Aryan, pemuda berusia 25 tahun, baru saja mendapatkan pekerjaan impiannya sebagai salah satu staf di sebuah hotel mewah, tempat yang seharusnya penuh dengan kemewahan dan pelayanan prima. Namun, di balik fasad megah hotel tanpa nama ini, tersembunyi sebuah rahasia kelam.
Sejak hari pertamanya, Aryan mulai merasakan keanehan. Tatapan dingin dari staf senior, bisikan aneh di koridor sepi, dan yang paling mencolok: Kamar Terlarang. Semua staf diperingatkan untuk tidak pernah mendekati, apalagi memasuki kamar misterius itu.
Rasa penasaran Aryan semakin membesar ketika ia mulai melihat sekilas sosok hantu lokal yang dikenal, Kuntilanak bergaun merah, sering muncul di sekitar sayap kamar terlarang. Sosok itu bukan hanya menampakkan diri, tetapi juga mencoba berkomunikasi, seolah meminta pertolongan atau memberikan peringatan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MALAM DI HOTEL
Malam itu, di tengah penutupan sementara The Grand Elegance Residency, ada satu tempat yang tidak sepi: ruang tamu rumah Dina. Setelah hasil penyelidikan polisi yang buntu dan kesimpulan Aryaman yang sudah final—bahwa kasus ini adalah ulah Anggun yang diizinkan oleh Bu Indah—mereka bertiga memutuskan untuk bergerak. Waktu libur tujuh hari adalah ancaman yang harus mereka manfaatkan.
Rencana sudah matang: malam ini, mereka akan menyusup ke hotel.
Pukul sebelas malam, Aryan mengendarai mobil pinjaman dari Bima, menjemput Rima dan Dina. Mobil itu sengaja diparkir di sebuah tempat yang jauh dari pantauan langsung CCTV hotel, di balik sebuah gedung perkantoran tua yang gelap.
Mereka bertiga turun dari mobil. Suasana malam terasa dingin, dan ketegangan menyelimuti mereka. Mereka mengenakan pakaian serba gelap, hoodie, dan topi beanie untuk menyamarkan wajah dan bentuk tubuh. Aryan bahkan membawa sarung tangan kain untuk menghindari meninggalkan sidik jari, mengingat obsesi polisi terhadap TKP yang steril.
"Sudah siap?" bisik Aryan, matanya menatap siluet hotel mewah yang menjulang di kejauhan. Lampu luar hotel dimatikan, hanya menyisakan penerangan minimal yang semakin menambah kesan menyeramkan.
Rima dan Dina mengangguk serempak. Mereka tahu, taruhannya adalah pekerjaan, kebebasan, dan bahkan nyawa mereka.
Mereka berjalan memutari hotel, menyusuri gang-gang sempit dan area servis yang jarang diawasi CCTV. Aryan, yang sebelumnya bertugas di bagian layanan, sudah hafal titik buta hotel. Ia memimpin mereka menuju pintu belakang di area loading dock yang biasanya digunakan untuk pengiriman barang.
Pintu itu terkunci, tetapi Dina, berbekal pengetahuannya tentang keamanan hotel dan alat sederhana yang ia pinjam dari ayahnya (seorang tukang kunci amatir), berhasil membuka kunci servis itu dengan hati-hati. Kunci itu berputar pelan, dan pintu bergeser terbuka, mengeluarkan bunyi derit pelan.
Mereka menyelinap masuk ke lorong servis yang gelap.
"Ingat," bisik Aryan, menempelkan punggungnya ke dinding beton yang dingin. "Lantai dasar dan Lantai Delapan ke atas mungkin masih ada penjaga. Kita harus cepat menuju tangga darurat. Jangan bersuara."
Mereka bergerak dengan berjalan jinjit dan merayap, memanfaatkan bayangan dan tumpukan kotak kargo bekas. Wajah mereka tertutup, hanya menyisakan mata yang waspada, memastikan mereka tidak terekam oleh kamera keamanan mana pun.
Setelah melewati labirin koridor servis, mereka tiba di pintu tangga darurat.
Mereka mulai menaiki anak tangga. Keheningan hotel yang tertutup membuat suara langkah kaki mereka terdengar sangat nyaring. Mereka bergerak cepat, mendaki lantai demi lantai. Setiap langkah membawa mereka semakin jauh dari keamanan dan semakin dekat dengan sumber kengerian.
