Bagi Luna, Senja hanyalah adik tiri yang pantas disakiti.
Tapi di mata Samudra, Senja adalah cahaya yang tak bisa ia abaikan.
Lalu, siapa yang akan memenangkan hati sang suami? istri sahnya, atau adik tiri yang seharusnya ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 - Hampir ketahuan
Apartemen Arjuna di kawasan K yang mewah namun bernuansa maskulin itu kini dipenuhi aroma parfum mahal Luna yang menyengat. Wanita itu duduk di sofa kulit hitam dengan wajah memerah karena amarah, rambutnya yang biasanya tersisir rapi kini sedikit berantakan karena dia terus-menerus meremas-remasnya ketika marah.
"Jun, kamu tidak akan percaya dengan yang terjadi tadi!" seru Luna sambil melempar tasnya sembarangan ke lantai. "Suami gila itu berani-beraninya kasih syarat aneh padaku!"
Arjuna yang sedang menyeduh wine di mini bar apartemennya menoleh dengan alis terangkat. Dia memakai kemeja putih yang dikancing setengah, memamerkan dada bidangnya yang berkilau terkena cahaya lampu kristal yang terpasang di langit-langit apartemen. "Syarat apa, sayang?"
"Dia mau aku hamil!" Luna bangkit dari sofa dan mulai mondar-mandir dengan langkah yang gelisah. "Kamu bayangkan? Dia bilang kalau aku mau duit lima ratus juta itu, aku harus setuju punya anak darinya!"
Arjuna berhenti menuang wine ke dalam gelas. Matanya yang tajam menatap Luna dengan ekspresi yang tiba-tiba berubah serius. Otaknya yang cerdik langsung bekerja, menimbang-nimbang situasi ini.
"Dan kamu bilang apa?" tanya Arjuna sambil berjalan menghampiri Luna dengan dua gelas wine di tangan.
"Tentu saja aku bilang tidak!" Luna merebut salah satu gelas dari tangan Arjuna dan meminumnya seteguk. "Aku bukan sapi perah yang bisa dipaksa hamil sesuka hatinya!"
Arjuna duduk di sofa dan menepuk pangkuannya, isyarat agar Luna duduk di sana. "Coba cerita dari awal, sayang. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Luna duduk di pangkuan Arjuna dengan gerakan yang masih menunjukkan kekesalannya. "Tadi aku pulang dari Bali, terus aku langsung minta uang lima ratus juta itu dengan alasan yang sudah kita rencanakan. Awalnya dia kayaknya mau setuju, tapi tiba-tiba dia bilang ada syaratnya."
"Syarat apa?"
"Dia mau aku hamil anaknya," ulang Luna dengan nada jijik. "Katanya, mamanya datang ke kantor tadi dan nuntut cucu. Dasar mama mertua sialan! Kenapa dia tidak adopt anak saja kalau mau cucu?"
Arjuna mengelus punggung Luna dengan gerakan yang menenangkan, tapi matanya menatap kosong ke arah jendela besar yang menghadap ke gedung-gedung pencakar langit Jakarta. Pikirannya sedang bekerja keras mencari solusi.
"Sayang," kata Arjuna perlahan, "mungkin kamu harus pertimbangkan usulan suamimu itu."
Luna langsung menoleh dengan mata terbelalak. "Apa? Jun, kamu gila ya? Aku tidak mau hamil anak dia!"
"Dengarkan dulu, Luna," Arjuna memegang kedua bahu Luna dan menatap matanya serius. "Lima ratus juta itu bukan uang sedikit. Kita butuh modal itu untuk masa depan kita."
"Tapi aku harus hamil dulu!" Luna bangkit dari pangkuan Arjuna dengan wajah memerah karena marah. "Aku harus mengandung anak pria yang tidak kucintai selama sembilan bulan! Kamu pikir itu mudah?"
