Anisa gadis yatim piatu bekerja sebagai pelayan. Demi keselamatan Sang Majikan dan di tengah rasa putus asa dengan hidupnya, dia terpaksa menikah dengan Pangeran Jin, yang tampan namun menyerupai monyet.
Akan tetapi siapa sangka setelah menikah dengan Pangeran Jin Monyet, dia justru bisa balas dendam pada orang orang yang telah menyengsarakan dirinya di masa lalu.
Bagaimana kisah Anisa yang menjadi istri jin dan ada misteri apa di masa lalu Anisa? Yukkk guys ikuti kisahnya...
ini lanjutan novel Digondol Jin ya guys ♥️♥️♥️♥️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 14.
“Tapi kenapa, Bu?” tanya Pak Hasto, Syahrul, dan Pungki hampir bersamaan. Suara mereka pecah di antara keheningan kamar itu, membawa hawa gelisah yang menekan dada.
Ibu Kepala Pelayan menarik napas panjang, menatap ke arah lantai seakan mencari kekuatan dari bumi yang dipijaknya. “Tapi siapa, Pak, yang mau anak gadisnya ditukar dengan harta... apalagi dijadikan tumbal jin?” suaranya bergetar, nadanya pesimis, penuh getir yang dalam.
Sunyi kembali melingkupi ruangan.
Syahrul memandang Bu Lastri, sorot matanya tajam namun lembut, seolah mencoba menyalakan harapan di hati perempuan setengah baya itu.
“Kita coba dulu saja, Bu. Nanti saya bantu sebarkan lewat internet,” ucapnya pelan tapi mantap.
Namun sebelum Bu Lastri sempat menjawab, suara dering ponsel mendadak memecah suasana.
Pelayan yang berjaga segera mengambil ponsel Pak Hasto dari atas nakas dan menyerahkannya dengan tangan sedikit gemetar.
“Mama,” gumam Pak Hasto lirih, melihat nama istrinya terpampang di layar. Ia menekan tombol hijau dan seketika wajah Bu Hasto muncul di layar ... kusut, lelah, dan penuh kecemasan.
Syahrul dan Pungki menegakkan tubuh, wajah mereka ikut tegang. Mereka khawatir panggilan itu membawa kabar buruk dari rumah sakit. Windy, yang tadi tertidur di pangkuan Pungki, pun terbangun karena suasana yang mendadak tegang.
“Pa...” suara Bu Hasto terdengar serak, tertahan oleh isak. “Kondisi Ndaru dan Fatima memburuk lagi. Tubuh mereka panas, kadar oksigen turun lagi... hu... hu...” Tangisnya pecah, tidak bisa ia tahan lagi. “Aku sampai tidak enak kalau mau minta tolong ke Pungki dan Mas Syahrul. Tapi... tolong, Pa... carikan paranormal lain. Kasihan mereka berdua, sudah bolak-balik. Carilah yang bisa menjaga Ndaru dan Fatima dua puluh empat jam, Pa... hu... hu...”
Wajahnya tampak sembab, matanya bengkak. Antara sedih, takut, dan pasrah menyatu dalam air matanya yang terus mengalir.
Pak Hasto menelan ludah, berusaha menahan gejolak di dadanya. “Sabar, Ma. Di sini ada Pungki dan Syahrul. Aku akan minta mereka segera ke sana. Mama lanjut sembahyang saja... semoga doa bisa meringankan penderitaan anak-anak.”
“Iya, Pa... cepat ya. Tolong suruh Pungki dan Syahrul ke sini.” Suara Bu Hasto kembali parau sebelum akhirnya panggilan berakhir.
Tanpa perlu dijelaskan, Pungki dan Syahrul sudah saling berpandangan. Mereka tahu apa yang harus dilakukan.
Syahrul menatap Pungki dan berkata pelan, “Pung, kamu ke rumah sakit, ya. Garamku habis.”
Pak Hasto menoleh, menangkap ucapan itu. “Kalau butuh garam, di dapur banyak, Rul. Suruh saja pelayan ambilkan.”
Syahrul menggeleng, tersenyum tipis. “Maaf, Pak. Bukan garam biasa. Garam ini harus didoakan dulu... agak lama. Biar Pungki saja yang ke sana. Kasihan Bu Hasto, kalau sampai jatuh sakit juga, makin repot.”
Pak Hasto mengangguk paham. “Iya, iya... Pung, kamu cepat ke rumah sakit. Syahrul tetap di sini, lanjutkan soal tumbal itu.”
“Baik, Pak. Mohon doanya.” Pungki berdiri, lalu menggendong Windy yang tampak anteng. Setelah memberi salam, ia melangkah keluar kamar.
Di lorong yang remang, suara langkah kakinya bergema.
“Kak Pung Pung, aku takut ke rumah sakit...” bisik Windy lirih di gendongan. “Bukan takut disuntik... tapi takut kalau Sang Ratu Jin datang lagi...”