Akhirnya, mereka tiba di Lantai Tujuh. Garis polisi yang dipasang oleh Komandan Hardiman masih membentang di lorong itu. Pintu besi kini hanya tertutup, tidak digembok, karena polisi sudah menyegel dengan garis mereka sendiri.
Aryan mengangkat garis polisi itu, dan mereka bertiga menyelinap masuk ke dalam lorong yang kini terasa lebih dingin dan berbau aneh daripada sebelumnya—perpaduan bau apek dan sisa aroma disinfektan. Lorong itu gelap gulita, hanya diterangi oleh senter kecil yang dipegang Aryan.
Mereka langsung menuju Kamar 5.
Pintu Kamar 5 juga ditutup oleh garis polisi. Mereka melompati garis itu.
Di dalam, kamar itu terasa mencekam. Meskipun telah diperiksa polisi, energi ketakutan yang ditinggalkan oleh Anggun terasa nyata. Mereka mulai mencari. Mereka tidak mencari sidik jari; mereka mencari petunjuk tentang masa lalu Anggun dan hubungan Anggun dengan Bu Indah.
Rima memeriksa di bawah kasur (yang sudah dipindahkan), Dina memeriksa di balik wallpaper yang mengelupas, sementara Aryan fokus pada perabotan kecil, laci, dan celah-celah di dekat jendela.
Mereka membongkar dan memeriksa kamar itu selama hampir satu jam, namun hasilnya mengecewakan. Polisi sudah membersihkan semua bukti fisik. Nyonya Lia telah memastikan tidak ada jejak apa pun.
"Nihil, Yan. Kamar ini bersih. Mereka pasti sudah ambil semuanya," keluh Rima, menghela napas frustrasi.
"Aku enggak percaya. Pasti ada sesuatu yang terlewat," balas Aryan.
Aryan kembali ke meja kerja kecil yang ada di sudut kamar. Dia memeriksa laci yang paling bawah, yang sebelumnya terlihat kosong. Dia menariknya hingga mentok.
Krak!
Saat laci itu ditarik terlalu jauh, bagian belakang laci itu copot, menampakkan sebuah ruang rahasia kecil di belakangnya. Di dalam celah gelap itu, terselip sebuah benda kecil yang terbungkus kain beludru usang.
Aryan dengan hati-hati mengambilnya. Itu adalah sebuah buku kecil yang sudah usang, dengan sampul kulit berwarna cokelat tua. Buku itu jelas bukan barang milik hotel; itu adalah barang pribadi.
Aryan membuka buku itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya, tertulis rangkaian tulisan tangan, rapi namun kadang-kadang buram oleh air mata atau noda waktu. Itu adalah Buku Harian.
Aryan, Rima, dan Dina merapatkan kepala, menyalakan senter ke halaman buku itu.
Buku harian itu berisi curahan hati, kerinduan, dan rasa takut. Penulisnya menulis tentang kecintaannya pada musik dan harapan masa depan yang sederhana. Ada beberapa nama yang berulang kali disebut: seorang pria bernama 'B' dan seorang teman dekat bernama 'Lia'.
Namun, yang paling mencolok dan menggetarkan adalah nama yang ditulis di beberapa halaman awal, dalam huruf kapital tebal: ANGGUN.
"Ini dia," bisik Rima. "Ini buku harian Anggun! Wanita yang hilang 25 tahun lalu!"
Mereka membaca cepat beberapa paragraf terakhir. Tulisan itu menjadi semakin putus asa, menggambarkan rasa terperangkap, takut akan seseorang yang mengancam, dan kesepian di Kamar 5.
...aku tidak tahu kenapa aku harus tetap di sini. Mereka bilang aku aman, tapi aku takut pada matanya yang selalu mengawasi...
...Lia datang lagi hari ini. Dia bilang 'mereka' sudah memutuskan. Aku harus bertahan demi 'bisnis' ini. Aku tidak mau. Aku hanya mau pulang...
...Mereka berencana membuatku menghilang. Aku dengar suara mereka dari luar. Aku mohon, jika ada yang menemukan ini, tolong beritahu 'B' bahwa aku sangat mencintainya, dan aku tidak bunuh diri. Aku ditahan di kamar ini...