Arjuna bangkit dan memeluk Luna dari belakang, dagunya bertumpu pada bahu wanita itu. "Sayang, ini cuma sementara. Setelah anaknya lahir, kamu bisa bercerai dan kita menikah. Anak itu bisa jadi jaminan untuk mendapatkan tunjangan seumur hidup dari keluarga Samudra."
Luna menegang dalam pelukan Arjuna. "Jun, kamu serius? Kamu mau aku hamil anak laki-laki lain?"
"Demi masa depan kita, aku rela berkorban," bisik Arjuna di telinga Luna. "Lagipula, anaknya nanti juga akan hidup enak, kan? Keluarga kaya, masa depan terjamin."
Luna melepaskan pelukan Arjuna dan berbalik menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Tapi Jun... kalau aku hamil, berarti aku harus berhubungan intim sama Samudra. Kamu tidak iri?"
Pertanyaan itu membuat Arjuna terdiam sejenak. Sebenarnya dia tidak peduli Luna harus tidur dengan siapa, yang penting uang lima ratus juta itu bisa didapatkan. Tapi dia harus bermain peran sebagai kekasih yang pengertian.
"Tentu saja aku iri," jawabnya sambil mengusap air mata yang mulai mengalir di pipi Luna. "Tapi demi cinta kita, aku rela. Kamu tutup mata saja waktu melakukannya, bayangkan aku."
Luna menggeleng keras. "Tidak bisa, Jun. Aku tidak sanggup. Kalau aku hamil, aku cuma mau hamil anakmu saja. Anak yang lahir dari cinta kita."
Mendengar jawaban tegas Luna, Arjuna menyadari bahwa wanita itu tidak akan berubah pikiran. Dengan cepat dia mengubah strategi.
"Baiklah, sayang," kata Arjuna sambil mengecup kening Luna. "Kalau kamu memang tidak mau, aku tidak akan memaksa. Kita cari cara lain untuk mendapatkan uang itu."
"Benarkah?" mata Luna berbinar penuh harap.
"Tentu saja. Aku akan pikir rencana yang lain. Yang penting kamu tidak stress." Arjuna tersenyum, meski dalam hatinya dia sedang kesal karena rencana mudahnya gagal.
Luna memeluk Arjuna dengan erat. "Makasih, Jun. Kamu memang paling mengerti aku."
"Anything for you, baby," bisik Arjuna sambil mengelus rambut Luna. "Sekarang, bagaimana kalau kita keluar makan malam? Kamu pasti capek dan stress hari ini."
"Ide bagus!" Luna langsung ceria lagi. "Aku mau ke Le Bistrot, restoran Prancis yang kemarin viral di Instagram."
"Oke, tapi kamu ganti baju dulu. Pakai yang seksi, biar aku bangga jalan sama kamu."
Luna tertawa dan berlari ke kamar untuk berganti pakaian. Sementara Arjuna berdiri di jendela dengan wajah yang sudah tidak lagi ramah. Matanya menatap tajam ke arah gedung-gedung di kejauhan.
"Bitch," gumamnya pelan. "Susah amat sih. Padahal tinggal hamil doang, dapet lima ratus juta. Dasar bodoh."
***
Satu jam kemudian, Luna dan Arjuna tiba di Le Bistrot, sebuah restoran mewah bergaya Prancis klasik yang terletak di kawasan S. Interior restoran yang elegan dengan perpaduan warna gold dan burgundy, chandelier kristal yang berkilauan, dan musik jazz lembut yang mengalun menciptakan atmosfer romantis yang sempurna.
Luna tampil memukau dalam dress merah maroon yang membalut tubuh indahnya dengan sempurna. Rambutnya yang bergelombang dibiarkan tergerai, dan makeup natural namun glamor membuatnya terlihat seperti model majalah. Di sampingnya, Arjuna mengenakan kemeja hitam dan celana chino krem yang membuatnya terlihat seperti aktor film romantis.
