Mentari Arata Wiradiredja, gadis 19 tahun pewaris tunggal keluarga Wiradiredja—konglomerat yang tersohor bisnis hotel dan resortnya, justru ingin mengejar mimpinya sebagai desainer. Penolakannya membuat hubungannya dengan keluarga kerap tegang.
Hidupnya berubah saat tak sengaja bertemu Dewangga Orlando Danurengga, duda tampan kaya raya berusia 35 tahun yang dingin namun memikat. Pertemuan sederhana di sebuah café menjerat hati mereka, meski perbedaan usia, status, dan restu keluarga menjadi jurang besar.
Di tengah cinta, mimpi, dan konflik dengan kakak-beradik Danurengga, Mentari harus memilih: mengejar cintanya pada Dewangga, atau tunduk pada takdir keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lari sebentar
Malam itu, jam dinding di kamar Mentari menunjukkan pukul 22.47.
Di luar jendela, hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang samar. Dari lantai dua rumah besar keluarga Wiradiredja, lampu di ruang tamu masih menyala temaram—ayah dan ibunya baru saja masuk kamar setelah membicarakan “rencana besar” yang bahkan tak sempat mereka tanya bagaimana dan seperti apa pendapat Mentari.
Gadis itu berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri.
Wajahnya pucat, matanya sembab karena tangis yang tertahan sejak malam makan itu.
“Aku nggak bisa di sini malam ini,” gumamnya lirih. “Aku butuh napas.”
Ia menatap ransel kecil di kasur—berisi baju ganti, sketchbook, charger, dan beberapa barang penting.
Suara notifikasi ponsel bergetar pelan.
Pesan dari Cakra muncul di layar.
“Aku udah di depan, sisi timur gerbang belakang. Sepi. Aman.”
“Oke. Aku jalan sekarang.”
Dengan hati-hati, Mentari melangkah keluar kamar, menahan napas saat memutar kenopnya.
Kreeek—
Suara kecil dari engsel terdengar, membuatnya spontan berhenti. Ia menatap ke arah kamar orang tuanya di ujung lorong. Sepi.
Pelan-pelan, ia menuruni tangga.
Lantai marmer terasa dingin di bawah telapak kakinya yang hanya beralaskan sandal rumah. Ia melewati ruang tamu, ruang tengah, lalu pintu belakang—pintu yang biasa digunakan para pelayan untuk keluar.
Begitu keluar, udara malam langsung menampar lembut wajahnya. Dingin, tapi melegakan.
Ia melewati jalan setapak menuju pagar belakang, di mana lampu taman hanya tinggal satu yang hidup.
Dan di balik semak kecil, tampak mobil hitam Cakra sudah menunggu, lampu depannya sengaja dimatikan.
Begitu Mentari muncul dari balik pepohonan, Cakra segera keluar dari mobil dan menatapnya khawatir.
“Mentari,” bisiknya cepat, “Kamu yakin mau jalan malam-malam begini? Nanti kalau—”
“Aku butuh pergi, Cakra,” potong Mentari, nadanya lirih tapi tegas. “Aku cuma mau ke vila Lembang, cuma itu. Aku nggak akan lama. Aku... aku cuma mau tenang sebentar.”
Cakra memandangi wajahnya beberapa detik, lalu menghela napas panjang.
“Ya sudah. Masuk.”
Mentari tersenyum samar, lalu berlari kecil masuk ke mobil.
Begitu pintu tertutup, Cakra menyalakan mesin perlahan, menjaga agar suara mobil tidak terlalu keras. Gerbang belakang itu memang jarang digunakan, jadi mereka bisa keluar tanpa diketahui.
Mobil mulai meluncur pelan melewati jalanan perbukitan.
Dari jendela, Mentari menatap langit Bandung yang berawan, dengan sisa-sisa kabut lembut menggantung di antara lampu jalan.
“Makasih, ya,” katanya pelan, memecah keheningan.
Cakra menatap ke depan, bibirnya melengkung kecil. “Kamu nggak perlu terima kasih. Aku cuma nggak mau kamu sendirian.”
Hening sesaat. Hanya suara mesin mobil yang mengisi ruang.
