NovelToon NovelToon
Menikahi Ayah Sang Pembully

Menikahi Ayah Sang Pembully

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Balas Dendam / CEO / Cinta Terlarang / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: penyuka ungu

Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.

Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya.

Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

14. Sisa Luka

Di bawah naungan pepohonan yang rimbun, barisan tenda berwarna cerah berdiri mengelilingi api unggun. Suara gemericik air sungai di samping area perkemahan mengalun indah, menambah tenang suasana sore itu.

Sean sedikit memundurkan tubuhnya ketika percikan api melompat dari tumpukan kayu yang baru saja ia tambahkan.

“Sudah selesai?” tanya Bastian, datang dengan panggangan di tangannya.

“Hm.”

Tidak jauh dari sana, Leo mendekat sambil merenggangkan tubuh setelah berhasil mendirikan tenda terakhir. Ia menjatuhkan diri ke kursi lipat dan menatap ke arah Emily dan Isabel yang tengah asyik berfoto di antara pepohonan. Tawa mereka terdengar renyah, menggema di antara kesunyian hutan.

“Ck, mereka hanya tahu cara bersenang-senang,” gerutu Leo, menatap mereka dengan malas.

Bastian tersenyum sambil menyiapkan panggangan, “Ya, begitulah wanita.”

“Kau itu selalu membela mereka,” balas Leo kesal.

Bastian berdiri sambil menepuk celananya, “Aku memang selalu memedulikan para wanita.”

Leo tertawa, tidak percaya, “Lihatlah siapa yang bicara.”

Bastian hanya terkekeh sebelum berjalan santai menuju tendanya.

Pandangan Leo kemudian berpindah ke arah Sean yang masih berkutat di depan api unggun.

“Hei, itu sudah menyala sempurna,” ujarnya.

“Hm.”

“Hm?” ulang Leo, menaikkan alis.

Sean menghela napas, lalu berdiri dan melepaskan sarung tangan pelindungnya. Ia duduk di kursi lipat di samping Leo, menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku jaket.

“Bahkan acara camping pun ternyata tidak bisa merilekskan pikiranmu,” sindir Leo setengah bercanda.

“Hm.”

“Hm lagi?” Leo kini memiringkan tubuhnya, menatap wajah sahabatnya itu.

Sean menengadah, memandangi langit yang sebagian tertutup ranting dan dedaunan.

Leo akhirnya bersandar santai, “Katakan saja kalau kau butuh bantuan kami. Kita teman sejak dulu, tidak usah ragu.”

“Apa yang bisa kalian bantu kalau ini berkaitan dengan ayahku?”

Leo tersenyum getir, menatap api yang mulai mengecil, “Benar juga. Aku bahkan masih takut kalau harus menatap mata ayahmu.”

Tawa Emily dan Isabel semakin mendekat ke arah mereka. Lalu tanpa aba-aba mengarahkan lensa ke arah Leo dan Sean. Suara jepretan beberapa kali terdengar. Leo refleks menutup wajahnya, sementara Sean hanya menatap datar.

“Hei, hentikan itu!” seru Leo kesal.

“Ck, dasar bodoh! Ini namanya foto candid. Bisa menjadi kenang-kenangan kalau kita pulang nanti,” sahut Emily tidak terima.

“Untuk apa dijadikan kenang-kenangan? Kita pasti bisa ke sini lagi. Benar kan, Sean?” Leo melirik sahabatnya.

“Hm,” jawab Sean singkat, matanya tidak lepas dari ponsel yang baru saja ia keluarkan dari saku jaket.

“Kalian ini tidak asik!” seru Isabel, mendengus kesal, “Sudahlah, Emily, ayo ajak Bastian. Aku yakin dia tidak akan menolak.”

Keduanya pun berlalu sambil tertawa, menuju tenda Bastian dan memaksanya keluar.

“Hh, lihatlah mereka,” gumam Leo, kembali menyandarkan tubuh ke kursi lipat.

Pandangannya kemudian beralih pada Sean yang masih fokus pada layar ponselnya, “Ngomong-ngomong soal kamera, aku jadi teringat sesuatu waktu SMA.”