Mereka duduk di meja sudut yang memberikan privasi lebih, dengan view ke taman kecil yang dihiasi lampu-lampu kecil yang berkelap-kelip. Suasana hati Luna sudah jauh lebih baik setelah Arjuna berjanji akan mencari cara lain untuk mendapatkan uang.
"Jun, kamu pesan apa?" tanya Luna sambil membaca menu dengan mata berbinar. "Aku mau duck confit dan wine merah terbaik mereka."
"Terserah kamu saja, sayang. Malam ini kamu yang decide semuanya," jawab Arjuna sambil tersenyum charming.
Pelayan datang dan mengambil pesanan mereka. Luna memesan dengan antusias, sesekali bertanya pada pelayan tentang rekomendasi wine yang cocok. Arjuna hanya tersenyum dan mengangguk, pikirannya masih sibuk mencari cara alternatif untuk mendapatkan uang dari Samudra.
"Sayang," kata Luna sambil menyentuh tangan Arjuna di atas meja, "aku senang kita bisa dinner romantis begini. Rasanya udah lama kita tidak quality time."
"Iya, akhir-akhir ini kita memang sibuk memikirkan masa depan," jawab Arjuna sambil menggenggam tangan Luna. "Tapi sekarang kita santai dulu, pikirin yang enak-enak aja."
Luna tertawa riang. "Kamu selalu tahu cara buat aku happy. Makanya aku cinta banget sama kamu."
Mereka tengah asyik berbincang ketika pelayan datang dengan wine yang dipesan. Saat pelayan sedang menuangkan wine ke dalam gelas, Luna menoleh ke arah pintu masuk restoran untuk melihat tamu-tamu yang baru datang.
Darahnya seketika membeku.
Di pintu masuk, Dewi, ibu mertuanya baru saja memasuki restoran bersama empat orang wanita paruh baya lainnya yang Luna kenali sebagai teman-teman arisan ibunya. Mereka semua berpakaian elegan dan terlihat sedang dalam suasana hati yang baik, tertawa dan berbincang dengan riuh.
"Oh shit!" bisik Luna sambil langsung menundukkan kepala dan bersembunyi di balik menu.
"Kenapa?" tanya Arjuna yang belum menyadari apa-apa.
"Mama mertua!" bisik Luna panik. "Mama Samudra ada di sini!"
Arjuna dengan sigap menoleh ke arah pintu masuk. Dia melihat sekelompok wanita paruh baya yang sedang berbicara dengan host restoran, tampaknya sedang menanyakan ketersediaan meja.
"Yang mana?" bisik Arjuna.
"Yang pakai blazer biru navy, rambut chignon," jawab Luna sambil terus bersembunyi. "Oh Tuhan, kenapa dia bisa ada di sini?"
Dari tempatnya bersembunyi, Luna bisa mendengar suara familiar Dewi yang sedang berbicara dengan host.
"Kami booking meja untuk lima orang atas nama Dewi," kata Dewi dengan suara yang tegas namun ramah.
"Baik, Nyonya. Meja sudah siap, silakan ikuti saya," jawab host.
Luna mengintip sedikit dan melihat rombongan Dewi sedang dipandu ke arah meja yang berada di seberang restoran. Tapi saat sedang berjalan, mata Dewi tiba-tiba menatap ke arah sudut tempat Luna dan Arjuna duduk.
Mata mereka bertemu selama beberapa detik.
Dewi mengernyit, ekspresinya menunjukkan kebingungan. Dia berhenti berjalan dan terus menatap ke arah meja Luna dengan mata yang menyipit, seolah sedang berusaha memastikan sesuatu.
"Luna?" bisik Dewi pelan, namun cukup keras untuk didengar Luna.
Jantung Luna rasanya mau copot. Dia langsung berdiri dengan gerakan yang tiba-tiba. "Jun, kita harus pergi sekarang!"
"Kenapa? Makanan kita belum..."
"Sekarang!" desak Luna sambil menarik tangan Arjuna dengan paksa.