Mentari bersandar pada kursi, matanya menatap kosong. “Kadang aku ngerasa kayak burung yang sayapnya dipotong. Semua orang udah siapin kandang buatku, padahal aku cuma ingin terbang sebentar.”
Cakra tersenyum tipis, tapi di dalam dadanya, kalimat itu seperti duri. “Dan sekarang kamu terbang ke Lembang, ya?”
“Hmm...” Mentari mengangguk pelan. “Tempat itu selalu tenang. Mungkin di sana aku bisa berpikir lebih jernih.”
Perjalanan mereka sunyi lagi, tapi kali ini bukan karena canggung—lebih pada perasaan tenang yang pelan-pelan tumbuh di antara mereka.
......
Setelah satu jam perjalanan, lampu-lampu kota mulai berkurang, berganti pemandangan jalanan berkelok khas dataran tinggi. Udara Lembang menusuk lembut, membawa aroma pinus dan kopi dari warung-warung kecil yang masih buka.
Cakra melirik Mentari yang mulai memejamkan mata. “Tidur aja. Aku yang nyetir.”
Mentari mengangguk kecil, tapi sebelum benar-benar tertidur, ia berucap pelan,
“Cakra, kalau aku ilang... jangan langsung cariin aku, ya. Kadang aku cuma butuh waktu buat nemuin diriku sendiri.”
Cakra menatap ke depan, matanya sendu.
“Aku tahu. Tapi kalau kamu terlalu lama, aku pasti datang nyusul.”
Mobil hitam itu terus melaju menembus kabut Lembang malam itu—dua jiwa muda dengan rahasia di dada masing-masing.
Mentari tak tahu, bahwa beberapa kilometer dari sana, di vila pribadinya yang juga berada di lereng Lembang, Dewangga sedang duduk di balkon, memandangi hamparan lampu kota yang berkelip.
Dan entah kenapa, malam itu, ia tiba-tiba teringat Mentari—tanpa alasan jelas, tanpa rencana, hanya rasa yang pelan-pelan tumbuh... seperti kabut yang datang diam-diam dari balik pepohonan.
.......
Udara Lembang terasa lebih dingin dari biasanya malam itu. Kabut tipis turun pelan, menyelimuti pepohonan pinus di sekitar vila keluarga Wiradiredja. Lampu taman kuning temaram memantul di jalanan batu basah, menuntun mobil hitam yang berhenti perlahan di depan bangunan bergaya klasik modern itu.
Cakra turun lebih dulu, membuka pintu untuk Mentari.
“Ayo, tuan putri.”
Mentari menghela napas panjang, memeluk jaketnya. Udara dingin langsung menyergap kulit wajahnya. “Aku lupa betapa dinginnya di sini,” katanya lirih, tapi matanya menatap ke sekeliling dengan rasa lega.
Hening sesaat, sampai suara langkah berat terdengar dari arah samping—villa sebelah.
Mentari spontan menoleh.
Sosok pria dengan sweater abu dan celana santai muncul sambil membawa mug kopi.
Tatapan matanya sempat terkejut, tapi segera berubah datar—hanya sedikit senyum sopan tersungging di sudut bibirnya.
Dewangga.
“Mentari?” suaranya dalam tapi tenang, seperti biasanya. “Kamu ngapain malam-malam ke sini?”
Mentari membeku di tempat. Ia benar-benar tidak menduga akan bertemu pria itu di vila keluarga malam ini. “Mas Dewangga?” serunya nyaris tak percaya. “Ngapain di sini?”
Dewangga tersenyum tipis, lalu mengangkat mug-nya. “Ngopi. Dan, hmm... sepertinya kebetulan besar bisa bertemu kamu di jam segini.”
Cakra segera turun tangan, berjalan mendekat, wajahnya tampak sedikit tegang. Ia berusaha menyembunyikan sesuatu lewat tatapan cepat yang ia kirimkan pada Dewangga—tatapan yang jelas berkata: “Anggap kita tidak saling kenal di depan Mentari.”
Dewangga, dengan ketenangannya yang khas, hanya menatap balik sepersekian detik dan sedikit mengangguk. Ia paham.
“Oh iya,” ucap Cakra cepat, mencoba terdengar biasa. “Saya Cakra, sahabat Mentari. Kebetulan Mentari sedang butuh tempat tenang, jadi saya antar ke sini.”