Sean menghentikan gerak jarinya, “SMA?” Ia mengernyit sebentar, “Study tour?”

“Ck,” Leo mendecak, “Kau sudah melupakannya?”

Sean tersenyum miring, “Tidak ada yang perlu kuingat. Masa itu sama sekali tidak penting.”

Leo menatapnya tidak percaya, lalu menggeleng, “Kau itu memang… huh, sudahlah. Tapi biar kuingatkan. Waktu itu kita pernah memaksa salah satu siswi membuka seragamnya dan memotretnya secara brutal. Ingat sekarang?”

Sean terdiam beberapa detik, “Hanya samar.”

Leo menghela napas panjang, “Yah, setidaknya kau ingat,” ucapnya, lalu disusul tawa kecil yang hambar, “Aku jadi penasaran bagaimana gadis itu sekarang. Apa masih culun dan tidak berguna seperti dulu? Hah, membayangkannya saja sudah membuatku tertawa.”

Sean tersenyum tipis, lalu berdiri tanpa berniat untuk menjawab, “Selamat menikmati kenangan itu. Aku mau tidur.”

“Hei, aku belum selesai bicara!” seru Leo.

Sean hanya melambaikan tangan tanpa menoleh, lalu menghilang di balik tenda.

......................

Di balkon lantai atas gedung perusahaan, angin malam berembus lembut, membawa aroma kesibukan kota yang khas. Dari tempat itu, hamparan kota berkilau bagai permata, seakan menghipnotis siapa pun yang melihatnya.

Elena duduk di salah satu kursi, bersandar santai dengan pandangan menerawang ke langit gelap. Ia menarik napas panjang, lalu meraih botol soda di atas meja kaca.

“Pssstt...” suara soda saat tutupnya terbuka terdengar. Ia meneguknya cepat, tapi buru-buru meringis ketika beberapa tetes mengenai blus kerjanya.

“Ck!” gerutunya pelan sambil menatap noda kecil di dadanya.

Sebelum sempat mengusap, sebuah sapu tangan berwarna hitam dengan garis abu muncul di hadapannya.

Ia mendongak dan mendapati sosok Damian yang entah kapan sudah berdiri di hadapannya.

“Tuan Damian,” ucapnya, bibirnya membentuk senyum tipis.

“Ambillah.”

Elena menerima sapu tangan itu dengan anggukan kecil, lalu perlahan membersihkan bagian yang terkena soda. Sementara Damian duduk di sebelahnya, menatap lurus ke arah langit kota yang tidak berbintang.

“Apa yang kau lihat di sini?” tanyanya, tanpa menoleh, “Langitnya gelap, tidak ada bintang sama sekali.”

Elena menyesap kembali sodanya, lalu menatap lurus ke depan, “Setidaknya ada angin yang menerpa wajahku,” jawabnya lembut, masih menggenggam sarung tangan Damian.

Damian tersenyum samar, “Aku memang tidak pernah mengerti jalan pikiran wanita,” gumamnya, lalu menoleh sedikit. Tatapannya kali ini lebih dalam, “Bukankah aku sudah bilang, kau boleh pulang sesuai jam kantor. Tidak perlu menungguku lembur.”

Elena menaruh botol sodanya di meja, menatap balik dengan senyum hangat.

“Tuan hanya bilang boleh pulang, bukan harus pulang. Lagipula, sendirian di apartemen juga membosankan.” Ia berhenti sejenak, “Setidaknya di sini ada Tuan yang menemaniku.”

Damian berdehem pelan dan memalingkan wajah, menyembunyikan sesuatu di balik ekspresinya yang kaku.

“Jam kantor sudah selesai, panggil saja aku Om,” ucap Damian akhirnya, “Entah kenapa, aku mulai terbiasa dengan panggilan itu.”

Elena tertawa kecil, menutup mulutnya sopan.

“Deal!” katanya cepat, membuat Damian ikut tersenyum.