Air mata Dina menetes melihat betapa tragisnya kisah di balik kemewahan hotel itu. Buku harian itu adalah bukti yang tak terbantahkan bahwa Anggun tidak hilang, melainkan ditahan, dan mungkin dibunuh, di Kamar 5. Dan Lia, yang sekarang menjadi Nyonya Lia, Kepala Administrasi, terlibat langsung dalam penahanan dan hilangnya Anggun.
"Lia. Nyonya Lia. Dia tahu semuanya. Dia yang ada di sini," kata Aryan, genggamannya pada buku harian itu menguat.
Buku harian ini adalah kunci untuk mengungkap motif Bu Indah, identitas Anggun, dan peran Nyonya Lia. Mereka tidak bisa meninggalkannya.
"Cukup. Kita bawa ini. Ini lebih penting daripada apa pun," putus Aryan.
Mereka menyelinap keluar dari Lantai Tujuh, kembali ke mobil, membawa buku harian yang berisi rahasia kotor selama seperempat abad di The Grand Elegance Residency.
Aryan, Dina, dan Rima baru saja berhasil keluar dari Kamar 5 Lantai Tujuh. Mereka melompati garis polisi dan berjalan cepat menyusuri lorong yang gelap, membawa buku harian Anggun yang baru saja mereka temukan. Keberhasilan ini seharusnya melegakan, namun suasana di antara mereka justru semakin mencekam.
Mereka berjalan beriringan menuju tangga darurat. Di tengah perjalanan itu, Rima yang berada di antara Aryan dan Dina, tiba-tiba berhenti melangkah.
"Rima? Kenapa?" bisik Aryan, menarik lengannya.
Rima tidak menjawab. Kepalanya tertunduk, dan bahunya mulai bergetar tak terkendali. Ia seperti sedang menggigil hebat, padahal suhu di lorong itu dingin dan statis.
Aryan dan Dina saling pandang, panik. Mereka tahu ini bukan sekadar kaget.
Tiba-tiba, Rima mengangkat kepalanya. Matanya yang biasanya ramah kini terbuka lebar, namun tatapannya kosong. Dan kemudian, sebuah suara keluar dari tenggorokannya. Itu bukan suara Rima. Suara itu terdengar parau, serak, dan penuh kesedihan yang mendalam, bercampur dengan histeria.
"Aaaaa... haaaaa... aaaaaa!"
Suara jeritan yang bukan jeritan kemarahan, melainkan ratapan kesedihan yang memilukan, memenuhi lorong yang sunyi.
"Rima! Rima, sadar! Kamu kenapa?" panggil Aryan, mendekat dengan panik. Dina mundur selangkah, terkejut melihat perubahan drastis pada sahabatnya.
Kemudian, yang paling mengerikan terjadi. Tubuh Rima perlahan-lahan terangkat ke udara, melayang beberapa sentimeter dari lantai. Gerakannya menjadi aneh, tidak wajar, seolah ada tali tak kasat mata yang menariknya dari bahu.
Wajah Rima mulai berubah drastis. Kulitnya menjadi pucat keabu-abuan, dan di sekitar pelipis dan lehernya, urat-urat berwarna kebiruan mulai menonjol, berdenyut seperti kemarahan yang tertahan. Matanya berubah menjadi putih susu, tanpa pupil yang terlihat. Tubuhnya menangis, air mata mengalir deras, namun ekspresinya adalah penderitaan abadi.
Ini adalah kerasukan. Anggun telah menggunakan Rima.
Aryan, meskipun ketakutan luar biasa, berusaha mengendalikan diri. Ia tahu ini adalah kesempatan terakhir mereka untuk berbicara dengan hantu itu secara langsung.
"Rima! Rima, jawab aku!" teriak Aryan, nadanya dipenuhi ketegangan.
Rima, dengan suara parau yang bergetar karena ratapan, menjawab. Suaranya bukan lagi suara Rima, tetapi suara seorang wanita yang telah lama menderita.
"Aku bukan Rimaaaaa! Aku Anggun!"
Tubuh Rima yang melayang sedikit merunduk. Wajah pucat itu menatap Aryan dengan keputusasaan.
"Tolong akuuuu! Aku terperangkap di sini! Aku tidak mau membunuh! Mereka yang memaksaku!"
