Kanaya terkejut saat bosnya yang terkenal playboy kelas kakap tiba-tiba mengajaknya menikah. Padahal ia hanya seorang office girl dan mereka tak pernah bertatap muka sebelumnya. Apa alasan pria itu menikahinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arandiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lingerie untuk Naya
"Aku akan menceraikan istriku itu," katanya, setiap katanya penuh penekanan. "Tepat setelah taruhan ini selesai. Dan pastikan, kalian berdua siap kehilangan uang kalian."
Bram dan Fero saling pandang, lalu tawa mereka kembali meledak, meski kali ini ada nada kagum yang terpaksa. Mereka tahu tatapan itu. Itu adalah tatapan Arjuna yang paling berbahaya—dingin, fokus, dan tidak kenal ampun.
"Baik, baik, Tuan Pemenang," kata Bram, mengangkat tangannya tanda menyerah. "Kita lihat saja."
Setelah kedua temannya pergi, ruang rapat pribadi Arjuna terasa sunyi dan menyesakkan. Udara pengap dipenuhi kepulan asap rokok dan sisa aroma kopi.
Arjuna memijat pelipisnya. Gengsi di depan teman-temannya berhasil ia pertahankan, tapi kelegaan tidak kunjung datang. Ia kembali ke meja kerjanya yang megah di ruang utama kantornya, dan matanya langsung tertuju pada tumpukan berkas yang menggunung.
Pekerjaan menunggunya. Laporan keuangan, proposal proyek baru, jadwal rapat yang padat. Biasanya, ini adalah dunianya. Biasanya, kekacauan terorganisasi ini adalah satu-satunya hal yang bisa membuatnya fokus.
Tapi hari ini, semua terasa berbeda.
Matanya memandang angka-angka di layar komputer, tapi otaknya memutar ulang kejadian pagi tadi. Kehangatan tubuh Naya yang menempel di dadanya. Aroma lembut rambut wanita itu yang samar-samar tercium. Cara tangan Arjuna, tanpa sadar, melingkar posesif di pinggang ramping itu.
"Sial!" umpatnya pelan, mengusap wajahnya dengan kasar.
Pikirannya tidak bisa fokus. Ia mencoba membaca satu paragraf proposal, tapi yang terbayang justru wajah pucat Kanaya. Ia mencoba menganalisis grafik penjualan, tapi yang terdengar adalah suara serak Naya.
Arjuna bersandar di kursinya, menatap langit-langit kantornya. Pusing di kepalanya bukan lagi karena tumpukan berkas. Ini pusing yang berbeda.
Kenapa dia harus memikirkan wanita itu?
Dia hanyalah jaminan taruhan. Sebuah barang sementara.
'Dia pasti sudah makan,' batin Arjuna, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. 'Dia sudah dewasa.'
Tapi bayangan Naya yang pingsan kemarin melintas lagi. Tubuh yang basah kuyup dan rapuh itu.
'Bagaimana jika dia tidak mau makan?' pikirnya lagi semakin kesal. 'Bagaimana jika demamnya naik lagi dan dia pingsan sendirian di rumah?'
Arjuna membenci perasaan ini. Perasaan khawatir yang tidak pada tempatnya. Itu bukan urusannya. Dia sudah melakukan bagiannya. Mengurus izin sakit, memberi makan, memberi obat. Selesai.
Tapi rasa tenang yang ia cari tidak kunjung datang. Kegelisahan itu menggerogotinya.
Dengan perasaan sangat enggan, ia meraih ponselnya. Tangannya—tangan yang sama yang pagi tadi memeluk Naya—kini terasa kaku saat mencari nama "Kanaya" di kontaknya. Nama yang hampir tidak pernah ia hubungi.
Ia menekan tombol panggil, dan di setiap nada tunggu, kekesalannya bertambah. Kenapa dia harus melakukan ini? Ini konyol.
"Ha... halo, Mas?"
Suara Naya terdengar di seberang. Masih serak, tapi terdengar lebih jelas daripada kemarin. Ada nada kaget yang tidak salah lagi di dalamnya.
Arjuna berdeham, memutar kursinya menghadap jendela.
"Sudah makan?" tanyanya. Suaranya datar, dingin, dan lugas. Seperti interogasi, bukan pertanyaan.
Hening sesaat. Arjuna bisa membayangkan Naya mengerjapkan matanya, karena bingung.
"Su... sudah, Mas," jawab Naya, terdengar sedikit ragu. "Roti panggang dan susunya sudah saya habiskan. Obatnya juga sudah saya minum. Terima kasih banyak, Mas... untuk sarapannya."