Arjuna yang melihat kepanikan di mata Luna langsung mengerti situasinya. Dia bangkit dari kursi dan meninggalkan beberapa lembar uang di meja untuk membayar wine yang sudah dipesan.
"Luna! Luna tunggu!" panggil Dewi dari seberang restoran.
Tapi Luna dan Arjuna sudah bergegas menuju pintu keluar. Luna berjalan dengan cepat sambil menundukkan kepala, berharap tidak ada tamu lain yang mengenalinya. Arjuna mengikuti di belakangnya sambil berusaha terlihat casual meski situasinya sangat tegang.
"Luna!" panggil Dewi lagi, kali ini dengan suara yang lebih keras.
Salah satu teman Dewi menarik lengannya. "Dewi, ayo duduk dulu. Masa kamu ninggalin teman-teman?"
"Tapi aku yakin itu Luna, menantu aku," kata Dewi sambil masih menatap ke arah pintu keluar.
"Ah, mungkin orang lain yang mirip. Luna kan lagi di rumah ngurus suami yang sakit," jawab temannya. "Ayo, pelayan udah nungguin kita."
Dewi masih ragu, tapi akhirnya mengikuti teman-temannya ke meja yang sudah disediakan. Matanya sesekali masih melirik ke arah pintu, dalam hatinya masih penasaran dengan apa yang barusan dilihatnya.
Sementara itu, Luna dan Arjuna sudah sampai di parkiran restoran. Luna berjalan dengan langkah tergesa-gesa menuju mobilnya, napasnya tidak teratur karena panik dan ketakutan.
"Sial! Sial! Sial!" umpat Luna sambil membuka pintu mobil dengan tangan yang bergetar. "Kenapa mama mertua bisa ada di situ?"
Arjuna masuk ke dalam mobil dan langsung menyalakan mesin. "Tenang, Luna. Dia mungkin tidak yakin itu kamu."
"Tapi dia manggil nama aku, Jun!" Luna menatap Arjuna dengan mata yang penuh ketakutan. "Kalau dia cerita ke Samudra gimana? Kalau dia bilang lihat aku sama cowok lain gimana?"
"Kamu bilang aja kamu ketemu teman kuliah lama," saran Arjuna sambil mengemudikan mobil keluar dari parkiran restoran. "Atau kamu bilang kamu makan sama sepupu atau apa."
Luna menggigit kukunya, kebiasaan yang selalu muncul ketika dia sangat nervous. "Aku harap dia tidak yakin itu aku. Atau dia pikir itu orang lain yang mirip."
Arjuna menatap Luna sekilas sambil terus mengemudi. Di dalam hatinya, dia merasa kesal karena malam romantis mereka harus berakhir dengan kepanikan seperti ini. Tapi dia juga menyadari bahwa ini bisa menjadi masalah besar kalau sampai Samudra tahu istrinya sedang berselingkuh.
"Kamu mau pulang ke rumah?" tanya Arjuna.
Luna menggeleng. "Belum. Aku masih shaking. Bawa aku ke apartemen kamu dulu, aku butuh tenang."
"Oke."
Selama perjalanan menuju apartemen Arjuna, Luna terus gelisah dan sesekali menoleh ke belakang, takut diikuti oleh seseorang. Malam yang harusnya romantis berubah menjadi nightmare yang membuatnya semakin stress.
Yang tidak mereka ketahui adalah bahwa di restoran Le Bistrot, Dewi masih terus memikirkan sosok yang tadi dilihatnya. Semakin dia ingat-ingat, semakin yakin bahwa itu adalah Luna, menantunya.
"Tapi kenapa Luna ada di restoran mewah begini sama cowok lain?" gumam Dewi dalam hati. "Dan kenapa dia lari ketika aku panggil?"
Kecurigaan mulai tumbuh di hati Dewi. Sebagai seorang ibu yang protective terhadap anaknya, dia tidak akan membiarkan hal ini begitu saja. Dia sudah memutuskan akan mencari tahu kebenaran di balik apa yang dilihatnya malam itu.