NovelToon NovelToon
The Lonely Genius

The Lonely Genius

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Sci-Fi / Anak Genius / Murid Genius / Dunia Masa Depan / Robot AI
Popularitas:801
Nilai: 5
Nama Author: PumpKinMan

Di tahun 2070, nama Ethan Lawrence dirayakan sebagai pahlawan. Sang jenius muda ini telah memberikan kunci masa depan umat manusia: energi tak terbatas melalui proyek Dyson Sphere.
Tapi di puncak kejayaannya, sebuah konspirasi kejam menjatuhkannya.
Difitnah atas kejahatan yang tidak ia lakukan, sang pahlawan kini menjadi buronan nomor satu di dunia. Reputasinya hancur, orang-orang terkasihnya pergi, dan seluruh dunia memburunya.
Sendirian dan tanpa sekutu, Ethan hanya memiliki satu hal tersisa: sebuah rencana terakhir yang brilian dan berbahaya. Sebuah proyek rahasia yang ia sebut... "Cyclone".



(Setiap hari update 3 chapter/bab)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 14: Rumah

Selama sebulan, Ethan Pradana hidup dalam pusaran badai.

Kantor barunya di lantai 120 Zona-S adalah sebuah katedral kaca dan baja, menghadap ke seluruh kota. Panggilan telepon dari para akademisi paling bergengsi di dunia memenuhi jadwalnya. Permintaan wawancara dari setiap jaringan berita menumpuk. Dia memiliki tim yang terdiri dari 500 peneliti, anggaran yang pada dasarnya tak terbatas, dan kekuasaan untuk mengubah dunia.

Dan dia tidak pernah merasa lebih terisolasi.

Dia duduk di belakang mejanya yang terbuat dari kayu ek seberat satu ton, menatap layar holografik yang menampilkan bagan logistik pengiriman *Calicite-7* dari Mars. Ini adalah pekerjaan barunya: bukan lagi memecahkan kode, tapi mengelola kerajaan.

Itu membosankan. Itu adalah jenis kelelahan yang berbeda.

"Direktur Pradana?"

Ethan mendongak. Asisten barunya, seorang pria muda Tier-A yang efisien bernama Kenji, berdiri di ambang pintu, tampak gugup. "Jadwal Anda pukul 14:00. Rapat Dewan Anggaran."

"Batalkan," kata Ethan, mengusap matanya.

"Tapi, Pak, ini dengan..."

"Batalkan semuanya," kata Ethan, suaranya lebih tajam dari yang dia inginkan. "Untuk sisa hari ini."

"Saya tidak bisa..."

"Oh, dia bisa."

Sebuah suara baru memotong Kenji. Pintu kantor Ethan yang berat, yang seharusnya hanya bisa dibuka oleh otorisasi Level Senatorial, didorong terbuka.

Nate Reyes masuk, menyeringai, mengenakan jaket kulitnya yang usang. Dia mengunyah sesuatu. Di belakangnya, Aluna "Luna" Carpenter tersenyum minta maaf kepada asisten yang pucat itu.

"Siapa kalian?" tanya Kenji, panik. "Ini adalah area terlarang! Keamanan!"

"Tenang, Kawan," kata Nate, menepuk bahu Kenji sambil lalu. "Kami ada di 'Daftar Keluarga'. Benar, Eth?"

Ethan, untuk pertama kalinya dalam sebulan, tersenyum tulus. Dia bersandar di kursinya. "Benar, Nate. Tidak apa-apa, Kenji. Mereka bersamaku."

"Tapi, Pak... 'Daftar Keluarga'?"

"Kirim memo," kata Nate, menjatuhkan diri di salah satu kursi kulit mahal di depan meja Ethan. "Tambahkan 'Martabak Sinar Jaya' ke daftar katering yang disetujui."

Luna terkekeh. "Nate, berhentilah mengganggunya. Kenji, maafkan kami. Kami teman lama." Dia menatap Ethan dengan tatapan seorang dokter yang sedang mendiagnosis. "Dan teman kami terlihat seperti sampah."