“Ah... begitu,” sahut Dewangga, seolah baru tahu. “Kebetulan aku baru balik sore tadi, sekalian kerja remote beberapa hari di sini.”
Mentari mengusap rambutnya yang agak berantakan, salah tingkah. “Wah... bener-bener kebetulan ya.”
Dewangga tersenyum, suaranya lembut tapi dalam. “Bersantailah disini. Aku juga sendirian, barangkali kita bisa bertukar cerita.”
Mentari menunduk sedikit, mencoba menenangkan degup jantungnya yang tak karuan. Ada perasaan aneh yang muncul—senang, tapi juga kikuk. Ia tidak tahu kenapa, tapi berada di dekat Dewangga malam itu membuat jantungnya berdebar aneh.
Cakra memperhatikan keduanya bergantian, lalu berkata, “Ya sudah, aku balik dulu, Tari.”
Mentari menatapnya cemas. “Cakra, hati-hati ya. Maaf banget udah ngerepotin.”
“Udah, nggak apa-apa.” Cakra menepuk bahunya ringan, lalu melirik Dewangga sekilas sebelum melangkah pergi.
Begitu ia sampai di mobil, ponsel Dewangga bergetar. Sebuah pesan masuk dari Cakra:
“Tolong jaga Mentari malam ini. Aku tahu dia butuh tenang. Aku percaya kakak.”
Dewangga membaca cepat, lalu hanya menghembuskan napas pelan. Tatapannya naik sekilas ke arah Cakra yang sedang menutup pintu mobil, dan mereka bertukar pandang sesaat—singkat, namun cukup untuk menegaskan: pesan itu sampai.
Tanpa banyak ekspresi, Dewangga menaruh kembali ponselnya di meja kayu teras.
Lalu ia berbalik, menatap Mentari yang masih berdiri di depan tangga, tampak canggung di bawah cahaya kuning lampu taman.
“Udara dingin sekali,” katanya akhirnya, berusaha mencairkan suasana. “Masuk aja, di dalam ada perapian. Aku buatkan teh hangat, ya?”
Mentari mengangguk pelan. “Boleh… makasih, Mas.”
Mereka berjalan berdampingan menuju ruang tamu.
Dewangga memutar kenop pemanas, dan nyala api kecil langsung menghangatkan ruangan.
Sementara Mentari duduk di sofa, merapatkan jaketnya, masih mencoba menenangkan pikiran.
Dewangga kembali membawa dua cangkir teh, menyerahkan salah satunya pada Mentari.
“Mungkin kamu nggak mau cerita,” katanya sambil menatap api di perapian, “tapi... dari wajah kamu, terlihat sekali kalau kamu lagi nggak baik-baik aja.”
Mentari menggigit bibir bawahnya, menunduk. “Aku cuma... mau tenang dulu, Mas. Aku capek.”
“Capek soal apa?” tanya Dewangga, nadanya lembut.
Mentari terdiam. Lama.
Lalu ia menjawab lirih, “Soal hidup yang kayaknya udah diatur orang lain. Aku cuma pengin sebentar aja... jadi diriku sendiri.”
Dewangga menatapnya lama, matanya teduh tapi menyimpan sesuatu yang tak terucap. “Kadang... cara terbaik buat nemuin diri sendiri, ya dengan berhenti lari sebentar,” ujarnya pelan. “Tapi malam ini, kamu boleh lari sejauh yang kamu mau. Aku jaga.”
Mentari tersenyum samar. “Terima kasih, Mas.”
Hening kembali menyelimuti ruangan, tapi kali ini bukan keheningan yang menyesakkan.
Melainkan keheningan yang hangat—seolah dua jiwa yang sama-sama menyembunyikan luka sedang bertemu di waktu yang salah, namun terasa tepat.
Dari luar jendela, kabut turun makin tebal, menyelubungi vila itu dalam sunyi yang lembut.
Dan di tengah cahaya api yang menari pelan, Dewangga menatap sekilas wajah Mentari—diam-diam menyadari sesuatu yang baru tumbuh di hatinya... sesuatu yang mungkin tak seharusnya ada.