“Sudah lama aku tidak menikmati malam di kantor seperti ini. Biasanya hanya datang, bekerja, lalu pulang. Tidak ada yang menarik.”

Elena mencondongkan tubuh sedikit, “Jadi, aku membuat segalanya jadi menarik?”

Damian meliriknya, lalu tersenyum lagi dan lagi. Wanita itu memang pandai membuat giginya kering.

“Kuakui itu benar,” jawab Damian, lalu terkekeh pelan.

Elena tersenyum tipis, dan pandangannya terarah pada langit malam lagi. Sementara Damian menatapnya diam-diam.

“Langit gelap ini… entah kenapa, kembali mengingatkanku pada masa lalu,” lirih Elena.

Damian menoleh, menatapnya dengan tatapan penasaran, “Apa itu?”

Elena menunduk, menatap lantai seolah mencari sesuatu yang hilang.

“Bersenang-senang dengan temanku. Kami berfoto bersama dan...” Elena berhenti sejenak, “Tertawa tanpa beban.”

Damian mengangguk pelan, “Kenangan yang indah.”

Elena tersenyum getir, “Benar. Kenangan yang indah,” ujarnya dengan suara yang lebih seperti luka yang belum sembuh.

Flashback on

“Lepaskan aku!” Elena memberontak, seragam sekolahnya sudah kotor karena ia dipaksa duduk di atas tanah.

Namun tawa bahagia karena menyiksanya malah terdengar.

“HAHAHAHAHA!” Leo terlihat bersemangat sambil membuka kancing seragam Elena dengan paksa.

“Lepaskan aku... hiks... hiks...”

Sementara Sean tersenyum puas, sambil memotret tubuh bagian atas Elena yang hanya tertutupi pakaian dalam.

“Ini hukuman karena tidak mematuhiku hari ini,” ucap Sean.

Mata Elena yang basah karena air mata, kemudian melirik ke samping, ke arah dua siswi yang saling mengobrol.

“Lihat kukuku sangat cantik bukan?” ucap Emily sambil menunjukkan jari lentiknya.

Isabel mengangguk, “Sangat cocok dengan kulitmu.”

Elena kembali menatap tajam ke arah Sean, “Apa salahku?! Kenapa kalian menyiksaku?!”

Mereka berempat lantas terdiam, tapi tatapan mereka terlihat sangat mengerikan bagi Elena.

Emily dan Isabel mendekat.

“Plak!”

Sean menampar pipi kiri Elena, “Tidak ada alasan.”

“Plak!” Kemudian menampar pipi kanan Elena.

“Karena melihatmu menderita sangat menyenangkan,” ucap Sean lalu tertawa, begitupun ketiga lainnya, seakan perbuatan mereka tidak ada artinya.

“Kami pergi dulu, Sean. Papaku sejak tadi menghubungiku,” ucap Emily.

“Aku juga,” timpal Isabel.

“Pergilah,” ucap Sean, dan mereka pun pergi dari sana.

“Hahahaha sayang sekali, mereka harus kehilangan momen indah ini! “ Seru Leo.

“Pegangi dia lebih kuat,” perintah Sean lalu mengarahkan ponselnya untuk memulai memvideo tubuh setengah telanjang gadis itu.

“Lihat-lihat pemirsa setia. Inilah tubuh mahal yang sedang kalian lihat. Menggoda bukan? HAHAHAHAHA!”

“HAHAHAHAHA!” timpal Leo.

Namun, langkah kaki terdengar mendekat, “Hentikan semua ini!”

Mereka menoleh pada Bastian yang baru datang. Seragam sekolah masih rapi ditubuhnya, berbeda dengan Sean dan Leo yang seragamnya selalu berantakan.

“Ada apa, bro? Mari nikmati hal ini bersama kami,” ucap Sean.

“Hentikan, Sean!”

Sean menegakkan tubuhnya, membalik badan dan menatap Bastian dengan tajam, lalu mengepalkan tangannya.

“Apa maumu sebenarnya?” tanya Sean tajam.

“Satpam akan memulai jaga malamnya. Jangan sampai kalian ketahuan melakukan hal ini.”