"Terima kasih, Lun," kata Ethan datar.

"Aku serius," kata Luna, berjalan mendekati meja Ethan. Dia mengabaikan holo-proyektor dan menatap lurus ke matanya. "Lingkaran hitam di bawah matamu lebih buruk daripada saat kau masih mahasiswa kedokteran. Kantor ini terlalu dingin. Dan kau belum makan siang."

"Aku sibuk," kata Ethan membela diri.

"Ya, sibuk menjadi 'Direktur Pradana'," kata Nate. "Tempat ini terlalu bersih, Eth. Aku tidak menyukainya. Di mana semua cangkir cokelat kotormu?"

"Aku... punya asisten untuk itu sekarang."

Luna dan Nate saling pandang. Itu adalah tatapan yang Ethan kenal sejak kecil. Tatapan "intervensi".

"Oke," kata Luna, mengambil data-pad dari meja Ethan dan mematikannya. "Cukup."

"Hei, aku sedang..."

"Kau sedang tidak melakukan apa-apa," kata Luna tegas. "Nate, ambil jaketnya."

"Tunggu, apa?"

Nate sudah mengambil mantel mahal Ethan dari gantungan. "Kau dengar dokternya, kawan. Kau punya janji."

"Janji apa? Aku tidak punya..."

"Ya, punya," kata Luna, senyumnya kini lebih lembut. "Kita akan mengambil cuti sehari. Kita bertiga."

Ethan menatap jadwalnya yang penuh. "Aku tidak bisa. Rostova..."

"Rostova bisa menunggu," kata Nate. "Lagi pula, pahlawan rakyat harus sesekali mengunjungi rakyatnya, kan?" Dia melemparkan mantel itu ke Ethan. "Ayo. Kita pulang."

Ethan membeku. "Pulang? Ke apartemenmu?"

"Bukan," kata Luna, matanya berbinar. "Jauh lebih baik. Kita akan kembali ke St. Jude's."

Panti Asuhan St. Jude.

Nama itu menghantam Ethan. Dia tidak pernah kembali. Tidak sejak dia pergi ke universitas. Terlalu banyak kenangan. Terlalu menyakitkan.

"Aku... aku tidak tahu, Lun..."

"Justru itu," katanya lembut. "Sudah waktunya. Kau sudah berjanji, ingat? Pada Maya. Kau bilang kau akan memperbaiki pemanasnya."

Nate terdiam, senyumnya memudar. Maya. Nama itu menggantung di udara di antara mereka, hantu dari masa lalu mereka.

Ethan menatap Luna, lalu ke Nate. Dia melihat di mata mereka hal yang sama yang dia rasakan. Akar.

"Oke," kata Ethan pelan. "Ayo kita pulang."

Perjalanan dari Zona-A ke Zona-D adalah perjalanan antar planet.

Mereka mengambil kendaraan resmi Ethan—sebuah sedan otonom bertenaga listrik yang ramping dan senyap, dengan kaca berwarna gelap. Saat mereka melaju melewati jalanan Zona-A yang bersih dan Zona-B yang ramai, Nate menempelkan wajahnya ke jendela seperti anak kecil.

"Sial, Eth," kata Nate. "Kursi ini punya pemanas punggung. Pemanas *punggung*! Van-ku bahkan nyaris tidak punya pemanas."

"Itu standar," kata Ethan, mencoba menyembunyikan senyumnya.

Tapi saat mobil itu melewati pos pemeriksaan terakhir menuju Zona-D, suasananya berubah.

Kaca berwarna itu tidak bisa menyembunyikan kenyataan. Jalanan di sini retak. Gedung-gedung terbuat dari beton yang kotor dan baja berkarat, bukan kaca dan kromium. Udara di luar lebih tebal, berbau asap industri dan makanan basi.

Mobil mewah mereka yang senyap meluncur di jalanan ini seperti pesawat ruang angkasa yang mendarat di dunia primitif. Orang-orang di jalan—yang mengenakan pakaian lusuh dan tampak lelah—berhenti untuk menatap. Mereka tidak menatap dengan iri; mereka menatap dengan campuran rasa ingin tahu dan curiga.