Aryan dan Dina saling bertukar pandang, syok. Pengakuan dari hantu itu membenarkan semua teori mereka. Anggun adalah korban, yang kini dipaksa menjadi penjaga hotel.
"Baik, Anggun! Tenang! Kami akan menolongmu! Apa yang harus kami lakukan? Bagaimana kami bisa membebaskanmu dari sini?" tanya Aryan, mencoba menjalin komunikasi, melupakan rasa takutnya.
Anggun (melalui Rima) menangis lebih keras. "Bebaskan aku! Aku lelah! Mereka mengikat jiwaku!"
Tiba-tiba, tubuh Rima yang melayang itu bergerak cepat, melesat kembali ke dalam Kamar 5. Aryan dan Dina terperanjat, mengikuti Anggun (Rima) masuk kembali ke kamar terlarang.
Anggun (Rima) berlari menuju dinding samping tempat tidur. Ia mengarahkan tangan pucatnya ke sebuah lemari kayu tua yang menempel di dinding. Dengan kekuatan yang tidak manusiawi, Anggun (Rima) mendorong lemari itu ke samping.
Lemari yang berat itu bergeser, memperlihatkan dinding di belakangnya yang ternyata terbuat dari bata yang ditutupi oleh ubin atau keramik tua.
Anggun (Rima) menunjuk ke lantai di bawah lemari yang baru saja digeser. Di sana, terdapat sebuah ubin keramik yang tampak berbeda. Ubin itu terlihat baru, dan yang paling penting, ubin itu tidak merekat pada semen. Ubin itu adalah sebuah penutup.
Dengan gerakan cepat dan kasar, Anggun (Rima) mencungkil ubin itu. Di bawahnya, ada sebuah kotak kayu kecil yang disembunyikan.
Anggun (Rima) mengambil kotak itu, lalu berlari kembali ke lorong, menuju Aryan. Ia menjatuhkan kotak itu ke tangan Aryan.
"Ambil ini! Ini rahasia mereka! Suruh aryan buka di rumah dan membaca isinya di rumah saja! Di sini tidak aman!" perintah Anggun, suaranya kini terdengar terengah-engah dan mendesak.
Aryan mengambil kotak kayu yang terasa dingin dan aneh itu. "Baik, Anggun! Kami akan membukanya! Lalu bagaimana denganmu? Apa yang akan membebaskanmu?"
Anggun (Rima) tidak sempat menjawab. Tiba-tiba, matanya yang putih itu berkedip hebat. Tubuhnya kembali ke lantai dengan suara Brak! yang keras dan kaku. Seluruh tubuhnya kejang aneh, dan mulutnya terbuka lebar secara tidak wajar, seperti sedang berteriak tanpa suara.
Detik berikutnya, semua gerakan itu berhenti. Rima pingsan. Tubuhnya tergeletak lemas di lorong berdebu.
Aryan dan Dina segera berlutut di samping Rima, panik.
"Rima! Rima!" panggil Dina, menepuk-nepuk pipinya.
Setelah beberapa saat, Rima membuka matanya. Tatapannya kembali normal, namun ia terlihat sangat bingung dan kelelahan.
"Yan? Dina? Kenapa kita di sini? Apa yang terjadi? Aku... kepalaku sakit sekali," bisik Rima. Ia tidak ingat apa pun tentang kerasukan itu.
Aryan segera menyadari bahwa mereka harus pergi sekarang juga. Anggun telah membantu mereka. Ia telah memberikan petunjuk paling penting.
"Tidak ada waktu, Rima! Kita harus pergi! Sekarang juga!" desak Aryan. Ia mengambil kotak kayu dan buku harian, menyembunyikannya di dalam hoodie-nya.
Mereka membantu Rima berdiri. Rima masih lemah dan kebingungan, tetapi ia tahu mereka harus kabur. Mereka bertiga melompat kembali melalui garis polisi, dan berlari secepat mungkin menuruni tangga darurat.
Mereka menyelinap keluar melalui pintu belakang, kembali ke mobil. Saat mobil melaju menjauh dari siluet gelap The Grand Elegance Residency, Aryan memegang erat kotak kayu itu. Di dalamnya, terletak rahasia yang akan membebaskan Anggun dan membongkar kejahatan Bu Indah dan Nyonya Lia. Misi mereka kini beralih dari sekadar menyelidiki menjadi membebaskan seorang arwah yang terperangkap.