Pungki tersenyum lembut, mencoba menenangkan. “Kalau kamu jauh-jauh dari aku, nanti malah diserang Sang Ratu lagi. Popokmu tinggal satu, lho. Kalau direbut lagi, habis sudah.”
Windy menatapnya polos, “benar juga sih.. kalau popokku habis.. mampus aku..” suara imut Windy kini semakin khawatir.
“Sudah, masuk saja ke dalam jaketku.” Pungki membuka jaket lebar-lebar dan memasukkan tubuh mungil itu ke dalam. Ia menutup resleting sampai ke dada, menyisakan kepala imut Windy yang mengintip dari balik jaket hangat itu.
Dengan langkah mantap, ia menuju motornya.
---
Sementara itu, di kamar Pak Hasto...
“Bu, tolong kumpulkan semua di ruang pertemuan. Kalau keluarganya tak bisa, minta mereka menyebarkan pengumuman itu. Siapa tahu, ada relasi di pasar atau di mana pun yang bisa membantu,” ucap Pak Hasto pada Bu Lastri dengan nada tegas namun letih.
“Baik, Pak.” Jawab Bu Lastri pelan, menunduk hormat.
“Mas Syahrul, temani Bu Lastri. Kalau ada pertanyaan, bantu jawab. Maaf, saya tidak bisa ikut.”
“Baik, Pak.” Syahrul mengangguk, lalu berjalan bersama Bu Lastri keluar kamar.
Tak lama, suara Bu Lastri terdengar di interkom, tenang tapi membawa nada genting. Semua pelayan dan karyawan diminta berkumpul di ruang pertemuan, kecuali yang sedang menjalankan tugas darurat.
Di kamar lain, Anisa yang tengah melipat pakaian mendongak. “Ada apa, ya? Kenapa semua dikumpulkan?” gumamnya. Hatinya berdebar. Ia tahu, setiap kali pengumuman mendadak seperti ini keluar, pasti ada sesuatu yang serius. Ia masih ingat pertemuan terakhir: saat berita tentang Dewa hilang... lalu meninggal.
“Semoga Mas Ndaru dan Mbak Fatima baik-baik saja...” bisiknya lirih, memeluk rasa cemas yang makin besar di dadanya.
Beberapa menit kemudian, ruang pertemuan sudah penuh. Para pelayan, satpam, tukang kebun, hingga asisten dapur duduk berjajar. Wajah mereka dipenuhi tanda tanya.
Bu Lastri berdiri di depan, di sampingnya Syahrul duduk tenang namun wajahnya serius.
“Assalamualaikum,” ucap Bu Lastri.
“Wa’alaikumsalam,” jawab mereka serempak.
Dengan suara hati-hati, Bu Lastri menyampaikan maksud pertemuan itu, tentang tumbal, tentang Pangeran Jin, tentang keselamatan keluarga Pak Hasto.
Suasana ruangan mendadak mencekam. Beberapa orang saling pandang dengan mata melebar.
“Aku punya anak gadis di desa,” kata Pak Tukang Kebun, wajahnya keruh. “Tapi meskipun dikasih harta banyak, aku takkan tega menumbalkan anakku. Tapi... kalau Pak Hasto jatuh sakit, usaha bisa hancur. Kita juga bisa kehilangan pekerjaan. Serba salah ini...”
Beberapa orang mengangguk. “Iya, iya...” sahut mereka.
“Makanya,” kata Bu Lastri menegaskan, “sebarkan saja pengumuman ini ke teman teman kalian. Siapa tahu orang-orang di luar sana ada yang mau..”
Syahrul menambahkan, “Dan gadis yang dipilih nanti akan dijadikan istri Pangeran Jin.”
“Meskipun jadi permaisuri jin, ogah aku,” celetuk salah satu pelayan muda, lalu melirik satpam di sudut ruangan sambil tersenyum nakal. “Mending jadi istri satpam aja, tapi di dunia nyata.”
Beberapa orang tertawa kecil, tapi tawa itu cepat meredup, kalah oleh ketegangan yang menyelimuti ruangan.
Bu Lastri menoleh ke Syahrul, suaranya pelan. “Benar kan, Mas, pasti susah mencari orang yang mau seperti itu.”
“Iya, Bu,” jawab Syahrul tenang. “Tapi kita belum tahu hasilnya. Biarkan saja mereka sebarkan dulu. Kita tunggu.”
“Baiklah,” ucap Bu Lastri akhirnya. “Kalau begitu, pertemuan saya akhiri. Ingat, ini bukan demi kekayaan Pak Hasto, tapi demi keselamatan anak, menantu, dan cucu beliau.”
Ruangan kembali sunyi. Beberapa pelayan menunduk, merenung. Namun di sudut ruangan, seorang gadis manis tampak termenung lebih lama dari yang lain.
Ada sesuatu di matanya, entah ketakutan, atau mungkin... niat yang belum ia mengerti sendiri.
g di sana g di sini sama aja mbingumhi 🤣🤣🤣
tp nnti pennjelasan panheran yg masuk akal dpt meruntuhkan ego samg ibunda dan nnit mlh jd baik se lam jin jd muslim.🤣