"Rasanya tidak berubah," bisik Luna, menatap ke luar jendela.

"Baunya masih sama," kata Nate.

Mobil berhenti di depan sebuah gedung bata tua berlantai tiga yang terjepit di antara gudang yang sudah tutup dan sebuah toko kelontong. Jendelanya retak, dan sebuah plakat kayu sederhana tergantung di atas pintu: `PANTI ASUHAN ST. JUDE. (Didanai oleh Donasi Tier-B)`.

Mereka keluar dari mobil.

Udara di sini lebih dingin. Gerimis mulai turun.

Saat itulah pintu terbuka. Seorang wanita tua berambut abu-abu tebal, mengenakan kardigan wol tebal, berdiri di ambang pintu, menyipitkan mata ke arah mobil mewah itu.

"Maaf," katanya, aksen Rusia-nya kental. "Kami tidak menerima donasi Tier-A tanpa jadwal. Anda harus..."

Dia berhenti. Dia menatap lebih dekat pada pria muda yang berdiri di tengah. Pria berambut acak-acakan dan mata yang terlalu serius.

"...Ethan?" bisiknya. "Ethan Pradana? Apa itu benar-benar kau?"

Ethan tersenyum, senyum canggung yang sama yang dia miliki di usia delapan tahun. "Halo, Nyonya Petrov. Maaf kami tidak menelepon dulu."

Wajah wanita tua itu runtuh dalam kelegaan dan kebahagiaan. "Oh, Nak!" Dia bergegas maju—mengabaikan Nate dan Luna—dan menarik Ethan ke dalam pelukan yang erat dan berbau seperti sup kubis. "Kau kembali! Kau kembali!"

Di dalam, suasananya persis seperti yang diingat Ethan. Hangat, berantakan, dan berisik.

Selusin anak-anak, berusia antara lima hingga dua belas tahun, berkumpul di ruang utama yang remang-remang, menatap ketiga penyusup itu dengan mata terbelalak.

"Anak-anak," kata Nyonya Petrov, suaranya bergetar karena bangga. "Lihat siapa ini. Ini Ethan! Dan Nate! Dan Luna! Mereka dulu tinggal di sini, sama seperti kalian."

Seorang gadis kecil yang pemberani di depan bertanya, "Ethan... seperti... *Peneliti* Ethan Pradana? Yang ada di TV?"

Ethan menggosok bagian belakang lehernya. "Uh... ya. Kurasa itu aku."

Ruangan itu meledak.

Anak-anak itu bersorak dan mengerumuninya, menarik-narik mantelnya, mengajukan seribu pertanyaan.

"Apa kau kaya?"

"Apa kau punya mobil terbang?"

"Apa benar kau lebih pintar dari Profesor Kuantum?"

Ethan kewalahan, tertawa, mencoba menjawab semuanya.

Nate menyeringai dari sudut, mengeluarkan kameranya. "Ini dia," katanya kepada Luna. "Ini pria yang kukenal."

Luna tersenyum, matanya berkaca-kaca.

"Oke, oke!" teriak Nyonya Petrov. "Beri dia ruang bernapas!"

"Tidak apa-apa," kata Ethan. "Aku... aku merindukan ini."

Seorang anak laki-laki kecil, mungkin berusia enam tahun, menarik-narik celananya. "Apa benar kau dulu tinggal di kamar 3B?"

Ethan berlutut agar sejajar dengannya. "Ya. Tepat di ranjang susun atas."

"Wow," bisik anak itu. "Di situlah *aku* tidur sekarang."

Ethan terdiam. Dia menatap anak itu—kurus, bermata cerah. Dia melihat dirinya sendiri.

"Siapa namamu?" tanya Ethan.

"Leo," kata anak itu.

Ethan tersenyum. "Leo. Itu nama yang bagus."