Mendengar penjelasan Naya, entah kenapa, beban di dada Arjuna sedikit terangkat. Setidaknya, wanita itu tidak pingsan. Setidaknya, dia tidak menambah masalah.
"Bagus," hanya itu yang keluar dari mulutnya.
"Mas... apa Mas sedang sibuk?" tanya Naya pelan, seolah takut salah bicara.
"Ya," jawab Arjuna singkat. "Aku sedang sibuk. Jangan merepotkan lagi."
"Iya, Mas. Maaf mengganggu. Cepat pulang, ya, Mas."
Arjuna langsung mematikan sambungan teleponnya, tidak ingin mendengar lebih lanjut. Ia meletakkan ponselnya dengan layar menghadap ke bawah.
Dan benar saja, ia merasa lebih tenang. Ia membenci fakta itu. Ia benci bahwa suara wanita itu bisa memengaruhi konsentrasinya. Dengan helaan napas berat, Arjuna kembali memaksakan perhatiannya pada tumpukan berkas di atas meja.
Sore harinya, Arjuna mengemudikan mobilnya membelah kemacetan Jakarta. Pikirannya sudah jauh lebih jernih setelah membenamkan diri dalam pekerjaan. Ia berhasil menutup dua kesepakatan penting dan memarahi tiga manajer proyek. Itu adalah hari yang produktif.
Ia hanya ingin pulang, mandi air dingin, dan mungkin tidur di kamar tamu.
Lampu merah di perempatan jalan besar menyala, memaksa Arjuna menghentikan laju mobilnya. Matanya menatap kosong ke depan, sebelum akhirnya tanpa sengaja melirik ke kiri.
Di sana, di seberang jalan, sebuah etalase toko menarik perhatiannya. Toko itu terang benderang, memajang manekin-manekin wanita dengan pose menantang, dibalut kain-kain tipis dan berenda. Sebuah toko pakaian dalam wanita.
Arjuna biasanya tidak akan melirik dua kali.
Tapi hari ini, otaknya kembali berkhianat. Bayangan Naya yang pucat di tempat tidur berganti dengan bayangan lain. Bayangan dari tadi malam.
Tiba-tiba, ia teringat lagi dengan sangat jelas. Teringat bagaimana jari-jarinya yang kaku gemetar saat membuka kancing seragam wanita itu. Teringat tekstur kulit mulus yang terasa panas karena demam di bawah jemarinya. Teringat lekuk pinggulnya.
Dan teringat bagaimana matanya terpaku pada pakaian dalam katun sederhana berwarna putih yang Naya kenakan. Sederhana dan basah.
Arjuna menelan ludah. Panas yang familier menjalar di tubuh bagian bawahnya.
Bagaimana jika kapas putih yang sederhana itu diganti dengan sutra hitam? Atau renda merah marun?
Lampu lalu lintas berubah hijau. Mobil di belakangnya membunyikan klakson.
Tersentak, Arjuna seharusnya menginjak gas. Logikanya berteriak padanya untuk pulang.
Namun, hasratnya mengalahkan logikanya.
Dengan gerakan impulsif yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri, Arjuna membanting setir ke kiri, memotong jalan, dan masuk ke area parkir toko itu.
Ia merasa sikapnya tiba-tiba aneh. Apa yang dia lakukan? Ini bukan perhatian. Ini... sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih primitif.
Arjuna melangkah masuk ke toko itu. Udara di dalam terasa dingin dan beraroma vanila. Seorang pramuniaga muda menatapnya—seorang pria tinggi berjas mahal di lautan pakaian dalam wanita—dengan tatapan ingin tahu dan sedikit gugup.
"Selamat sore, Pak. Ada yang bisa dibantu?"
"Saya mau lihat," jawab Arjuna dingin, berusaha terlihat mengintimidasi agar tidak ditanya lebih lanjut.
Dia berjalan menyusuri rak-rak. Sutra, satin, renda. Hitam, merah, biru tua. Pikirannya, yang tadi pusing karena berkas, kini pusing karena pilihan.
Dia tidak tahu ukuran Naya. Dia hanya bisa mengira-ngira, berdasarkan ingatan visual dan sentuhan singkat jari-jarinya tadi malam.
Dia tidak memilih. Dia mengambil satu set hitam transparan. Satu set merah dengan tali-tali rumit. Satu kimono tidur pendek dari sutra biru. Dia hanya mengambil apa yang menarik perhatiannya, apa yang memancing imajinasinya.
