Bapak.”

“Kan kamu emang jahat sama saya. Saya mah nggak heran sama kamu. Maka dari itu, saya udah lepas tangan aja.”

Helen merasa baru kali ini didekati oleh pria berumur 30-an, dan ia berpikir ternyata mengenal pria lebih tua itu lebih seru daripada yang sebaya.

“Kamu bengong kenapa? Jangan bengong-bengong, nanti kesambet, susah.”

“Jahat banget sih. Orang nggak boleh bengong? Padahal bengong itu baik, terkadang buat orang yang banyak pikiran.”

Xavier terdiam mendengar itu. Ia penasaran apa yang sebenarnya dipikirkan wanita kecil ini.

“Emangnya kamu mikirin apa sampai bengong begitu?”

“Bapak kan suka sama saya, ya? Tapi kita ini jauh banget. Bapak pernah kepikiran nggak sih, kalau pacaran atau nikah sama saya itu malah mengganggu?”

Xavier sendiri tidak pernah berpikir untuk menikah, kecuali dengan Helen. Ia merasa, kalau bukan dengan Helen, buat apa menikah dengan wanita lain.

“Saya nggak pernah berpikir untuk menikah sama kamu sih, atau pacaran. Karena saya merasa sedang menunggu orang dari masa lalu saya.”

Helen yang mendengar itu langsung kesal dan marah, seolah dirinya hanya pengganti wanita masa lalu itu.

“Jadi, Bapak lebih milih orang masa lalu itu daripada saya? Bapak lebih memilih masa lalu?”

“Kok kamu bicaranya kayak gitu? Saya nggak bilang apa-apa, dan kamu cemburu sama masa lalu saya?”

“Ngapain sih Bapak ngomongin wanita lain di depan saya? Pahami dong perasaan wanita. Kalau Bapak ngomong kayak gitu di depan wanita lain juga, pasti Bapak kena semprot kayak saya semprot sekarang.”

“Saya juga nggak tahu dia di mana, dan nggak tahu juga apakah dia masih ingat saya atau nggak.”

Helen makin kesal dan tidak tahu harus berkata apa.

“Ya udahlah, Pak. Saya udah kenyang. Mending Bapak kejar aja masa lalu Bapak, daripada Bapak menggantungkan saya.”

Xavier terdiam, karena memang tidak tahu harus berkata apa.

“Maafin saya. Saya bukan nyamain kamu sama masa lalu saya, cuma... saya teringat dia aja kalau lihat kamu, soalnya kalian umurnya sama.”

“Kenapa sih Bapak suka sama orang yang usianya kecil-kecil? Bapak itu penyuka anak kecil, ya?”

“Bukan. Lebih tepatnya, dulu saya menganggap dia seperti adik saya. Cuma ya, nggak tahu juga sekarang dia di mana. Saya juga nggak terlalu berharap bisa ketemu lagi.”

Helen mengejek dengan nada khasnya.

“Kalau Bapak nggak butuh dia, ngapain sih ngomongin dia terus? Berarti Bapak berharap dia ada dong sekarang.”

“Kalau dia ada sekarang, mungkin saya akan kenalin dia ke kamu, dan kayaknya kalian berdua cocok.”

“Bapak tahu dari mana kalau kami cocok? Bertemu aja belum pernah, apalagi bicara. Bapak kira cocok itu gampang?”

Xavier tertawa kecil melihat sikap wanita yang tiba-tiba ceria lalu marah begitu cepat.

“Kamu kenapa sih marah-marah? Bingung saya.”

Helen tahu kalau Bapak Bos pura-pura tidak peka, padahal tahu alasannya.

“Kayaknya nggak mungkin deh kalau Bapak nggak tahu kenapa saya marah. Bapak itu lagi ngetes kesabaran saya, ya?”

Xavier menggeleng. “Saya beneran nggak tahu. Lebih baik kamu kasih tahu aja, daripada saya nggak ngerti.”

“Kamu tuh nggak peka apa gimana sih? Masa nggak tahu aku marah karena apa?”

“Karena aku cerita soal cewek masa lalu, makanya kamu marah?”

“Ya iyalah aku marah!”

“Tapi kan kamu siapa saya, dan saya siapa kamu. Kita cuma kerja bareng.”

Helen merasa Xavier pura-pura polos, padahal dia tahu kalau sang bos sebenarnya juga suka padanya.

“Emangnya Bapak udah nggak suka sama saya lagi ya, gara-gara cewek masa lalu itu?”

Xavier jadi paham maksud wanita itu. Ternyata dia cemburu, tapi gengsi mengakuinya.

“Kamu cemburu, tapi nggak mau ngaku ya?”

“Siapa yang cemburu? Emang hak saya apa untuk cemburu? Saya mah nggak punya hak untuk cemburu, emangnya saya nggak tahu diri apa.”

“Ya udah, maaf ya kalau saya nggak peka. Seharusnya saya memahami perasaan kamu, bukan malah ngomongin masa lalu saya di depan kamu.”

Helen merasa kehilangan semangat mendengar itu.

“Udahlah, Pak. Saya pulang aja ke rumah. Malam nanti saya juga mau kerja lagi.”

Xavier merasa tidak enak dan menawarkan diri untuk mengantarnya pulang.

Setelah sampai di tempat tinggal Helen, Xavier menatapnya dan tersenyum. Namun, Helen malah membuang muka dan langsung masuk ke dalam rumah.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!