Dia teringat pada Maya. Dia teringat pada nebulizer yang sekarat. Dia melihat ke sudut ruangan. Pemanas ruangan tua yang sama, yang dulu sering dia dan Nate coba perbaiki, masih ada di sana, mendesis pelan, mengeluarkan panas yang nyaris tidak cukup.

Dia berdiri.

"Nyonya Petrov," katanya, suaranya kini dipenuhi tujuan baru. "Bolehkah saya melihat ruang utilitas Anda?"

Nyonya Petrov tampak bingung. "Ruang utilitas? Ethan, di sana tidak ada apa-apa selain sekering tua dan boiler yang rusak..."

"Justru itu yang ingin saya lihat," kata Ethan.

Dia mengikuti Nyonya Petrov menuruni tangga yang berderit ke ruang bawah tanah yang lembap. Nate dan Luna mengikuti di belakang, Nate memotret segalanya, Luna hanya mengamati.

Ruang utilitas itu persis seperti yang dia ingat: sebuah mimpi buruk pipa-pipa berkarat dan kabel-kabel usang. Panel sekeringnya adalah peninggalan dari abad ke-20.

"Ya Tuhan," gumam Nate. "Aku lupa betapa buruknya tempat ini. Ajaib kita tidak terbakar saat tidur."

Ethan berjalan ke boiler tua yang besar di sudut. Benda itu bergemuruh dengan suara yang tidak sehat. "Ini masih model yang sama," katanya.

"Kami tidak punya dana untuk menggantinya," kata Nyonya Petrov sedih. "Jaringan listrik Zona-D menaikkan harga setiap tahun. Kami nyaris tidak bisa membayar tagihan lampu, apalagi pemanas."

Ethan mengangguk pelan. Dia sudah menduga ini.

"Maafkan saya, Nyonya Petrov," kata Ethan. "Saya berbohong."

"Apa?"

"Saya tidak datang ke sini hanya untuk berkunjung." Ethan mengeluarkan data-pad dari sakunya. Bukan yang ilegal, tapi yang resmi, yang terhubung ke akunnya sebagai Direktur.

"Dua hari yang lalu," kata Ethan, "saya menandatangani sebuah perintah. Sebuah 'uji coba lapangan' untuk teknologi baru. Sesuatu yang saya kerjakan sebelum... yah, sebelum Dyson Sphere."

Dia menyerahkan data-pad itu kepada Nyonya Petrov.

Wanita tua itu menatap layar. Itu adalah perintah kerja. "Saya tidak mengerti... 'Instalasi Reaktor Fusi Dingin Prototipe 7'?"

"Itu Hadiah Nobel pertamaku," jelas Ethan. "Versi kecilnya. Sepenuhnya aman. Cukup untuk memberi daya pada seluruh blok kota."

Nyonya Petrov mendongak dari layar, matanya melebar tak percaya. "Ethan... apa artinya ini?"

"Artinya," kata Ethan, tidak bisa menahan senyum, "mulai besok pagi, tim instalasi akan tiba. Mereka akan mencabut boiler tua ini. Dan mereka akan memasang ini."

Dia menunjuk ke sebuah sudut kosong. "St. Jude tidak akan pernah lagi terhubung ke jaringan Zona-D. Anda akan memiliki pemanas tanpa batas. Listrik tanpa batas. Air panas tanpa batas."

Dia berhenti sejenak. "Dan Anda tidak akan pernah membayar tagihan listrik lagi. Selamanya."

Nyonya Petrov menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Data-pad itu jatuh dari tangannya—Nate dengan cepat menangkapnya. Air mata mengalir di pipi wanita tua itu.

"Aku... aku tidak tahu..." dia terisak.

"Kau tidak perlu berkata apa-apa," kata Luna lembut, melingkarkan lengan di bahu wanita itu.

"Ini hanya permulaan," kata Ethan. "Ini hanya uji coba. Setelah saya membuktikan ini berhasil di sini, saya akan memberikannya ke seluruh Zona-D."

Nyonya Petrov memeluk Ethan lagi, kali ini terisak di bahunya. "Kau anak yang baik, Ethan. Kau selalu menjadi anak yang baik."