Dia mengambil beberapa set lagi tanpa berpikir panjang. Totalnya, mungkin ada sepuluh set yang ia bawa ke meja kasir.
Pramuniaga itu menatap tumpukan barang itu lalu menatap Arjuna dengan mata terbelalak, berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Arjuna hanya menyodorkan kartu kreditnya tanpa ekspresi.
Beberapa menit kemudian, dia keluar dari toko dengan membawa beberapa paper bag besar, merasa seperti orang bodoh sekaligus bersemangat.
Sesampainya di rumah, suasana terasa sepi. Tapi kali ini, ia tahu Naya ada di dalam.
Yang ia cari pertama kali adalah Kanaya.
"Naya!" panggilnya, suaranya menggema di ruang tamu yang lengang.
"Iya, Mas! Di dapur!"
Arjuna melonggarkan dasinya sambil berjalan ke dapur. Dia menemukannya di sana, sedang mengaduk sesuatu di panci. Wanita itu sudah mandi, terlihat lebih segar, dan masih mengenakan kaus oblong miliknya yang kebesaran serta celana piyama.
Pemandangan itu, entah kenapa, terasa seperti sebuah adegan rumah tangga yang normal.
Naya menoleh saat mendengar langkah kakinya, senyum kecil tersungging di bibirnya. "Mas sudah pulang? Sebentar lagi makan malamnya si..."
Kalimat Naya terputus saat melihat beberapa paper bag dari toko ternama yang dibawa suaminya. Matanya memancarkan kebingungan, tapi ia tak berani bertanya.
Arjuna paham tatapan itu. Dengan wajah dingin yang sama seperti yang ia pasang seharian, dia meletakkan paper bag itu di meja makan.
Naya menatap kantong-kantong itu, lalu menatap Arjuna. "Ini apa, Mas?" tanyanya hati-hati.
Arjuna tidak menjawab. Dia hanya memberi isyarat dengan dagunya. "Untukmu."
Naya ragu-ragu mendekat. Tangannya meraih ke dalam salah satu kantong. Yang dia tarik keluar adalah sesuatu yang sangat tipis, berwarna merah menyala, dan penuh renda.
Mata Naya terbelalak. Wajahnya langsung memerah padam. Dia buru-buru menjatuhkan kembali benda itu ke dalam tas, seolah baru saja menyentuh api.
"Mas... i-ini... ini..." Dia tergagap, tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Dia menatap suaminya, mencari penjelasan.
Tapi Arjuna hanya diam, menatapnya dengan lekat.
Dan saat itulah Naya memperhatikan sesuatu. Suaminya tidak menatapnya dengan tatapan dingin seperti biasanya. Ada sesuatu yang lain di mata itu. Dan... wajahnya.
Wajah Arjuna, yang biasanya pucat dan kaku, kini terlihat memerah. Merah padam hingga ke telinga.
Naya mengerjapkan matanya, kebingungannya kini berubah menjadi kekhawatiran yang tulus. Dia lupa pada pakaian-pakaian di dalam tas itu.
Dia melangkah mendekat, mengabaikan jarak yang biasa Arjuna ciptakan. Dengan gerakan ragu, dia mengangkat punggung tangannya dan menempelkannya ke dahi Arjuna, sama seperti yang pria itu lakukan padanya pagi tadi.
Kulit Arjuna terasa panas. Sangat panas.
"Mas?" bisik Naya, kepanikan kecil mulai terdengar dalam suaranya. "Mas demam, ya? Wajah Mas merah sekali."
Naya mengira suaminya demam karena tertular dirinya.
Arjuna membeku di tempat.
Sentuhan tangan Naya yang dingin di dahinya terasa seperti sengatan listrik.
Dia tidak demam. Dia memerah bukan karena sakit. Dia memerah karena kombinasi rasa malu yang aneh, gairah yang tertahan, dan kegugupan karena melakukan hal paling impulsif dalam hidupnya. Dan sekarang, wanita ini mengira dia sakit.
"Bukan urusanmu!" sentaknya kasar, lebih karena malu daripada marah.
Arjuna menepis tangan Naya dari dahinya, menyambar tas kerjanya, dan bergegas meninggalkan dapur menuju kamarnya.
"Pakai itu malam ini!" perintahnya dari balik bahu, sebelum membanting pintu kamar.
biar stres semoga Naya pergi jauh ke kampung biar tambah edan
udah akua hapus dari daftar favorit kemarin