Leo melepaskan Elena dan berdiri. Elena pun segera menutupi tubuhnya lagi, dan bergerak mundur.

“Wah, ternyata kau memedulikan kami. Benar kata dia, Sean. Masih ada banyak waktu untuk bermain dengannya,” ucap Leo sambil melirik ke bawah, ke arah Elena yang memeluk dirinya sendiri dengan keringat dan wajah yang memerah.

Sean menghela napas, lalu tanpa kata melangkah pergi.

“Sampai besok, sayang,” ucap Leo sambil menunjukkan senyum yang menjijikkan, lalu mengikuti Sean.

Bahu Bastian turun seketika saat melihat keadaan Elena. Ia mendekat dan berjongkok di depan gadis itu.

Namun Elena menunduk takut dan bergerak mundur walaupun punggungnya menabrak tembok.

“Pakai ini untuk membersihkan wajahmu,” ujar Bastian sambil memberikan sapu tangan pada Elena.

Elena mendongak, menatap Bastian. Tatapannya ragu. Tidak yakin Bastian berbeda dengan dua pria tadi.

Namun Bastian yang seakan tahu sikap ketakutan gadis itu, lantas meraih tangan Elena dan memaksa gadis itu menerima sapu tangannya.

“Aku tidak akan melakukan apapun padamu. Aku tidak seperti mereka,” ucapnya sambil tersenyum menenangkan, lalu berdiri dan melangkah pergi.

Elena menatap punggung Bastian dengan wajah bingung, lalu pandangannya beralih ke arah sapu tangan pria itu ditangannya.

Dan dengan gerakan cepat ia kembali mengancingkan seragam sekolahnya, menahan isakan yang terus saja keluar. Kemudian ia berdiri dengan kaki yang masih lemas. Kepalanya mendongak, menatap langit gelap tanpa bintang yang seperti tahu keadaan dirinya saat ini. Ia pun melangkah keluar dari area sekolah, lewat pintu belakang.

Flashback off

Elena meremas sapu tangan Damian di tangannya. Menatapnya lama, seolah sapu tangan itu adalah sapu tangan yang sama yang diterimanya waktu itu.

Ia mendesah panjang, meletakkan sapu tangan itu di sisi duduknya, lalu bangkit dan menuju pagar pembatas balkon. Angin malam membuat helaian rambutnya terbang bebas. Ia memejamkan mata, membiarkan udara dingin menyentuh wajahnya.

Damian memperhatikannya dari tempatnya duduk, lalu tanpa sadar ikut berdiri dan melangkah mendekat hingga berdiri di samping wanita itu. Dari samping, ia bisa melihat ekspresi Elena yang damai tapi terasa jauh, seolah pikirannya terbang ke masa lain.

“Kau tidak ingin menceritakan kenangan indahmu itu?” tanya Damian.

Elena tidak segera menjawab. Masih dengan mata terpejam, ia hanya menggeleng pelan.

“Tidak.”

Damian menatapnya, “Apapun kenangan itu, aku harap di saat itu pun, kau selalu tersenyum bahagia. Sama seperti sekarang.”

Elena perlahan membuka matanya. Cahaya kota memantul di bola matanya, membuatnya tampak berkilau di bawah langit tanpa bintang. Ia menatap gedung bertingkat di seberang sana, lalu tersenyum samar.

“Di masa itu pun,” ujarnya lirih, “Tidak akan sebahagia seperti sekarang.”

Damian mengerutkan dahi, “Kenapa?”

Elena balik menatapnya lembut, tatapan yang cukup untuk membuat waktu seolah berhenti berputar.

“Karena Om tidak ada di masa itu.”

Damian terdiam. Angin kembali berhembus menerbangkan jasnya. Tatapannya seakan terkunci ke arah wanita itu. Pemandangan kota bahkan terasa tidak ada apa-apanya, jika dibandingkan dengan Elena yang kini juga tengah menatapnya.

1
merry
haus harta tu Sean pdhll orgtua y baik dech gk gila harta,,
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!