Mereka meninggalkan Nyonya Petrov di ruang utama, di mana dia mengumumkan berita itu kepada anak-anak (yang lebih bersemangat mendengar "air panas tanpa batas" daripada "fusi dingin").

Trio itu naik ke satu tempat yang belum mereka kunjungi. Atap.

Itu adalah tempat persembunyian rahasia mereka. Mereka duduk di tepian atap yang basah, kaki mereka menggantung, menatap pemandangan Zona-D yang kelabu. Hujan telah berhenti.

"Kau melakukannya, Eth," kata Nate pelan, menyimpan kameranya. "Kau benar-benar melakukannya. Kau memperbaiki pemanasnya."

"Aku berjanji pada Maya," kata Ethan, suaranya pelan.

"Dia akan bangga," kata Luna, menyandarkan kepalanya di bahu Ethan.

Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman selama beberapa saat. Hanya mereka bertiga, di atas dunia mereka yang lama.

"Kau tahu," kata Nate akhirnya, memecah keheningan. "Rostova membiarkanmu melakukan ini?"

Ethan mengangguk. "Itu adalah bagian dari kesepakatanku dengannya. 'Inisiatif Kemanusiaan'. Dia menyukainya. Katanya bagus untuk citra publik."

Nate tertawa kecil, tapi tidak ada humor di dalamnya. "Tentu saja dia menyukainya."

Ethan menoleh padanya. "Ada apa, Nate? Kita menang."

"Kita?" Nate menatap cakrawala yang kelabu. "Kau menang, Eth. Kau mendapatkan semua yang kau inginkan. Tapi jangan naif. Kau tidak menang sendirian."

"Aku tahu itu. Rostova adalah perisaiku."

"Tepat," kata Nate, menatap Ethan dengan tajam. "Perisai itu bagus. Tapi perisai juga bisa digunakan untuk menjebakmu di sudut. Perisai menghalangi pandanganmu."

"Nate, dia percaya padaku," kata Ethan. "Dia berasal dari tempat seperti ini."

"Dia *dulu* berasal dari tempat seperti ini," Nate mengoreksi. "Sekarang dia berasal dari menara kaca. Jangan lupa itu. Dia memberimu mainan ini"—dia menunjuk ke panti asuhan di bawah—"untuk membuatmu sibuk dan bahagia. Tapi dia masih memegang kendali atas hal yang sebenarnya."

"Hal apa?"

"Thorne," kata Nate. "Dia sengaja menempatkan musuh bebuyutanmu untuk mengurus rantai pasokanmu di Mars. Itu bukan kecelakaan, Eth. Itu tali kekang. Dia membiarkanmu memperbaiki pemanas di sini, tapi dia memegang tombol pemutus utama untuk Mataharimu di luar sana."

Ethan terdiam. Dia ingin membantah, tetapi dia tahu Nate benar. Peringatan Aurora kembali terngiang di benaknya.

"Aku tahu apa yang kulakukan," kata Ethan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri sama seperti meyakinkan Nate.

"Aku harap begitu," kata Nate. "Karena aku suka kau yang ini." Dia menepuk punggung Ethan. "Aku tidak ingin kehilangan kau karena pria di menara itu."

Luna menggenggam tangan Ethan. "Kami tidak akan kehilanganmu."

Ethan menatap kedua sahabatnya. Satu-satunya keluarga yang pernah dia kenal. "Tidak akan," janjinya.

Mereka duduk di sana lebih lama, sementara matahari sore yang pucat mencoba menembus awan tebal di atas Zona-D. Kemenangan Ethan terasa manis, tetapi kini ada sedikit rasa pahit di dalamnya.

Peringatan telah diberikan. Masa emas baru saja dimulai, tetapi bayang-bayang sudah mulai memanjang.

1
Brock
Saya butuh lanjutannya, cepat donk 😤
PumpKinMan: udah up to 21 ya bro
total 1 replies
PumpKinMan
Halo semua, enjoy the story and beyond the imagination :)
Texhnolyze
Lanjut dong, ceritanya makin seru!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!